Setelah menikmati libur semester pertama sebagai siswa SMA, kini saat kembali menjalani rutinitas sebagai seorang siswa. Seragam putih-abu membalut tubuh remaja 15 tahun itu. Walaupun hanya sepuluh hari, perubahan pada gadis itu cukup terlihat.
Rambut yang awalnya lurus dan senantiasa terikat rapi, kini mengombak dan ia memilih untuk menguraikan. Kuncir hitam polos hanya digelangkan. Cinta meraih pemerah bibir yang sebelumnya tidak ia miliki. Tentu bukan warna merah yang dipilih, tetapi senada dengan warna bibir. Sebagai seorang siswi, ia tahu batas memakai riasan.
Suara ketukan pintu terdengar. Cinta mengambil tas ransel kecilnya dan menghampiri Delon.
"Waw," ucap Delon sesaat setelah pintu terbuka. Matanya memindai dari bawah ke atas. Betapa terkejut ia melihat penampilan baru adiknya.
"Kenapa, Kak? Aneh, ya?" tanya Cinta dengan senyum canggung.
Delon menggeleng. "Cantik," ujarnya.
Seketika anak sulung itu meraih tangan Cinta untuk menggandeng. Sepintas ia melihat warna ungu gelap. Untuk memastikan, diperhatikan lagi tangan adiknya. Benar, satu-dua lebam terpampang di punggung tangan dan lengan kiri gadis itu.
"Ini kenapa?" tanya Delon.
Kini wajah laki-laki itu berubah datar. Matanya pun menatap Cinta dalam hingga membuat pupil gadis itu bergetar.
"Ng-Nggak kenapa-napa, Kak," jawab Cinta dengan terbata. Ia berusaha tersenyum untuk meyakinkan.
Tidak puas, Delon terus bertanya. "Tatap Kakak! Ini kenapa?" Nada Delon satu tingkat lebih tinggi.
Kesal, Cinta melepas tangannya dengan paksa. "Dibilang nggak kenapa-napa! Kalau nggak mau ngantar, ya sudah. Aku bisa berangkat sendiri."
Gadis itu meninggalkan sang kakak. Delon memanggil beberapa kali sambil mengejar. Namun, Cinta tetap pada langkahnya hingga tidak bisa terkejar. Delon terpaku dengan sikap adiknya. "Sejak kapan sikap Cinta seperti itu?" batinnya.
Tidak lama, Mama membuka pintu rumah. Ia melihat Cinta yang berjalan ke jalan raya sendiri.
"Kenapa anak itu?" tanya Mama.
Delon menggeleng sebagai jawaban. Mama pun lanjut menuju kamar tanpa peduli lagi. Namun, langkahnya terhenti setelah mendengar panggilan dari anak sulung.
"Sampai kapan Mama dan Ayah begini dengan Cinta? Dia nggak salah, loh," ujar Delon.
"Kamu itu nggak tahu apa-apa. Waktu itu kamu masih kecil," jawab Mama.
Delon mendekat. "Justru karena aku masih kecil dan nggak tahu apa-apa. Apalagi Cinta yang baru 4 tahun?"
Mama memalingkan wajah. "Sudahlah, aku nggak mau mengingat itu lagi." Ia pun pergi meninggalkan Delon.
**(())**
Cinta memang sering berangkat bersama Delon. Namun, beberapa waktu ia berangkat sendiri menaiki angkutan. Sama seperti kali ini, ia turun tepat di depan gerbang sekolah.
Sekolah kembali ramai dengan siswa, guru, dan pegawai sekolah lain. Mereka berlalu-lalang menempati posisi yang seharusnya. Cinta bergegas memasuki kelasnya.
Posisi bangku di kelas tidak berubah tetap berbaris berpasangan. Bangku paling depan dan belakang terisi penuh, hanya baris ketiga dekat dinding yang menarik perhatian di antara bangku kosong yang lain. Cinta duduk di sana.
Di bangku paling depan tengah, beberapa siswa mengerumuni seseorang. Mereka tampak tertarik dan penasaran dengan penghuni bangku itu. Tidak lama, kerumunan itu kembali ke posisi setelah bel berbunyi. Wajah sang pemilik bangku mulai terlihat. Benar, itu Nina
KAMU SEDANG MEMBACA
[TAMAT✔] Cinta Ber(Padu) di Ruang BK
Ficção AdolescenteMenceritakan tentang seorang siswi bernama Cinta yang bisa memasuki sekolah Internasional, tetapi tidak diizinkan kedua orang tua. Sehingga, ia bersekolah di SMA Negeri biasa. Selain itu ada siswa bernama Padu yang dituntut untuk bisa masuk di sekol...