Bagian tiga puluh lima

558 73 0
                                    

"Kenapa Papa tidak memberitahu semuanya?" Tanya Jungkook pelan, mata yang biasanya berbinar kini terlihat kosong, meratap lurus kearah ubin lantai.

"Terlalu menyayangi mu, tidak ingin kenyataan merenggut kebahagiaan mu." Seokjin tersenyum kecil, Ayahnya benar, Jungkook tetaplah anak kecil yang masih bertanya tentang banyak hal walau jawabannya tepat berada didepan mata. "Senyummu terlalu cantik untuk dihilangkan." Lanjutnya, membuat Jungkook sontak menatap kearah Seokjin.

Jungkook tertawa hambar, " Dan membuatku ditinggalkan sendirian? Hahaha, sungguh kehidupan yang penuh lelucon, bukan?" Kekeh Jungkook, senyum Seokjin luntur, sebetulnya, ia sama sekali tidak mengharapkan respon ini dari adiknya.

"Aku tahu, seandainya Papa tahu dan menyadari jika aku mengetahui semuanya. Aku tahu kenapa Mama sama sekali tidak melihatku, kenapa Hyung-deul juga begitu, dan kenapa seorang ayah meninggalkan anak-anaknya. Aku melihatmu Hyung, saat kau makan bersama keluarga bahagia mu, saat Papa tertawa sangat lebar kareka leluconmu. Tapi kenapa dia bahkan sama sekali tidak mencoba membawaku? Atau mungkin menculik ku?" Seokjin diam, Jungkook saat ini seperti seorang Ahjussi yang mabuk setelah minum, terlihat sangat kacau. "Aku sendirian, sendirian dan takut. Sendirian saat ulang tahun, sendirian saat hari ayah, saat tahun baru, bahkan saat hari natal aku hanya duduk dijendela kamarku."

"Aku tahu, karena kenyataan sudah menghancurkan ku bahkan sebelum semua orang menyadarinya." Suara Jungkook tercekat, ia hancur, bahkan saat semua orang belum menyadarinya. Ia hancur, saat semua orang terlalu sibuk untuk menyembunyikan kenyataan.

Jungkook berdiri dengan wajah kosongnya, berjalan menuju ruang penghormatan dengan buku itu ditangannya. Pemuda itu duduk tepat didepan foto ayahnya, ditengah ruangan. Matanya menatap kosong kearah potret ayahnya. Malam itu berakhir dengan buruk, tidak ada seorangpun yang berani mengusik Jungkook setelah pemuda itu bembisu pada siapapun yang mengajaknya berbicara.

°
°
°

"Jungkook-ah, gwenchana?" Pemuda itu membisu, membuat semua orang yang ada disana bertambah khawatir.

Jimin menggelengkan kepalanya pelan, Jungkook bahkan sama sekali tidak menatapnya walau sedetik, hanya terus menatap foto Tuan Kim yang tersenyum disana. Sudah dua hari, Jungkook sama sekali tidak bergerak dari tempatnya terakhir kali, tidak mengonsumsi apapun dan tetap disana tanpa berbicara sedikitpun. Mata sembabnya setia mengiasi wajah tampan pemuda itu.

Namjoon dan Jimin datang sehari yang lalu, setelah mendapat kabar dari Yoongi. "Jungkook-ah, rasanya lelah, bukan? Kau ingin makan chicken? Hotteok? Ahhhh, tidak. Kau harus minum." Jungkook bergeming, Nyonya Kim yang melihat Jungkook seperti itu hanya bisa menangis, tidak tega melihat remaja berumur enam belas tahun merasakan pahitnya kenyataan.

"YAAA, JEON JUNGKOOK! SETIDAKNYA KAU HARUS MENJAWAB KAMI!" Taehyung berdiri dari duduknya dengan amarah yang memuncak, sungguh, melihat Jungkook yang seperti itu membuat kesabarannya habis. "Bukan hanya kau yang kehilangan Papa! Aku juga! Yoongi Hyung dan Hoseok Hyung juga!! "Taehyung menarik kerah setelan hitam yang digunakan Jungkook, tapi sama sekali tidak direspon oleh sang adik.

"Jeon Taehyung!" Tegur Yoongi tegas, "Apa sekarnag kau ingin membuat kekacauan ditempat penghormatan terakhir Papa?" Taehyung mendengus, ia menghempaskan tangannya dari kerah Jungkook, kemudian kembali ketempatnya.

Ruangan itu kembali hening, "Hoseok-ah, Taehyung-ah." Semua mata menatap kearah Namjoon yang baru saja memasuki ruangan. "Nyonya Jeon mencari kalian, dia berusaha menerobos masuk dari luar." Ujar Namjoon khawatir, pasalnya ekspresi Nyonya Jeon sama sekali tidak bisa dibilang baik.

"Haha, ini yang kalian lakukan disini?" Sosok wanita dengan baju terangnya memasuki ruangan itu dnegan kekehan sinis.

"Mama...." Hoseok berdiri dari duduknya, pemuda itu tadinya berusaha menurunkan emosi Taehyung.

"Akhirnya pria brengsek ini mati, sekarnag tidak ada yang akan berusaha merebut kalian." Ujar Nyonya Jeon.

"Mama...." Hoseok mengintrupsi dengan tegas, merasa tidak enak dengan nyonya Kim yang berada didekat Jungkook.

"Kenapa? Kalian merasa kehilangan? Pada orang yang sama sekali tidak membesarkan kalian? "

"Mama, berhenti."

"Tidak, biarkan aku berbicara."

"Mama, kau tahu?" Yoongi bertanya dnegan nada dinginnya, sebenarnya sama sekali tidak ingin merespon ibunya. "Jika kau terus seperti ini, satu persatu anak mu akan pergi meninggalkan mu sendiri. Seperti aku yang membawa Jungkook pergi, Hoseok juga mungkin akan membawa Taehyung pergi. Kau terlalu egois untuk menjadi seorang ibu." Ucap Yoongi pedas, wajah pria itu merah padam, sudah cukup ia bersaha sabar dengan sikap ibunya.

"Hyung.... Jaga ucapanmu pada Mama." Semua orang menatap kearah Jungkook dengan terkejut, pemuda itu baru saja berbicara dengan suara serak.

°
°
°

Jungkook berjalan gontai dikoridor sekolahnya, seluruh siswa yang dulunya selalu berinteraksi dengan seorang Jeon Jungkook menjadi saksi bagaimana pemuda itu berubah menjadi pendiam dan muram dari sebelumnya.

Tidak ada Jungkook dengan mata berbinar, yang ada Jungkook dengan wajah datar.

Tidak ada Jungkook yang selalu menyapa dengan satu botol susu ditangannya, yang ada Jungkook dengan Hoodie hitam yang hampir menutupi semua wajahnya.

Anak itu berubah, berubah menjadi sosok yang sangat berbeda.

Jungkook berusaha membangun kembali pilarnya, berusaha membangun benteng yang sebelumnya hancur karena setitik kepercayaan. Ia memantapkan dirinya, ia akan membangun pilarnya menjadi lebih kuat dan kokoh, sehingga siapapun tidak akan bisa menghancurkan dirinya.

Jungkook memasuki Gimnasium dengan wajah datarnya, didalam sana hanya ada Jimin yang sedang sibuk membereskan peralatan latihan yang sebelumnya digunakan oleh adik tingkat. "Hay Jungkook." Sapa Jimin, yang hanya dibalas oleh deheman singkat oleh Jungkook sebelum pemuda itu memasuki ruang ganti.

"Jungkook-ah, kau ingin kepesta Junwoon?" Tanya Jimin begitu Jungkook keluar dari ruang ganti dengan setelan yang berbeda.

Jungkook menggeleng pelan, "Aku harus berlatih hingga pukul sembilan malam, dan bekerja paruh waktu." Jimin mengangguk mengerti, walau ingin, ia tidak bisa memaksa Jungkook untuk kembali seperti dulu.

Bukannya ia tidak sadar, tapi dia hanya membiarkan semuanya berjalan seperti air asalkan semuanya tidak menjadi kacau dan salah. "Baiklah, jangan lupa makan. Jangan memaksakan dirimu." Jimin menepuk baju Jungkook pelan sebelum akhirnya keluar dari Gimnasium dengan ranselnya dibahu.

Jimin menghela nafasnya pelan begitu menutup pintu Gimnasium, ia menatap halaman gimnasium nanar. Huhhhh, setahun, setahun berlalu, dan Jungkook berubah menjadi sedingin musim dingin. Sekelebat memori berkeliaran diotaknya saat menatap halaman gimnasium, dulu Jungkook selalu bermain salju saat musim dingin datang.

 Sekelebat memori berkeliaran diotaknya saat menatap halaman gimnasium, dulu Jungkook selalu bermain salju saat musim dingin datang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah semuanya, dia tetap Jeon Jungkook, kan? Hanya saja leboh menyadari jika dunia rupanya benar-benar kejam.

Jamais-vu : Solitude [JJK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang