"Anjir, telat ... telat!" Zio yang baru selesai siap-siap itu bolak-balik panik dari kamar ke ruang tamu beberapa kali.
Dia melirik jam dinding di rumahnya yang menunjukkan pukul lima tiga puluh pagi, setelahnya langsung kembali masuk ke kamar dan merapihkan bajunya kemudian menjinjing tasnya keluar.
"Sepatu belum di cuci, gapap deh masih kinclong!" ujarnya kemudian langsung berjalan keluar rumah dengan tergesa-gesa tak lupa mengunci pintu juga gerbang rumahnya.
Dia menunggu taksi online yang sudah dia pesan lima menit lalu.
Kalau boleh curhat, Zio tuh paling nggak suka kalo di suruh nunggu, apalagi dalam keadaan telat kaya gini. Buktinya cowok itu nggak bisa diem sekarang. Kakinya yang jenjang itu terus jalan mondar-mandir gelisah. Padahal mau dia lompat-lompat atau salto juga taksi nggak bakal dateng tiba-tiba.
Bener deh kata Arga, Senin itu bukan hari yang menyenangkan. Dia tarik lagi deh kata-katanya kemarin.
Setelah taksi yang di tunggunya sampai, dia langsung masuk ke dalam dan membebani supirnya dengan permintaannya yang nggak masuk akal.
"Pak ngebut ya, please. Kalau bisa lima menit sampe. Sampe kecepatan maksimum gapapa deh pak saya siap." ucap Zio.
Supir taksi itu menginjak pedal gas sambil menggelengkan kepalanya. Lima menit katanya? Apa Zio lupa kalo jarak dari sana ke bandara itu sekitar tiga kilometer. "Ini cuma mobil biasa pak, bukan mobil super." balasnya.
"Ya pokoknya ngebut aja pak." Zio masih ngotot.
"Kalo lima menit nggak bisa, kecuali kalo mobilnya bisa terbang. Tapi saya usahain ya."
Zio cuma bisa mengangguk pasrah, masih untung itu supirnya baik dan nggak ngomel karena permintaan anehnya itu.
×××
"Hey Shoe! Tell me where's your partner!" Deka membentuk jari-jari tangannya ala-ala pistol dan ditodongkan ke sepatunya yang cuma ada satu.
Kayaknya hal ini udah jadi problematika hampir setiap orang di hari Senin pagi. Entah itu sepatu yang lupa di cuci atau kaos kaki yang hilang sebelah dan hal-hal menyebalkan lainnya.
Ini masih jam enam pagi, tapi cowok yang punya eye smile yang bikin senyumnya makin manis itu udah ribut sama keperluannya sendiri. Padahal hari ini jam kerjanya siang karena ikut penerbangan lokal.
"Oh jadi lo nggak mau ngasih tau gue?" ucapnya ke sepatunya yang jelas-jelas nggak bisa jawab itu.
"Oke! Liat jurus gue!" Deka mengambil napas dalam dan ambil ancang-ancang, "Bang Arga! Sepatu gue mana?!" teriaknya kemudian.
Mungkin kalo sepatunya bisa hidup, dia udah maki-maki Deka dari tadi, atau itu sepatu udah kabur sejauh-jauhnya.
Yang bingung kenapa Deka ada di rumah Arga, jadi gini ... tadi malem Deka milih nginep di rumah Arga karena pas perjalanan pulang, hujan turun disertai petir. Deka takut kalo mati lampu karena dia nggak punya stok lilin di rumah. Kalo gelap-gelapan sendirian kan merinding, kalo ada Arga seenggaknya ada orang yang bisa dia jadiin tameng kalo ada setan atau maling yang tiba-tiba nongol.
"Mana gue tau!" bales Arga dari dalam rumah.
"Ck! Ah gue jadi lupa tadi mau ngapain!" Arga misuh sambil mengusap rambutnya yang udah rapih.
"Bang Arga!" teriakan Deka yang kedua kalinya itu bikin Arga berdecak kesal.
"LDR! Lo diem dulu bentar, gue jadi lupa mau ngapain!"
Sambil berjalan masuk Deka ngedumel. Gara-gara Dastan nih nama dan panggilan kerennya berubah jadi LDR.
"Udah tua sih, jadi pikun." celetuk Deka yang langsung dapet pekikan Arga yang ngga terima dikatain.
KAMU SEDANG MEMBACA
AVIATEEN [SVT]
HumorCerita tentang persahabatan tiga belas pemuda yang menggeluti dunia aviasi. Tentang jiwa muda mereka dan pemikiran dewasanya. "Dulu gue takut ketinggian. Tapi, setelah ketemu kalian, bahkan langit sudah gue anggap sebagai rumah kedua." Ft Seventeen...