Bab 13 | Aku Mendengarnya

11 1 0
                                    

Alur, tempat, dan instansi yang disebutkan dalam cerita ini hanya fiksi.

*
*
*

Semalam Arya tidak pulang. Benar-benar tidak pulang. Jika tempo hari dia pulang pukul enam pagi lalu pergi bekerja pukul tujuh, tapi tidak dengan hari ini.

Sudah hampir jam dua belas siang. Arya pasti sudah berada di kebun sekarang. Didi berencana mengantarkan makan siang untuk Arya. Sekaligus membicarakan masalah tadi malam.

Kotak bekal berwarna biru Didi bawa bersamanya. Didi dapatkan di rak piring, entah milik siapa. Arya bukan tipe orang yang suka membawa bekal dari rumah. Lagipula di kebun para pekerja memang mendapat jatah makan siang. Mungkin kotak ini milik salah satu fans Arya dulu, dia bawa pulang tapi lupa mengembalikan.

Meski Arya mendapat jatah makan siang, Didi tetap pergi dengan makanan yang dia masak.

"Eh mbak Divya, tumben ke sini?" Salah satu teman Arya menyapa. Kang Soleh namanya. Laki-laki itu sedang duduk di bawah pohon kopi, menyantap makan siangnya.

"Iya, Kang. Mau nyuruh Arya nyobain masakan saya. Saya baru pinter bikin ini soalnya. Kalau nunggu pulang saya gak sabar." Didi tertawa malu. Pura-pura malu lebih tepatnya. "Aryanya di mana ya, Kang?"

"Di pojok sana mbak," Soleh menunjuk satu arah lurus. "Baru dianterin jatah makan siang kayaknya. Tapi dia pasti makan masakannya mbak Divya daripada masakannya Tari." Soleh cengengesan.

Didi tersenyum saja. Padahal jantungnya sudah berdegup tak karuan. "Saya ke sana dulu ya, Kang. Permisi."

Agak jauh dari posisi Soleh tadi, Didi menemukan sosok Arya. Berdiri agak membelakanginya. Di depannya berdiri seorang perempuan berambut hitam lurus sepunggung.

Didi semakin mendekat. Langkahnya pelan agar kedua orang itu tidak tahu dia di sana. Sandal karet yang beradu dengan tanah pun tidak menimbulkan suara. Keuntungan bagi Didi.

Bersembunyi di balik pohon kopi, tidak terlalu dekat juga tidak jauh dari Arya dan perempuan itu. Didi tahu lawan bicara Arya adalah Tari, si anak juragan.

Isakan terdengar dari bibir Tari, suaranya pun bergetar saat bicara. "Ini anak kamu, A'. Tari cinta sama A' Arya makanya Tari mau ngelakuin ini."

Sial! Jadi benar Tari hamil dan itu anak Arya! Tangan Didi mengepal, buku-buku jarinya sampai memutih.

Jadi ini balasan Arya padanya. Dia rela menikah dan tinggal di desa terpencil ini, bahkan Didi rela melakukan pekerjaan yang di rumah tidak pernah dia lakukan, demi Arya. Tapi ini akhirnya yang dia dapatkan! Sialan!

"Aa' tau. Gini aja, kasih aa' waktu buat bicara sama istri aa'. Mudah-mudahan dia bisa terima."

Ingin rasanya Didi memaki siapapun yang ada di depannya.

Muak dengan apa yang dia dengar Didi memilih pergi. Berlari secepat yang dia mampu. Menjauh agar hatinya tidak semakin terluka.

"Loh, mbak Divya. Kenapa lari-lari? Udah ketemu sama kang Arya?"

Dia berpapasan lagi dengan Soleh. Disela napasnya yang terengah akibat berlari Didi mendekat pada laki-laki muda itu, masih sempat tersenyum menggoda. Senyum yang selalu dia pakai untuk menarik perhatian kaum adam di club malam.

Gila! Didi benar-benar sudah gila!! Dan itu karena Arya, suaminya sendiri.

"Arya bilang dia udah makan, jadi makanan ini buat A' Soleh aja ya. Saya masak spesial pakai cinta." Engah napasnya dibuat seolah mendesah.

Mau tak mau Soleh terpana melihat pemandangan di depannya. Biasanya istri rekannya ini santun, sama seperti suaminya. Tapi sekarang, mengapa begini?

"Ma-makasih, mbak."

Cukup Hanya DirimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang