Hujan tak Kunjung Datang

279 48 6
                                    

Aluna POV

Ken Angrok berdiri di hadapanku. Luka bekas cambukan mengenai sekujur badannya. Cambukan yang sangat kuat itu hingga meninggalkan luka mirip sayatan memanjang. Badan tegap pria ini dipenuhi darah dan keringat. Napasnya tersengal-sengal.

Ritual seperti ini pernah kudengar saat mempelajari salah satu materi perkuliahanku. Di beberapa daerah di Indonesia ritual serupa dengan nama berbeda di percaya mampu menurunkan hujan. 

'Ini gila, ini sadisme tapi dianggap wajar...!' Pekikku dalam hati.

--Plaaaaaaassss!!!!-- 

Suara pecut terdengar sangat jelas bahkan dari tempatku duduk di luar lapangan ini.

Aku meringkuk dalam posisi duduk. Kututup telingaku rapat-rapat.

"Aluna...kamu kenapa?" tanya Ken Angrok sambil menyentuh pundakku dan menundukkan badannya.

Ia masih bernapas terengah-engah karena kelelahan.

"Kamu tahu, sejak awal ketika para peserta Cambuk badan Tiban menari-nari memainkan cambuknya dan menimbulkan bunyi yang keras, entah kenapa aku sangat takut," rintihku.

"Tenanglah...," ucapnya singkat, tapi dengan irama yang lembut dan suara khasnya yang sangat dalam. 

"Luka-luka di tubuhmu karena sabetan pecut...mengingatkan...," aku tak sanggup melanjutkan dan malah menangis.

Ken Angrok saat ini berpindah posisi di hadapanku dan memegang kedua pundakku. Ia mendekatkan kepalanya tepat di hadapanku.

"Aluna...tenanglah, kuasai dirimu," genggaman tangannya di pundakku makin erat.

Tangisku makin menjadi seiring suara lecutan cambuk yang terdengar makin sering dan keras di telingaku.

Sebuah kereta kuda menghampiri kami berdua.

"Kita kembali ke istana," ucap Ken Angrok tegas kepada sang kusir kereta kuda.

"Baginda..." sebuah suara yang sangat lembut terdengar.

Suara langkah kaki terdengar mendekat.

"Masuklah, sekarang," ucap Ken Angrok tegas padaku.

Ken Angrok segera menutup pintu masuk kereta kuda begitu aku masuk. Aku bahkan tidak sempat melihat siapa wanita yang memanggil  Ken Angrok. Bukankah seharusnya aku menyapa siapapun itu demi alasan kesopanan.

"Baginda mau kemana?" sebuah suara lembut terdengar lagi.

Aku menempelkan telingaku di dinding kereta agar mendengar suara wanita tersebut. Suara sorakan penonton Tiban dan suara lecutan cambuk sangat keras sehingga sia-sia saja usahaku.

"Tidak Baginda!! Jika Baginda tetap memihaknya akan kubuat ia tidak ada lagi di dunia ini!!!"

Tiba-tiba saja suara wanita itu sangat jelas terdengar karena bukan lagi suara lemah lembut yang ia ucapkan. Namun teriakan. Tepatnya amarah.

"Kuanggap kamu tidak pernah membahas ini!" suara Ken Angrok meninggi.

Tiba-tiba pintu kereta kuda terbuka dengan keras. Ken Angrok masuk dengan tergesa-gesa dan segera duduk dengan kasar di sebelahku. Kereta kuda berjalan.

"Apa yang terja---"

Belum selesai aku mengucapkan pertanyaanku tiba-tiba saja ia menarikku dalam pelukannya. Ia melingkarkan tangannya di punggungku. Kepalaku tepat bersandar di dadanya. Detak jantungnya sangat cepat dan nafasnya memburu.

Aku berusaha menarik tubuhku dari pelukannya. Ia makin mengeratkan lengannya.

"Tolong lepaskan pelukanmu," pintaku.

Ken Angrok POV

Tubuh Aluna menggigil dalam pelukanku. Aku yakin Aluna sudah tahu siapa wanita yang meneriakiku di luar kereta kuda tadi. Ia adalah Umang. Wanita yang mampu membangkitkan traumanya ALuna, makanya aku memintanya segera masuk ke kereta kuda tadi.

"Tolong lepaskan pelukanmu," pinta Aluna.

Suaranya bergetar.

Aku melepaskannya dengan enggan. Kemudian aku hendak bergeser agar duduk menjauh. Tak berapa lama Aluna memegang ujung kainku. Kuraih tangannya dalam genggamanku.

"Kamu..." ucapaku tertahan.

"Hmm?" Aluna menungguku melanjutkan ucapannya.

"Apa kamu tahu betapa besarnya keinginanku untuk selalu melindungimu?" kueratkan genggaman tanganku.

Tangan ALuna bergetar. 

"Jangan mengkhawatirkan apapun. Tuduhan kami sebagai mata-mata Kadiri ataupun ancaman dari Umang tidak akan pernah bisa melukaimu. Akan kulakukan apapun untuk melindungi kamu Aluna. Aku ini Raja negeri ini. Orang dengan posisi tertinggi. Takkan ada siapapun yang bisa melawan titahku," ucapku perlahan berusaha membuat Aluna paham.

"Dasar jumawa..." ucapnya tiba-tiba.

"Apa?" aku tak percaya hanya ucapan itu yang meluncur dari bibir gadis itu setelah semua perkataanku.

"Tubuhmu terluka, kita harus segera mengobatinya." Aluna mengalihkan topik pembicaraan.

"Kamu butuh perlindunganku namun di sisi lain terlalu dekat dengan makin membuatmu dalam ancaman bahaya," suaraku terdengar putus asa.

"Apakah masih lama kita akan sampai di kerajaan?" Aluna masih mengalihkan topik pembicaraan.

"Apakah itu yang membuatmu menjauhiku? Kamu merasa posisimu makin bahaya jika kita terlalu dekat?" tanyaku masih dengan nada putus asa.

"Supaya tidak infeksi akan kubersihkan dulu darah di tubuhmu." Ia berusaha meraih kain bersih di depan kami.

Kuraih tangannya dan kugenggam erat. 

Melihat ia mengabaikan topik pembacaraanku berkali-kali aku menyadari bahwa Aluna tetaplah Aluna. Gadis yang tidak tahu bagaimana harusnya bersikap di hadapanku Sang Raja dan selalu melawan perkataanku.

Tanpa Aluna ketahui sebenarnya setiap kali berunjung ke candi Singosari aku berkali-kali menelusuri pohon dimana ia kami temukan sedang terduduk di bawahnya. Aku berusaha mencari tahu bagaimana caranya agar ia bisa kembali lagi ke dunianya di masa depan. Kukerahkan semua kemampuanku, melihat dengan mata batin maupun merasakan berbagai hal di sekitar candi Singosari. Kupertimbangkan segala hal yang bisa jadi penyebab Aluna tiba-tiba melakukan perjalanan waktu ke jamanku. Setiap kali melakukannya hatiku sangat sakit. Membayangkan Aluna tak ada lagi di jamanku saja sudah sangat menyakitkan, apalagi jika suatu saat hal itu terjadi.

Kuhela napasku perlahan sambil menggenggam erat tangan gadis di hadapanku. Matanya memandang ke arahku, namun seolah yang dia lihat bukanlah diriku, tetapi sesuatu yang sangat jauh di balik diriku. Ia mengkhawatirkan banyak hal. 

Udara kering dan panas dari luar masuk melalui celah-celah di kereta. 

"Apakah kamu merasakan udara makin panas? Tubuhku...rasanya seperti terbakar..." tanyaku pada Aluna.

Kemarau ini sudah berlangsung sangat berkepanjangan dan hujan tak kunjung datang juga. Hatiku panas. Kepalaku panas seperti mendidih memikirkan banyak hal. Pejabat-pejabat kepercayaanku memanas saling beradu pendapat karena termakan isu bahwa Aluna adalah mata-mata Kadiri. Umang dengan segala rencananya menyingkirkan Aluna. Semua serba panas dan tidak nyaman. Tiba-tiba saja badanku juga makin terasa sangat panas tepat di sekujur luka di tubuhku.

"Angrok??!!" ALuna memekik dengan mata ketakutan memandang ke arahku.

"Alunaaa..." suaraku melemah.

Itulah ingatan terakhirku sebelum akhirnya pandanganku kaburdan gelap.

##################

Anyeong....Author update lagi setelah sekian purnama... 

Gaes kalian salah paham maksudku agresif juga ngga akan kumasukkan adegan yang ngga semestinya yaa. Kembali lagi ini adalah bentuk penghormatanku pada tokoh Ken Angrok ini. Ia adalah tokoh besar dalam sejarah jadi aku ngga akan memakai tokoh ini untuk adegan yang ngga semestinya. Jangan berharap banyak yaa...Ceritaku ini akan murni menceritakan ketulusan perasaan Angrok pada Aluna namun banyak sekali dinding pemisah di antara mereka

Stay tune yaa..Vote sebanyak-banyaknya pembaca kesayangan

KEN AROK DAN KEKASIH RAHASIANYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang