Shandy memilih untuk tidak pulang ke rumah setelah pertengkaran dengan Fiki. Saat ini Shandy menginap di rumah Joe, teman sekelasnya.
Kepulan asap rokok keluar dari mulut Shandy. Pintu kamar Joe terbuka, nampak Joe datang membawa segelas botol minuman besar.
"Bro, malam ini kita pesta bagaimana?" tanya Joe menunjukkan botol minuman besar itu.
Kedua bibir Shandy terangkat ke atas. Shandy membuang puntung rokok di asbak, lalu berjalan menghampiri Joe.
"Wah... mantap nih. Dapat darimana lo anggur merah?" tanya Shandy sudah duduk di sebelah kanan Joe.
"Gue kemarin beli dari Gilang. Lumayan lah lagi diskon haha," jawab Joe santai.
Joe menuangkan anggur merah ke gelas miliknya dan juga Shandy. Keduanya lalu mengangkat gelas ke atas, lalu melakukan tos ala minuman.
"Kita mabuk malam ini!" seru Joe meneguk anggur merah hingga setengah.
Berbeda dengan Shandy, ia sudah meneguk sampai habis. Kembali Shandy menuangkan anggur merah ke gelas dan menghabiskan sekali teguk.
"Hahaha... lo kalau ada masalah ke sini saja. Kita pesta sampai pagi," ujar Joe.
"Iya bro. Gue senang punya sahabat kayak lo," balas Shandy meneguk gelas ketiga.
Malam ini kedua remaja menikmati anggur merah. Suara alunan musik dengan volume keras diputar di dalam kamar. Kamar Joe kedap suara jadi mereka bebas melalukan apapun sesuka hati, contohnya seperti sekarang.
Shandy sudah menghabiskan banyak anggur merah. Joe, sahabatnya sudah terlelap akibat mabuk berat.
"Cemen banget lo Joe, haha...," ledek Shandy.
Shandy mengambil botol merah langsung ia minum sampai tak tersisa isinya. "Ahh! Nikmat banget emang nih minuman penghilang masalah," ucapnya.
Sisa minuman di bibir Shandy bersihkan menggunakan lengan baju. Ia pun perlahan tertidur di atas kasur.
Bayangan tentang perlakuan sang Ayah terniang. Shandy sangat muak dengan kehidupannya sekarang setelah Fiki lahir dan merebut segalanya.
"Fik! Lo seharusnya nggak usah lahir di dunia ini. Gue nggak bakal mendapatkan perlakuan tak pantas dari Ayah cuma gara-gara belain lo!" Shandy meracau.
Ketika seorang tengah mabuk. Di situlah mereka jujur dengan isi hatinya. Segala luapan kekesalan dan emosi seakan terucap begitu saja dengan lancar.
"Gue benci lo Fik!" seru Shandy.
Dan kedua mata shandy mulai menggelap. Suara dengkuran halus keluar dari mulut Shandy.
Suasana kamar Joe sungguh berantakan. Mereka melakukan pesta semalaman dengan penuh kebebasan.
_$_$_
Deg!
Raka berlari menuju kamar nomor delapan. Perasaan tak enak menyelimuti hatinya.
Pintu terbuka lebar. Di sana para tim medis tengah melakukan pemberian tindakan darurat.
Seorang perawat sedang memompa dada kiri sang pasien dengan hentakan. Dokter melihat layar monitor yang menunjukkan gambaran gelombang tak beraturan.
"A-Aji...," ucap Raka lemas.
Salah satu perawat melihat ke arah Raka. Perawat itu langsung menghampiri Raka cepat.
"Maaf Pak. Keluarga harus menunggu di luar. Kami sedang melakukan gawat darurat untuk pasien." Sang perawat menjelaskan.
"Sus, Aji kenapa suster?" tanya Raka. Tatapan mata tak pernah lepas dari sosok Fajri yang terbaring lemas di atas brankar rumah sakit.
"Pak, sebaiknya menunggu di luar. Kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk pasien," ucap sang perawat.
Raka sebenarnya tak rela. Tetapi ia harus mengikuti perkataan sang perawat. Raka pun melangkahkan kaki keluar kamar inap dengan lemas.
Pintu kamar telah ditutup. Raka terduduk lemas di dinding. Seluruh tubuhnya seakan tak berdaya.
Tak lama Fenly datang mendorong kursi roda berisikan Ricky. Ricky melihat Kakak sepupunya di lantai rumah sakit.
"Bang Raka," panggil Ricky pelan.
Raka melirik kecil ke arah Ricky yang sudah dekat dengannya. Air mata tak bisa ditutupi olehnya.
"Bang Raka, kenapa nangis?" tanya Ricky penasaran.
"Ky... Vel...," ujar Raka mencoba berdiri perlahan.
"Ada apa Bang sebenarnya? Keadaan Aji bagaimana?" tanya Ricky beruntut.
Fenly hanya diam. Ia tak mau terbawa arus pembicaraan yang menurutnya itu tak penting untuknya. Apalagi membahas nama yang sama yaitu Fajri.
Hal itu malah membuat hati Fenly terluap emosi. Bisa-bisa sang Kakak malah mengkhawartikan kondisi Fajri, padahal kondisinya sendiri juga sedang dalam keadaan tak baik.
"Bang!" seru Ricky kencang.
"Ky... sebaiknya kita berdoa untuk keselamatan Fajri," ucap Raka memegang pundak Ricky.
"Aji? Kenapa dengan Aji, Bang?!"
Raka menghela napas berat. Sejujurnya Raka tak tega memberitahukan kondisi Fajri yang saat ini antara hidup dan mati.
"Saat ini Aji sedang mendapatkan tindakan darurat. Kondisi Fajri tiba-tiba saja memburuk."
Deg!
Setelah mendengar penjelasan dari Raka. Seakan dunia Ricky hancur melebur.
"Nggak! Nggak mungkin kan Bang! Aji pasti baik-baik saja di dalam!"
Ricky memberontak di atas kursi roda. Ia berusaha bangun, namun tubuhnya di tahan oleh Fenly.
"Bang Iky, jangan banyak gerak. Kondisi Abang baru saja membaik," cegah Fenly panik.
"Ovel... Abang mau lihat Aji. Kamu jangan cegah Abang!"
Ricky terus memberontak. Keadaan Ricky semakin membuat suasana menjadi tak kondusif.
Raka ikut menahan tubuh Ricky. Ia tak mau sampai kondisi Ricky malah ikut memburuk, apalagi berhubungan dengan jantung.
"Ky! Kamu harus tenang!" seru Raka.
"Nggak bisa Bang! Aji dalam kondisi memburuk dan dia butuh Iky di sisinya!" sahut Ricky tak mau kalah.
"Bang Iky, Ovel yakin Aji pasti baik-baik saja. Dokter dan perawat sedang melakukan pertolongan kan," ucap Fenly pelan.
Dalam hati Fenly berdoa semoga Fajri tak terselamatkan. Dia dan sang Abang akan hidup bahagia berdua saja. Seringai tipis muncul di kedua sudut bibir Fenly.
Tiba-tiba pintu kamar Fajri di rawat terbuka lebar. Seorang dokter dan perawat keluar perlahan.
"Dokter! Bagaiamana kondisi Aji, dok?" tanya Ricky.
Saat ini tubuh Ricky dipegangi oleh Raka dan Fenly. Ricky berusaha mendekati sang Dokter.
Dokter dan perawat saling melirik kecil. Suasana menjadi sunyi sepi.
"Maaf...,"
___BERSAMBUNG___
KAMU SEDANG MEMBACA
My Brother's [END]
FanficHanya sebuah karya fanfiction tentang UN1TY. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat dan latar cerita. Ini hanyalah cerita fiktif belaka. Terima kasih :)