Erwin kecil pov
Aku tidak tahu harus mencari kelinci itu ke mana lagi. Sudah mengejarnya dengan jauh, tapi tetap saja tidak aku temukan di mana pun. Sepertinya aku cukup jauh berjalan dari rumah hanya untuk mencari seekor kelinci putih. Bibi pasti sangat mengkhawatirkanku.
Aku menatap ke arah sekeliling, banyak kendaraan yang berlalu lalang. Aku takut, tidak kenal dengan siapa pun di sini. Aku ingin kembali, tapi suara itu tiba-tiba saja muncul.
"Jangan pergi! Tetaplah di sini!"
Aku menoleh ke sana kemari, mencari dari mana suara itu berasal. Kata-kata itu terus terngiang-ngiang di telingaku. Aku takut ... seseorang tolong aku!
"Berjalanlah ke Barat!"
Suara itu lagi, kini memintaku untuk berjalan ke arah yang aku sendiri tidak tahu. Aku tidak bisa berpikir, takut, ingin segera pulang dan memeluk mamah.
"Berjalanlah ke Barat, Erwin!"
Deg!
Dia tahu namaku? Siapa? Aku tidak bisa menemukan siapa pun di sini. Bahkan, orang-orang yang tadinya berlalu lalang pun mulai berkurang. Aku harus ke mana, udara semakin dingin membuatku sedikit menggigil. Mamah, papah, tolong siapa pun bawa aku pulang.
"Barat!"
Suara itu kini jelas terdengar tepat di telingaku. Aku sontak menoleh, tapi tidak ada siapa pun. Memintaku tetap di sini, dan sekarang aku diminta untuk pergi ke Barat. Suara siapa itu sebenarnya?
"Siapa? Tolong, jangan menakutiku!" teriakku dengan suara yang bergetar. Rasa takut dan dingin itu menjadi satu di dalam tubuhku, hingga membuat seluruh badanku gemetar.
Tiba-tiba saja seekor kucing hitam berdiri di depanku. Ia menatapku dengan tajam, entahlah, aku merasa ia ingin aku mengikutinya. Aku pun berjalan beriringan dengan kucing hitam itu. Hari mulai gelap, suara adzan maghrib juga sudah bergema.
Meong!
Aku berhenti di sebuah minimarket. Seorang anak laki-laki menatapku, sepertinya ia lebih tua dariku. Anak itu menoleh ke sana kemari, mungkin dia heran kenapa aku datang seorang diri.
"Di mana orang tuamu?" tanyanya.
"Aku tersesat," ujarku.
Ia mengulurkan tangannya sembari tersenyum. "Mario, siapa namamu?"
Aku menatap tangan itu dengan ragu, lalu aku pun menerima uluran tangannya. "Erwin."
"Nak, sedang apa kamu di sini?" Tiba-tiba saja seorang wanita keluar dari minimarket. Perutnya besar, sepertinya ia sedang mengandung.
"Mamah, dia tersesat," ujarnya sembari menunjuk diriku.
Aku menatapnya, tidak bukan tante itu yang aku tatap. Melainkan tante rambut panjang yang berada di belakangnya.
"Nak—"
"Seharusnya Tante tidak keluar," potongku. "Tante itu mengikutimu," ujarku dengan menunjuk wanita di belakangnya.
Terlihat wajahnya yang terkejut. Ia menoleh ke belakang, seolah mencari wanita itu.
"Wanita yang mana?" tanyanya. Tidak mungkin dia tidak melihatnya.
"Rambutnya panjang, berbaju putih, dia tersenyum lebar, dan aku tidak menyukainya."
"Mah? Apa mungkin dia bisa melihat hantu?" bisik Rio yang tentu saja masih bisa aku dengar. Hantu? Apa iya yang aku lihat itu hantu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Indigo : Tumbal [✓]
HorrorIni bukan kisah teror yang dilakukan makhluk tak kasat mata. Bukan pula kisah menakutkan seperti cerita kebanyakan. Ini hanya kisah tentang seorang anak indigo bernama Erwin, yang kehilangan kedua orang tuanya di saat ia masih berusia lima tahun. Ia...