13. Rasa Rindu Yang Tak Kunjung Usai

138 52 243
                                    

Malam ini hujan turun lagi. Lelaki jangkung yang memiliki lesung pipi itu memarkirkan motornya di halaman rumah. Ia turun dari motor, melepas helm yang ia gunakan dan segera berteduh.

Hoodie yang melekat pada tubuhnya sudah basah kuyup, ia lupa membawa jas hujan saat pergi. Tak peduli pakaiannya sudah basah kuyup, yang ia pedulikan hanya makanan pesanan ayahnya.

Ia segera memeriksa makanan tersebut, ternyata aman. Hanya saja bungkus makanan itu sedikit basah karena air hujan.

Wajahnya seketika menekuk, menghela nafas menatap makanan yang ia pegang saat ini. "Gapapa, deh, yang penting dalemnya masih anget," ungkapnya lalu tersenyum.

Abizar melangkah kakinya menuju ke depan pintu rumah. Saat ia membuka pintu, terlihat sedikit celah untuknya melihat dan mendengarkan betapa berisiknya dua orang yang sedang berdebat.

Senyum yang baru saja terlihat seketika hilang. Kedua kaki Abizar rasanya berat untuk melangkah masuk ke dalam rumah. Abizar diam mematung, menyaksikan dan menyimak dua orang yang sedang beradu mulut.

"Kenapa kamu terus belain dia, sih, Mas? Dia udah bikin malu keluarga! Dia udah bikin pekerjaan Mas hilang! Dia udah bikin orang-orang yang aku sayang pergi!" bentak seorang wanita paruh baya.

Wajah wanita itu terlihat memerah karena tersulut emosi. Jari telunjuknya menunjuk ke arah lelaki bertubuh tinggi dan sedikit berisi.

"Asal kamu tahu, dari 3 tahun yang lalu sampai saat ini semua orang disekitar aku terus-terusan menghina keluarga kita! Mereka bilang kita gak bisa jadi orang tua yang baik, padahal dari sejak dia kecil kita ajarkan dia jadi anak yang baik. Tapi kenapa ketika dia beranjak dewasa dia malah mempermalukan keluarga?!!"

"Aku malu punya anak kayak dia! Semua hilang karena kelakuan dia yang bener-bener gak mencerminkan seorang anak yang sholeh! Mas gak malu punya anak berengsek kayak dia?!!" geram Sarah yang semakin meninggikan suaranya dihadapan sang suami.

Degg!

Jantung Abizar seakan-akan berhenti berdetak, perih rasanya.

Jujur, bizar ingin menangis namun tak bisa. Air matanya tak mau keluar, bahkan sulit. Hanya menyediakan sesak yang begitu besar didalam hatinya.

"Allahuakbar... Mau bagaimana pun dia tetap anakmu, Sarah. Dia anak yang kamu kandung selama 9 bulan dan kamu yang melahirkan dia," timpal Abdul.

Kedua mata Sarah sedikit membelalak, rahangnya mengeras. "Aku nyesel lahirin dia, Mas!"

Mendengar itu Abdul pun terbawa emosi. Ia kasihan terhadap Abizar, bagaimana pun Abizar adalah anak yang baik dan ia tidak pernah memperlakukan Abdul dan Sarah dengan buruk. "Jaga omongan kamu! Sudah cukup kamu bikin Abizar menderita, dia sayang sama kamu, dia tetap berbakti sama kamu, Sarah."

"Coba saya tanya, apa kamu punya bukti kalau Abizar yang bersalah? Selama 3 tahun ini apa bukti yang kuat? Ada? Nggak, kan?" Kali ini Abdul sedikit meninggikan suaranya, karena bagaimana pun Sarah ini egois. Sesekali harus dibalas dengan bentakan yang tegas agar ia sadar, jika kita yang diam malah ia yang akan seenaknya.

Dan tidak seharusnya Sarah meninggikan suaranya kepada suaminya, itu benar-benar dilarang dalam agama.

"Ada, Mas," tekan Sarah.

"Apa buktinya?"

"Aka," jawab Sarah. "Aka gak mungkin pergi dan benci sama Abizar kalau bukan dia yang salah."

Abizar ingin menyangkal namun apa dayanya, pasti Sarah tidak akan mendengar ucapan Abizar.

Lelaki itu membalikkan tubuhnya, melangkahkan kaki menuju meja disampingnya. Kemudian ia menyimpan makanan pesanan Abdul diatas meja, menutup pintu rumahnya kembali dengan perlahan agar tak terdengar dan disadari oleh kedua orangtuanya.

From Hi To GoodbyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang