CHAPTER 10 : SIA-SIA? TIDAK JUGA

24 3 0
                                    

Hari penerimaan rapor tiba juga untuk Padu. Hanya wali yang diminta untuk menghadiri laporan belajar selama satu semester itu. Remaja kelas X itu memilih bermain game bersama kedua temannya. Mereka memainkan itu bergantian. Padu dengan Jo, Padu dengan Azka, maupun Jo dengan Azka.

Kali ini Padu dengan Azka yang memainkan game sepak bola. Tangan mereka lihai dengan tombol-tombol yang ada di pengendali itu. Permainan pun menyenangkan bagi mereka hingga tak sadar teriakan mereka begitu nyaring. Tiba-tiba sesuatu terlintas di pikiran Jo.

"Eh, tiba-tiba aku kepikiran sama nilai satu semester ini, ya?" ujar Jo.

Tangan kedua temannya pun terhenti. "Lah, kenapa ingatin masalah rapor, sih? Gue kesini buat lupain itu," jawab Azka dengan kesal.

"Santai aja lagi. Nilai nggak bikin kita mati, kok." Padu menjawab santai.

Kala itu Azka lengah sehingga kesempatan untuk Padu mencetak goal. Jo pun ikut kegirangan dan menerima tos dari Padu.

"Lu, sih," ucap Azka. Ia membanting stick game dan memukul kaki Jo beberapa kali hingga mengaduh.

Keseruan itu tidak berlangsung lama. Suara bantingan pintu mampu membungkam ketiga sahabat itu. Suara berat yang akrab terus memanggil Padu dengan nada tinggi. Remaja pemilik rumah itu pun keluar dari kamar untuk melihat keadaan. Benar, terlihat papa Padu berdiri di samping sofa ruang tamu dengan memegang rapor miliknya.

"Ada apa, sih, Pa? Datang-datang kok teriak?" ujar Mama yang juga keluar dari kamar.

Padu pun masih berdiri di depan kamarnya. Melihat papanya akan meledak, ia kembali masuk kamar lagi. Ia memberi tahu Azka dan Jo untuk pulang. Mereka berdua menurut dan keluar dari rumah Padu.

Kini hanya keluarga inti yang ada di keluarga itu. Padu siap menerima makian dari sang ayah. Papa melempar rapor anaknya ke meja dan memberi tanda untuk diambil. Remaja itu pun mengambilnya.

Ia lihat beberapa nilai tidak ada yang tembus di angka puluhan 9. Terlebih nilai matematika yang mepet dengan ketuntasan minimal. Hawa dingin mulai menyengat tubuh Padu. "Peringkat berapa aku ini kalau nilai segini?" batinnya.

Di halaman terakhir terselip data peringkat siswa dari pertama hingga terakhir. Padu terngiang kalimat papanya.

"Kalau peringkatmu angka depannya 2 ke atas, jangan harap sepeda itu ada lagi di rumah ini."

Ia mencari namanya dari atas hingga baru tersadar bahwa nama yang ditulis masih berdasarkan nomor urut di kelas. Karena nama lengkapnya berawalan 'W', jelas ia berada di bawah. Jari Padu bergeser dari kolom nama hingga peringkat. Betapa beruntung ia mendapat peringkat 19.

Hembusan keras keluar dari mulut remaja itu. "Papa kenapa teriak-teriak? Aku masih peringkat 19, kan?" ucapnya cengengesan.

Tamparan yang tidak keras mendarat di kepala Padu. "Dasar kamu ... Kamu beruntung, ya, karena ada siswa lain yang total nilainya 5 poin lebih rendah dari kamu."

"Yang penting tidak ada angka 2 di depan, Pa. Sepeda motor aman, dong." Senyumnya mengembang hingga mata sipitnya tinggal segaris.

"Iya ... tapi nilai matematika kamu hampir tidak lulus. Sia-sia saja kamu les privat." Papa terus mencari celah.

"Tidak sia-sia, loh, Pa. Dia ada perkembangan daripada awal masuk sekolah," kata Mama sambil mengelus pundak Papa.

"Bela terus itu anakmu." Papa ke kamar meninggalkan mereka berdua.

Mama dan Padu saling memandang. Setelah Papa tidak terlihat lagi, Mama duduk di sofa. Ia menepuk sofa itu, tanda menyuruh anaknya untuk duduk. Anak tunggal itu menurut.

[TAMAT✔] Cinta Ber(Padu) di Ruang BK Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang