Negeri Penuh Angkara (part 1)

311 51 2
                                    

Aluna POV

Sekitar setengah jam yang lalu aku sadar dari koma selama beberpa hari. Hal pertama yang kulihat di hadapanku adalah baju perang yang tergantung. Baju perang Ken Arok yang biasa ia gunakan saat ia berperang, begitulah katanya.

"Aku dimana ini?" tanyaku ada dayang yang merawatku.

"Kanjeng Ratu Aluna? Njenengan sudah sadar?" pekik salah satu dayang sangat bahagia.

Aku mengangguk perlahan dan berusaha duduk. "Apa aku masih dirawat di kamar Ken-- eeh Baginda Raja?" tanyaku dengan suara lemah.

"Inggih, ini di ruang istirahatnya Baginda Raja. Bahkan selama lima hari njenengan tidak sadarkan diri, Baginda Raja hanya tidur di kursi tamu yang ada di balik gebyog ukiran ini," ucap dayang sambil menunjuk gebyog yang berdiri kokoh di sebelah kiri tempat tidurku.

'Aku harus segera pergi dari kamar Ken Arok dan kembali ke kamarku, sebelum keadaan bertambah runyam,' yakinku dalam hati.

Aku berusaha berdiri dari tempat tidur.

"Kanjeng Ratu mau apa? Istirahat dulu jangan langsung bangun," pinta salah satu dayang.

Kuabaikan ucapan dayang tersebut dan aku berusaha berjalan menuju pintu kamar Ken Arok dengan terhuyung-huyung. Kepalaku masih sangat pusing dan seluruh badanku masih sakit. Tabib kerajaan yang berpapasan denganku di depan pintu kamar Ken Arok sangat terkejut melihatku berusaha berjalan.

"Kanjeng Ratu!" pekiknya berusaha memegangiku namun kutampik tangannya dan aku masih berjalan terhuyung-huyung.

Tabib, dua orang dayang yang merawatku dan beberapa prajurit yang diminta untuk mengawalku mengikutiku dari belakang dengan ketakutan luar biasa. Mereka diberi titah untuk menjagaku, namun aku justru keluar dari kamar ini. Mereka takut pada raja mereka.

"Kanjeng Ratu...saya mohon tinggallah di tempat Baginda Raja. Saya sudah buatkan ramuan baru untuk njenengan," pinta tabib sambil menunjukkan ramuan yang baru ia buat.

"Kasihani kami kanjeng Ratu," ucap salah satu dayang sambil berusaha memegangiku.

Aku mengabaikan para abdi malang ini danmasih berusaha berjalan ke kamarku. Abdi yang malang ini pasti nanti akan kena amarah rajanya. Akan kupastikan hal itu tidak terjadi.

"Aku akan kembali ke kamarku," ucapku ketika sudah melihat pintu kamarku hanya lima langkah di hadapanku. 

Sebelum masuk ke kamarku, aku sengaja berbalik ke arah para abdi malang di belakangku yang berusaha menahanku. Kulihat wajah mereka satu persatu. Penuh ketakutan karena tindakanku.

"Kuucapkan terimakasih kepada kalian yang sudah sangat tulus menyelamatkan nyawaku dan merawatku hingga aku bisa sadar," ucapku tulus pada kedua dayang dan tabib yang menunduk di hadapanku.

"Aku juga mengucapkan banyak terimakasih pada pengawal yang menjagaku di luar kamar tanpa istirahat. Kalian sangat luar biasa karena memastikan aku yang orang asing ini selalu aman," ucapku sambil menatap beberapa pengawal di hadapanku.

Para abdi ini nampak sangat terkejut dengan ucapanku. AKu yakin tidak pernah ada bangsawan, pejabat bahkan raja di negeri ini yang mengucapkan terimakasih. Mereka hanya dianggap orang-orang di kasta rendah yang memang wajib mengabdi pada para kasta yang di atasnya. Hidup mereka terjebak dalam pengaturan kelompok kelas masyarakat yang penuh ketidakadilan. Tidak ada yang meminta dilahirkan untuk jadi kasta Sudra. Nasib itu harus mereka terima tanpa banyak protes. Mereka hidup dengan menyembunyikan luka hati karena harus menerima semua perlakuan dan keputusan yang tidak berpihak karena darah sudra yang mengalir di tubuh mereka. Sebagaimana ketidakadilan yang diterima Ken Umang.

KEN AROK DAN KEKASIH RAHASIANYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang