Prolog

438 33 3
                                    

Di sebuah ruangan yang terlihat sudah sangat usang. Tembok rumah yang sudah berlumut, kursi kayu pun juga sudah reyot. Bunyi hewan seperti jangkrik dan serangga lainnya tak menyulutkan niat seorang pemuda yang tengah menyusuri ruangan demi ruangan dari rumah itu.

Bukan hanya bunyi serangga saja, ada bunyi-bunyi lainnya yang mampu membuat bulu kuduk merinding. Benda terjatuh, pintu yang tiba-tiba saja terbuka dan tertutup sendiri, bahkan langkah kaki yang membuat siapa saja enggan untuk tetap berada di ruangan yang menyeramkan itu. Namun, berbeda dengan yang lainnya, pemuda yang kini mengenakan kaos berwarna putih serta luaran kemeja hitam itu dengan santainya menghampiri setiap suara yang mengganggunya.

Sampai pada akhirnya, terdengar suara tangisan seorang wanita yang mengganggu telinganya. Dengan cepat ia menghampiri sumber suara. Di balik tembok, tepatnya di dekat kamar mandi dengan jelas, ia bisa mendengar suara tangisan seorang wanita yang terdengar begitu menyayat hati. Namun, setelah ditelusuri, tidak ada siapa pun di sana. Ia mencoba untuk kembali, tapi tiba-tiba saja suara air mengalir berhasil menghentikan langkahnya. Ia membalikkan badannya untuk melihat apa yang ada di belakangnya.

“Ck, sial!” gerutunya.

Tidak ada apa pun, yang diharapkan muncul sama sekali tidak menampakkan dirinya. Sehingga membuat pria itu sedikit kecewa. Atensinya teralihkan dengan suara ponsel miliknya. Ia merogoh saku celananya, lalu menatap layar biru yang terus menyala.

“Halo?” sapanya pada seseorang di seberang sana.

“Erwin, di mana kamu?” tanya seorang pria.

“Aku sedang mencari sesuatu,” jawabnya dengan enteng.

“Oh ayolah Erwin, tengah malam seperti ini kamu sedang mencari apa?”

“Aku sedang berburu hantu,” ujarnya.

“Hey! Apa kamu sudah gila? Jangan bercanda!” protesnya.

“Ada apa? Langsung saja katakan.”

“Temui aku sekarang juga! Akan kutunggu dalam waktu lima menit!” perintahnya.

“Aku ini bukan pembalap, jangan menyuruhku seenaknya!” oceh pria yang bernama lengkap Erwin Raditya Rajendra itu.

“Aku tidak mau tahu, ku tunggu malam ini di rumahku. Sekarang!”

Tut ... tut ... tut

Erwin hanya bisa berdecak kesal, ia menatap layar ponselnya dengan tatapan datar. Ia sedikit menoleh ke arah ruangan yang begitu gelap.

“Kamu terlambat, sekarang aku harus pergi."

***

Mario Andra Wijaya, atau yang lebih akrab disapa Rio. Ia merupakan kakak angkat Erwin. Mario adalah seorang anggota polisi. Ia sudah mengabdi sejak sepuluh tahun silam. Bisa dikatakan Rio saat ini menginjak kepala tiga. Namun, wajahnya tetap awet muda seperti masih berusia dua puluh tahunan. Meskipun kulitnya sedikit berwarna coklat.

Erwin Raditya Rajendra, adik angkat Rio yang memiliki kemampuan istimewa. Ia mampu melihat sesuatu yang tak banyak orang bisa melihatnya. Ia juga bisa berbicara, merasakan, bahkan mengusir makhluk tak kasat mata. Erwin yang sudah terbiasa dengan hal-hal seperti itu sudah tidak merasakan takut lagi. Iya, Erwin merupakan seorang indigo.

Indigo : Tumbal [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang