Selesai dengan urusan transfer dana antar bank. Didi mengajak Arman makan siang di luar. Tidak jauh, hanya di cafè yang berada di seberang kantor Arman.
"Ntar cafè lo buka, bikin acara apa?"
"Party di club." Jawab Arman asal.
"Gelo." Cibir Didi.
"Nggak ada acara apa-apa. Rencananya sih gue mau nyumbang ke panti asuhan aja. Biar di doain sama mereka."
"Tumben otak lo lurus."
"Gini-gini gue udah mulai berusaha religius. Gue juga nyoba buat rajin salat."
"Apa motivasi lo? Cewek ya?" Didi meminum jus jeruk yang baru saja diantarkan pelayan untuknya.
Arman cengengesan. Tebakan Didi tepat sekali. Bocah ini memang tidak akan jauh-jauh dari urusan wanita. "Siapa?"
"Dia yang ngedesain interior cafè." Tersenyum salah tingkah seolah wanita yang dibicarakan Arman ada di depannya saat ini. "Dia berjilbab. Dia juga rajin salat. Gue mau memantaskan diri."
"Memantaskan diri atau memaksakan diri?"
"Kok lo gitu sih? Harusnya lo support dong. Bagus 'kan kalo gue berubah jadi rajin salat. Lo juga harus mulai mendekatkan diri sama Tuhan, Di. Kita nggak bisa gini-gini terus. Dunia udah tua, bentar lagi kiamat."
"Kenapa lo jadi ceramah?" Kata Didi sebal.
Arman tidak tahu saja, Didi pernah ada di fase itu. Saat dia di desa dan menjadi istri Arya, dia rajin melakukan ibadah. Tapi saat tiba di sini, Didi belum menunaikan satu waktu pun.
Didi bertekad akan berusaha menunaikan kewajibannya meski sudah tak bersama Arya kini. Seperti kata Arman, itu juga untuk dirinya sendiri.
"Yang gue bilang itu bener, Di. Dunia udah tua."
"Kalo gitu, kenapa lo gak dzuhur tadi?"
"'Kan gue nemenin lo makan siang." Arman tertawa salah tingkah. Yang sebenarnya dia malas mengerjakannya.
"Alasan."
"Di, tumben lo makan sayur. Biasanya males."
Menatap sahabatnya itu dengan heran. Wanita di depannya ini paling menghindari makan sayur. Tapi sekarang beberapa menu yang Didi pesan semua mengandung sayur.
Didi mengangkat bahu acuh, "Pengen aja."
*
*
*"Lo anaknya betahan ya sekarang. Di kampung lo betah, nungguin gue kerja juga lo betah."
Selesai makan siang Didi tidak langsung pulang. Dia mengikuti Arman kembali ke kantornya. Tidak ada kegiatan di rumah dan Didi pun belum bekerja, lebih baik dia menemani Arman. Meski pria ini tidak perlu ditemani.
"Kalo di kampung mau gak mau harus betah, kan nggak bisa pulang. Kalo disini ya terpaksa, gue nggak ada kegiatan di rumah."
"Lo udah kayak istri nungguin lakinya kerja tau nggak?"
"Kalo entar gue punya laki, gue nggak bakal gangguin lo lagi deh. Sekarang nikmatin aja."
Mata Didi melirik pada kertas desain pakaian di meja Arman. Mengambil kemudian melihat gambar-gambar itu. "Ini proyek baru lo?"
Yang ditanyai mengangguk saja. "Kalau setelan jas gini, modelnya 'kan gitu-gitu aja, Man."
"Nggak cuma jas kok, ada blazer juga. Kalau blazer 'kan bisa dimacem-macemin. Buat ngantor sampe nongkrong."
Kini Didi yang mengangguk paham. Pria dengan jas memang selalu memukau. Berwibawa, terlihat berkelas, serta bisa menampilkan imej 'pengusaha sukses'.
"Udah ada model buat promosi nanti?"
"Belum sih. Final design udah ada. Next tahap produksi. Ada ide mau pake siapa?"
"Hmm..." Didi mulai berpikir. Lebih tepatnya sok berpikir. Arman sudah bisa menebak nama siapa yang akan disebutkan wanita ini. "Gimana kalo Reza Rahadian?"
Memutar bola mata, benar saja tebakan Arman. Didi pasti menyebutkan nama aktor favoritnya itu. "Dari proyek baju kasual sampe formal suit, tiap gue tanya pasti lo jawab Reza Rahadian. Nggak ada yang lain apa?"
"Gue taunya cuma dia aktor ganteng di Indonesia." Jawab Didi polos. "Lagian kalo pake artis luar lo nggak bakalan mampu, 'kan? Udahlah pake dia aja, ya? Ya, ya?" Berkedip-kedip berusaha terlihat imut agar pria di depannya menerima ide Didi.
Oh jangan pikir Arman akan luluh. Ide dari perempuan ini tidak bisa dia terima begitu saja. Memang image aktor itu baik, tidak pernah terlibat skandal tapi, Arman belum yakin.
"Kenapa sih, lo selalu ngajuin dia?"
"Ya gimana, dia itu cocok pake baju apa aja. Pake yang formal, kasual, sampe pake kaos bolong-bolong aja dia ganteng hihihi," oke, kalau sudah seperti ini Didi akan mulai merangkai skenario halu dalam kepalanya.
Jika nanti Arman memakai jasa Mas Reza - begitu Didi biasa menyebut idolanya - untuk jadi model, Didi bisa berusaha mendekati aktor itu. Hingga Reza menyukainya, mereka manjalin hubungan, menikah lalu hidup bahagia sampai tua. Kalau jodoh, tidak akan kemana.
"Heh!" Arman melempar gumpalan tisu pada Didi karena melihat wanita itu malah berkhayal. "Lo ngehalu,'kan?"
Didi menyipitkan mata kesal, melemparkan kembali tisu yang tergeletak dekat lengannya. "Gue nggak halu. Gue itu berencana, tau nggak?"
"Rencana apaan? Lagian kalo gue pake si Reza lo pasti tiap hari dateng ke sini buat ketemu dia. Bukannya kerja ngurus cafè lo malah keganjenan sama dia."
"Lo nggak bisa ya, ngeliat gue seneng dikit."
"Udahlah, lo cocoknya sama cowok-cowok di desa favorit lo itu." Ledek Arman merujuk pada desa yang di datangi Didi, alias tempat tinggal Arya.
Sialan, Arman! Padahal Didi sudah mulai lupa pada tempat itu dan pada apa yang terjadi di sana. Tapi si India KW ini mengingatkan Didi kembali. Benar-benar sial!!
*
*
*To be continued...
With love,
BabuBohay.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cukup Hanya Dirimu
Fiksi UmumNiatnya Didi datang ke kampung ini hanya ingin berlibur, setelah lelah bertahun-tahun menjadi budak korporat. Juga sebelum dia beralih menjadi babunya Arman. Tapi baru dua hari di sini Didi malah dinikahkan! Dengan prince charming idola para wanita...