"Lalala... yo yo yo."
Seorang Pemuda berkulit hitam manis menebarkan senyum. Pemuda itu tengah mendengarkan sebuah lagu bergenre hip-hop kesukaannya.
"Lang! Gilang!"
Shandy memanggil Pemuda itu tetapi tak menolehkan kepala sama sekali. Senyum jahil terukir kecil.
"WOY! GILANG!"
Shandy berteriak kencang di telinga Gilang setelah membuka headphone. Gilang terkejut bukan main. Dia sampai melompat lalu tersandung kakinya sendiri.
"Hahaha... kocak lo Lang," ejek Shandy tertawa keras.
Gilang mengusap dadanya pelan. Dia menatap tajam sosok Shandy yang tertawa tanpa dosa.
"Astaghfirullah," ucap Gilang.
"Lo ngapain Lang duduk di bawah? Mau ngemis ya? Hahaha..."
Shandy kembali tertawa keras sampai perutnya terasa keram. Air mata ikut keluar akibat tertawa di atas penderitaan orang lain.
"Gila ya lo! Ini semua gara-gara ulah lo!" Gilang emosi.
Gilang bangkit berdiri. Dia membersihkan debu-debu yang menempel di celana.
"Apa sih?!" tanya Gilang masih emosi.
"Lagian gue panggil-panggil lo ya malah bolot. Sekalian saja gue kerjain biar lo sadar, hahaha...," jawab Shandy sudah tak kuat menahan tawa.
"Bodo amat!" umpat Gilang.
Gilang langsung pergi meninggalkan Shandy yang masih sibuk menertawai dirinya. Dia harus bersabar memiliki teman sekaligus kakak kelas seperti Shandy, si makhluk aneh bin ajaib.
Shandy akhirnya tersadar. Sosok Gilang telah menghilang dari hadapannya.
"Woy! Gilang kampret! Malah pergi tinggalin gue!" seru Shandy berlari kecil mengejar Gilang yang sudah menghilang di belokan.
Shandy berhasil mengejar Gilang yang tengah berada di kantin. Gilang sedang duduk menunggu pesanan datang.
Tiba-tiba Shandy duduk di hadapannya tanpa dosa. Hal itu membuat Gilang terkejut hingga menyemburkan minuman tepat di muka Shandy.
"Anjir!" umpat Shandy kaget.
"Rasain lo! Karma ternyata cepat ya datang ya." seru Gilang menyeringai kecil.
"Kampret!"
Shandy melemparkan tisu bekas mengusap mukanya ke Gilang. Gilang menatap tajam Shandy, ingin rasanya dia menghajar dan memukul Pemuda di depannya.
"Bangke emang senior nggak punya otak!"
Gilang sudah siap jika Shandy memukul. Namun, tak ada balasan dari Shandy.
"Kenapa lo tiba-tiba diam? Kesambet hantu pohon jengkol belakang sekolah?" tanya Gilang mengejek.
Shandy diam menatap serius muka Gilang. "Gue butuh barang ya sekarang," ucapnya pelan.
Gilang menghela napas kasar. Dia mengambil sesuatu dari dalam tas, lalu mengeluarkan sebuah amplop tebal berwarna coklat.
"Nih!"
"Oke, nanti gue transfer duitnya," ujar Shandy cepat mengambil amplop besar itu.
Seorang pelayan datang membawa sebuah nampan. Dia menaruh semangkok bubur ayam dan segelas teh manis hangat.
"Gue cabut dulu, thanks Lang," ucap Shandy beranjak pergi. Dia menepuk pelan pundak Gilang.
"Oke, semoga barangnya sesuai keinginan lo," balas Gilang menyeringai kecil.
Gilang pun makan bubur ayam dengan lahap. Pagi ini Gilang dalam suasana senang.
_$_$_
Fiki berjalan mondar-mandir di depan kelas seperti setrikaan. Fiki juga mengigit ujung kukunya jika sedang dalam keadaan khawatir.
"Bang Shan, mana sih?"
Ternyata Fiki sedang menunggu kedatangan sang Abang. Dia berdiri di depan kelas Shandy hampir sepuluh menit lamanya.
Sosok yang dicari oleh Fiki akhirnya datang. Kedua mata Fiki menyipit ke arah amplop coklat besar yang berada di tangan Shandy.
"Bang Shan," panggil Fiki.
Raut wajah Shandy berubah drastis. Dia tak suka dengan kehadiran Fiki di depannya.
"Mau apa lo ke sini? Belum puas buat gue dimarahin sama Ibu Bapak?!" seru Shandy tajam.
"Bang... gue mau minta ma--,"
"CUKUP FIK! GUE LAGI MALAS BICARA SAMA LO!"
Shandy sampai mengacungkan jari telunjuk tepat di wajah Fiki. Dia langsung pergi meninggalkan Fiki dengan menyenggol kasar pundak Fiki hingga terjatuh.
"Awh!" ringis Fiki akibat terjatuh.
"Lemah lo!" ejek Shandy.
Fiki menatap kepergiaan Shandy penuh kesedihan. Fiki berdiri pelan, lalu melangkahkan kaki menuju kembali ke kelas.
"Bang Shan, Fiki cuma mau bilang minta maaf," ucap Fiki lirih.
Tak terasa air mata jatuh membasahi kedua pipinya. Kondisi Fiki saat ini tengah rapuh.
_$_$_
Zweitson panik. Dia sekarang berada di rumah sakit setelah berhasil membawa Fajri ke rumah sakit. Fajri sedang ditangani oleh pihak medis di ruangan IGD.
Seorang Pemuda baik hati datang menolongnya. Pemuda itu tengah mendaftarkan nama Fajri di ruang administrasi.
"Aduh! Aji gimana ya?"
Perasaan Zweitson tak karuan. Di satu sisi Zweitson ingin memberitahukan kondisi Fajri kepada Fenly, tetapi itu akan menjadi pilihan terakhir.
"Apa gue hubungi Bang Ricky?" tanya Zweitson bergulat dengan dirinya sendiri.
Sebuah langkah kaki mendekati Zweitson berdiri. Zweitson terdiam, lalu tersenyum kecil.
"Aji saat ini tengah di tangani oleh dokter dan perawat. Saya juga sudah menyelesaikan administrasinya."
"Terima kasih, Kak," ucap Zweitson membungkukan tubuh kecil.
"Aturan saya yang harus berterima kasih kepada kamu sudah menolong Aji tadi di pinggir jalan."
Zweitson bingung. Apakah sosok pria lebih tua darinya mengenali Fajri?? Itu menjadi tanda tanya besar dibenaknya.
"Haha... pasti kamu bingung kenapa saya bisa kenal Aji. Aji itu adalah sepupu saya," ucap Pemuda itu tersenyum kecil.
Raut wajah Zweitson begitu lucu. Dia membulatkan bibir kecil.
"Oh iya, perkenalkan nama saya Raka. Kamu siapa?"
Raka pertama kali menawarkan perkenalan diri. "Saya Zweitson, Kak. Saya Kakak kelas Aji di sekolah," balas Zweitson.
"Oh gitu, sekali lagi say--,"
Tiba-tiba pintu ruangan IGD terbuka lebar. Seorang Dokter keluar berjalan menghampiri mereka.
"Keluarga saudara Fajri," ucap sang Dokter.
"Saya Kakak sepupunya, dok," jawab Raka.
"Begini... kondisi saudara Fajri tengah dalam keadaan kritis," ujar Dokter memberikan penjelasan.
Sontak Raka dan Zweitson terkejut mendengar penjelasaan itu.
"Apa?!"
___BERSAMBUNG___
KAMU SEDANG MEMBACA
My Brother's [END]
FanfictionHanya sebuah karya fanfiction tentang UN1TY. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat dan latar cerita. Ini hanyalah cerita fiktif belaka. Terima kasih :)