Alur, tempat, dan instansi yang disebutkan dalam cerita ini hanya fiksi.
*
*
*Sejak menikah beberapa hal berubah dari diri Divya Hardana. Dia mulai banyak tersenyum, lebih ramah -pada orang yang menurutnya pantas-, mengucap atau membalas salam seperti Arya, dan yang paling menonjol adalah sebisa mungkin Didi tidak meninggalkan ibadahnya.
Seperti biasanya jika sang suami ada di rumah mereka akan salat berjamaah. Didi membuka mukena setelah berdoa. Ternyata benar yang dikatakan orang-orang, selesai salat perasaan kita akan lebih tenang.
Makan malam sudah tersedia di ruang depan, di atas tikar anyaman bambu. Dan kebiasaannya juga mengambilkan nasi serta lauk untuk Arya.
"Enak, nggak?"
"Kamu udah bisa masak sayur asem?"
Didi tersenyum bangga, "bisa dong! Aku belajar dari Rani. Gimana rasanya?"
"Enak."
"Lebih enak mana dari buatan Lilis?"
Kening Arya mengerut. Kenapa tiba-tiba jadi bahas Lilis? Kejadian di pesta Fira sudah lebih dua bulan terlewat. Wanita beranak satu itu pun tidak pernah lagi terlihat. Arya dengar dia pergi merantau ke kota meninggalkan anak serta ibunya.
"Enakan buatan..." Arya tampak berpikir. Tidak yakin dia mengingat bagaimana masakan Lilis terasa di lidah. Sudah lama dan tidak terlalu sering, jadi dia lupa. "...kamu," sambungnya.
"Kok ragu gitu sih?" Didi kesal. Dari keragu-raguan itu dia tahu Arya tidak jujur. "Kamu bohong ya? Buatan aku nggak enak, 'kan?"
"Masakan kamu selalu enak, Sayang." Meletakkan piringnya yang sudah kosong lalu mengusap kepala Didi. "Tuh buktinya aku habisin. Tadi itu aku mikir, karena aku lupa gimana rasa masakan Lilis."
"Bener?"
"Iya. Kamu cobain deh. Pasti rasanya enak."
Didi menggeleng, "aku gak suka sayur asem. Aku bikin ini cuma buat kamu aja."
"Kamu harus banyak makan sayur, biar sehat." Tangan Arya turun ke perut Didi. Mulai mengusap di sana. Berharap karunia Tuhan itu segera hadir di tengah-tengah mereka. Di setiap doa, Arya memintanya.
"Tapi, 'kan, aku belum hamil."
"Ya nggak apa-apa. Makan sayur, 'kan bagus buat semua orang."
"Iya deh, aku makan." Menyendok sayur buatannya sendiri meski nasinya sudah habis separuh.
"Hmm... Di, malam ini aku mau ke rumah Juragan Mulya ya."
"Lagi? Kan kemaren udah."
Sudah dua hari ini Arya selalu keluar sehabis makan malam. Meninggalkan Didi sendirian di rumah hingga hampir larut, dan sampai dia tertidur karena lelah menunggu.
Dua malam ini pula mereka tidak melakukan salat Isya berjamaah. Malam hari dan sendirian di rumah, bukan kombinasi yang menyenangkan. Jika ini di ibukota, Didi bisa bebas berkeliaran ke rumah Arman atau pergi ke mall. Tapi ini desa terpencil, hanya angin yang bisa dinikmati malam hari.
Alhasil untuk mengusir bosan Didi menyalakan laptopnya, menonton ulang drama Korea yang sudah selesai dia tonton.
"Ini udah masuk musim panen, Di. Banyak yang harus dipersiapkan."
Menghela napas panjang. Beginilah pekerjaan suaminya. Mau tidak mau, Didi harus menerima. "Hmm... ya udah. Tapi jangan pulang lama-lama ya."
"Mungkin sekitar jam sebelas. Maaf ya, aku nggak bantuin kamu beres-beres. Juragan Mulya udah nunggu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cukup Hanya Dirimu
Aktuelle LiteraturNiatnya Didi datang ke kampung ini hanya ingin berlibur, setelah lelah bertahun-tahun menjadi budak korporat. Juga sebelum dia beralih menjadi babunya Arman. Tapi baru dua hari di sini Didi malah dinikahkan! Dengan prince charming idola para wanita...