Selembar kertas keluar dari mesin cetak. Remaja itu mengambil kertas itu dan dibacanya. Surat pemberitahuan penerimaan siswa itu baru saja terbit. Tinta merah di salah satu kalimat setelah namanya menandakan penolakan. "Sudah ku duga. Habislah," desahnya.
Makan malam tiba, saat keluarga berkumpul di ruang makan. Tidak ada suara selain benturan sendok dan piring yang bersautan. Selesai makan, remaja itu memberanikan diri menunjukkan sesuatu pada orang tuanya.
"Ma, Pa," panggilnya.
Setelah mendapat perhatian dari keduanya, ia mengeluarkan selembar kertas yang tadi dicetak. Tangan pria dewasa di hadapannya dengan cepat mengambil. Pria yang berperan sebagai papa itu membaca dengan saksama.
"Papa, ja-" Belum selesai, kalimat itu terpotong.
"Apa ini?!" Suara tinggi itu mampu membungkam istri dan anaknya. Kertas yang dipegangnya sudah tidak berbentuk.
"Masuk di Intercultural School memang sulit, Pa. Banyak yang tidak diterima juga." Remaja itu mencoba membela diri.
"Tidak usah membela diri. Memang bodoh kamu itu. Tes di sekolah itu aja tidak becus. Mau jadi apa kamu?"
"Sudah, Pa. Padu juga sudah berusaha, 'kan." Mama berusaha melerai. "Pasti salah satu sebabnya, karena kamu terlambat kemarin. Makanya, jangan tidur larut," lanjutnya.
Remaja bernama Padu itu tertunduk. "Maaf, Ma, Pa," ucapnya lirih.
Papa berdiri sambil berkacak pinggang. Jari telunjuknya berada tepat di depan mata Padu. "Sampai kamu tidak di terima di SMA Negeri itu, jangan harap kamu bisa tidur nyenyak di rumah ini! Papa kirim kamu ke Kalimantan!"
"Pa?!" Padu dan Mama membantah bersama.
"Jangan keterlaluan, Pa," ucap Mama tidak terima.
"Kalau tidak begini, dia anak ini akan menyepelekan," sanggah sang suami, kemudian pergi meninggalkan mereka berdua.
Padu masih duduk tertunduk. Hatinya masih berontak dengan ancaman sang papa. Pertanyaan demi pertanyaan muncul, mengapa sekeras itu padanya?
Tangan lembut Mama mengelus punggung hingga bahu membuat badannya sedikit melemas. Ia menarik napas beberapa kali untuk meredam kata-kata yang seharusnya tidak keluar karena amarah. Sekali lagi anak tunggal itu menatap mama, kemudian bangkit dan berjalan ke kamar.
**(())**
Beberapa ruang di SMA Negeri terpenuhi oleh siswa dengan seragam khas SMP yang berbeda-beda. Bangku belakang sudah penuh oleh siswa laki-laki termasuk Padu, dengan santainya mereka duduk bersandar.
"Kalau di sini pasti diterima," ucap salah seorang di sebelah Padu.
"Iya, di sini hanya siswa buangan yang ditolak sekolah unggulan itu. Iya, 'kan?" sahut peserta lain.
Padu memijat telinganya, karena kebisingan dua peserta di samping kiri dan kanannya. "Kenapa dapat bangku tengah, sih," batinnya.
"Oi, kenapa diam saja? Kamu pasti salah satu yang terbuang itu?" ucap peserta di kanan Padu, diikuti tawa peserta di kiri.
Seketika kepala Padu terangkat. Mata sipitnya menatap tajam kedua peserta berseragam biru gelap dan merah bata di sampingnya.
"Santai, Bro. Kita juga buangan, kok," ucap berseragam biru.
Senyum Padu tersungging. "Santailah. Aku akui, aku juga terbuang dari sana," akunya.
"Bisa, nih, kita berteman setelah ini?" balas siswa berseragam merah. Tertawa ketiga peserta bangku belakang itu pecah, diikuti tangan mereka yang saling bertepuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
[TAMAT✔] Cinta Ber(Padu) di Ruang BK
Fiksi RemajaMenceritakan tentang seorang siswi bernama Cinta yang bisa memasuki sekolah Internasional, tetapi tidak diizinkan kedua orang tua. Sehingga, ia bersekolah di SMA Negeri biasa. Selain itu ada siswa bernama Padu yang dituntut untuk bisa masuk di sekol...