Sore menyambut malam, hujan yang mengguyur Seoul reda beberapa saat lalu. Suara pintu kamar mandi terbuka, Lisa baru saja selesai membersihkan dirinya setelah berbenah dan memasak makanan favorit Jimin untuk ia hidangkan saat pria itu pulang nanti.
Rautnya tampak lebih segar, air hangat membuat tubuhnya yang kedinginan menjadi lebih baik. Beruntungnya ia tidak sampai terserang gejala flu, bathrobe yang ia gunakan sudah tanggal berganti dengan setelan rumahan yang nyaman. Ia berjalan ke arah meja rias, duduk di sana sambil merapikan rambutnya yang basah.
Dalam keheningan itu, matanya menangkap pantulan dirinya di cermin. Nyonya Park, Lalisa Park. Marga yang resmi ia sandang hampir delapan bulan lamanya, ia menghela napas lagi. Ingatannya bergulir ke waktu beberapa saat sebelum ia pergi mengantarkan makan siang ke kantor.
Lisa bicara pada sahabat lamanya, Jisoo. Yang kini memilih menetap di Ilsan setelah menerima pinangan dari Kim Seokjin dua bulan lalu. Mereka sangat dekat saat bangku SMA dulu, membuat Jisoo berpikir kalau Lisa adalah orang kedua yang harus tahu tentang kabar bahagia itu.
Dia hamil.
Di bulan kedua pernikahannya.
Lisa ikut bahagia, mereka saling melempar pernyataan satu sama lain sampai Jisoo mulai merubahnya menjadi pertanyaan, yang ternyata tak mampu Lisa jawab.
'Kau tidak menunda untuk memiliki anak kan, Lis? Aku ingin sekali anak-anak kita punya hubungan persahabatan seperti ini.'
Bibir plum Lisa bergetar kala itu, dia tertegun. Mengabaikan beberapa kali momen saat Jisoo memanggilnya, hingga ia hanya menghela napas lalu terkekeh pendek. Menjawab kalau Tuhan belum mempercayakannya soal anak.
Seperti yang dikatakan Jisoo, mereka sangat dekat dulu. Mungkin hanya wanita itu yang mau menjadi teman Lisa, menemaninya. Sehingga, Jisoo langsung tahu ada sesuatu yang tidak beres dengan sang sahabat.
'Lisa?'
'Ya..'
'Kau dan Jimin..'
Saat itu pertanyaan Jisoo menggantung, tapi Lisa segera menyergahnya cepat. Dengan satu kalimat, yang membuat Jisoo mengerti kalau Lisa memang sedang tidak baik-baik saja, dan berusaha menerima juga memahami itu semua.
'Kami bahagia.'
Lamunannya tersadar, seiring bahunya yang turun. Lisa menjadikan satu tangannya sebagai tumpuan dagunya di atas meja rias. Kalau dipikir-pikir lagi, rasanya ini memang seperti mimpi. Ia takkan pernah lupa hari itu, saat hari natal tiba, di jam satu siang bel rumahnya berdenting.
Lisa pikir itu kerabatnya yang datang, sehingga ia menahan maid yang akan membuka pintu. Namun, sosok yang tidak pernah ia sangka datang hari itu. Sosok pria yang ia kenal sebagai orang yang selalu berlaku baik dan lembut padanya semasa sekolah dan kuliah. Park Jimin di sana, rambutnya sedikit terhujani salju dengan Coat cokelat dan wajah yang tidak bisa Lisa baca.
Terlihat seperti biasa aja, walau Lisa bisa merasakan rasa frustasi yang coba ia tutupi. Lalu dengan untaian kalimat berikutnya, membuat wajah Lisa merah padam dan hampir pingsan di tempatnya berdiri.
'Aku ingin menikahimu.'
Bagi mayoritas orang berpikir hal itu jauh sekali dari kata romantis. Bagaimana seorang pria, yang secara jelas tidak terlalu dekat denganmu, namun selalu bersikap baik dan menarik perhatianmu datang, memintamu menjadi pendampingnya, menjadi seorang istri.
Lisa pikir itu manis. Jimin mungkin saja sangat gugup saat itu, dan mengatakan hal tersebut tanpa basa-basi. Karena Lisa pun begitu, dia tidak tahu harus menjawab apa selain menawari pria itu masuk lalu bergabung dengan ayahnya yang menunggu di meja makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Falling For You [LIZKOOK][DIBUKUKAN & PDF]✓
FanfictionLisa pikir, menikah dengan orang yang ia cintai sudah cukup. Lisa merasa, kalau ini adalah kehidupan yang ia idam-idamkan. Lisa tidak tahu, kalau untuk bertahan perlu dua orang untuk menopang pilar hubungannya. Dan ketika ia sadar, hanya ia sendiri...