Bug!
Bug!
"Awh!" ringis seorang Pemuda bertubuh bongsor.
Pemuda berambut gondrong terus memukuli muka serta perut Pemuda itu. Kedua netra sudah memerah sempurna tersulut emosi.
"Bang Shan... cukup," ucap Fiki meringis kesakitan.
Noda darah terlihat dari luka sobek di bibir kanan. Shandy menghentikan aksi memukulnya. Dia menatap sang Adik penuh amarah.
"Bang... kenapa Abang pukul Fiki?" tanya Fiki sudah menangis. Air mata mengenai luka memar di muka semakin menambah rasa sakit.
"Hahaha... lo tanya kenapa? Apa-apaan tadi maksud lo pakai pelukan sama Gilang segala?!
Hah! Lo pasti bilang nggak-nggak ke gue kan!
Ngaku lo, gendut!"
Shandy menyerigai tipis. Dia sampai meludahi tubuh Fiki.
Setelah melihat Fiki bersama Gilang di halte bus. Shandy menunggu sosok Gilang pergi dan saat sudah pergi, ia langsung menyeret tubuh bongsor Fiki paksa ke sebelah gedung sekolah tak terpakai.
Fiki sudah tak berdaya. Sejak adegan pukul memukul Fiki tak melawan sedikit pun, dia hanya membuat perlindungan walau itu percuma.
Hati Fiki terasa sakit. Napas seakan tak mampu bernapas lagi. Sosok sang Abang yang ia kagumi telah berubah seratus persen. Shandy takkan pernah memukul bahkan meludahi Fiki.
Harga diri Fiki seakan jatuh. Fiki berusaha untuk menenangkan Shandy, tetapi percuma saja jika seseorang sudah termakan bisikan setan.
"Bang Shan...," panggil Fiki lirih.
"JANGAN PANGGIL NAMA GUE LAGI! INGAT ITU!"
Shandy membentak Fiki keras. Satu kepalan tangan sudah siap untuk memukuli Fiki kembali. Namun seseorang berhasil menahan tangan miliknya.
"Lepasin tangan gue brengsek!"
Shandy akan memukul orang yang telah menghalanginya. Tetapi orang tersebut malah mendorong tubuh Shandy hingga menabrak tempat sampah.
"Shandy! Sadar! Itu Adek lo sendiri!" seru Gilang lantang.
Shandy tersenyum miring. Dia bangkit berdiri lalu menatap Gilang serta Fiki bergantian.
"Lang! Lo harus hati-hati sama anak ini!" Shandy memperingati.
"DAN LO! MULAI SEKARANG GUA NGGAK PERNAH MENGAKUI LO SEBAGAI ADIK GUE! INGAT ITU BAIK-BAIK!" Shandy membentak sambil menunjuk Fiki dengan jari tengah. Dada naik turun cepat, napas menggebu-gebu.
Shandy membersihkan seragam dari debu. Dia pun berjalan santai meninggalkan kedua murid di belakang. Bahkan Shandy bersiul kecil seakan kejadian tadi tak pernah terjadi.
Fiki menatap punggung Shandy nanar. Kata-kata Shandy begitu terniang di otak sampai berkali-kali.
Dada Fiki seakan di tusuk puluhan benda tajam. Rasanya sangat sakit sekali mendengar perkataan itu.
"Bang Shan... lo pasti salah bicara kan? Gue ini Adik lo satu-satunya," ungkap Fiki menolak kenyataan.
Gilang terdiam sejenak, lalu dia mendekati Fiki. Dia membantu Fiki berdiri terus memapah tubuh Fiki.
"Fik... lo jangan ambil hati ucapan Shandy tadi. Dia sedang tersulut emosi makanya asal bicara," ucap Gilang mencoba menenangkan.
Fiki tertawa hambar. Rasa sakit di muka dan tubuh ia hiraukan. Namun, hal yang lebih menyakitkan saat seseorang yang kita anggap dia Abang kandung malah mengatakan Fiki bukanlah Adiknya. Dunia seakan runtuh baginya.
Fiki tak menangis. Dia sangat kecewa. Ada semacam lubang di dada yang tak bisa tertutup dengan cara apapun.
Tak lama kesadaran Fiki menghilang. Kedua netra sudah mulai menggelap dan Fiki pingsan. Gilang yang tengah memapah memiliki reflek bagus untuk menangkap tubuh besar Fiki walau sedikit kesulitan.
"Fik... lo harus kuat ya," ucap Gilang pelan.
Gilang langsung membawa tubuh Fiki ke dalam mobil. Mobil terparkir tak jauh dari lokasi kejadian. Dia harus cepat-cepat ke rumah sakit agar Fiki mendapatkan pertolongan.
_$_$_
"Bang Iky..."
Fenly berlari menuju tempat Ricky terbaring. Selang oksigen terpasang di hidung, terpasang infus di punggung tangan kiri, beberapa kabel tertempel di dada serta alat lainnya di tubuh.
Di layar monitor terlihat gambaran gelombang-gelombang teratur. Mulai dari tekanan darah, denyut nadi, pernapasan, suhu dan saturasi oksigen terhitung stabil.
"Bang Iky."
Fenly menggoyangkan tubuh Ricky pelan. Kedua mata Ricky masih tertutup rapat. Deru napas naik turun dengan normal.
Air mata Fenly akhirnya tumpah. Dia tak kuasa menahan kesedihan melihat keluarga satu-satunya terbaring di brankar rumah sakit.
Fenly tak mengetahui bahwa sang Abang memiliki riwayat peryakit. Selama ini Ricky menyempatkan olahraga kecil di rumah di balik kesibukan mengurus perusahaan.
"Bang Iky. Ovel mohon cepatlah sadar. Ovel sedih melihat Bang Iky seperti ini," ucap Fenly lirih.
Jika sampai terjadi sesuatu hal mengerikan kepada Ricky. Fenly tak tahu harus hidup dengan siapa lagi. Dia tak terlalu dekat dengan Raka.
"Ayo Bang Iky, buka matanya. Ovel janji akan menjadi anak yang lebih penurut dan pastinya membanggakan untuk Abang."
Raka hanya diam berdiri di belakang. Ia memberikan waktu untuk Fenly melihat keadaan serta mencurahkan kesedihannya.
"Ricky, Fajri... Abang yakin bahwa kalian adalah orang-orang kuat. Kita di sini akan mendoakan kesembuhan kalian."
Raka mulai memejamkan mata. Dia berdoa kepada sang Maha Kuasa untuk mengirimkan kesembuhan serta kesehatan bagi keponakan.
"Aji... kalau sampai terjadi sesuatu kepada Bang Iky. Gue nggak bakal maafiin lo. Lebih baik gue kehilangan lo daripada Bang Iky."
Fenly mengepalkan kedua tangan erat. Dia takkan segan-segan membuat Aji lebih menderita atau mungkin untuk selama-lamanya.
Seringai lebar terukir di balik tangisan. Fenly sangat membenci Adiknya sendiri yaitu Fajri.
Rencana untuk membuat Fajri bahagia selamanya akan ditunda. Prioritas utama kali ini adalah kesembuhan sang Abang tersayang.
___BERSAMBUNG___
KAMU SEDANG MEMBACA
My Brother's [END]
FanfictionHanya sebuah karya fanfiction tentang UN1TY. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat dan latar cerita. Ini hanyalah cerita fiktif belaka. Terima kasih :)