Matahari kembali menampakkan sinarnya. Meghan terlihat terlelap dari tidurnya, begitu pula Reva. Seorang wanita paruh baya melihat mereka dengan tatapan benci. Ia pun memukul meja menggunakan gagang sapu, membuat kedua gadis itu terbangun seketika.
Meghan menatap bibinya yang tengah berdiri di hadapannya. "Bibi?"
"Bagus yah, sudah numpang. Jam segini belum bangun? Kamu pikir ini rumahmu, 'hah!" teriaknya hingga membuat seorang pria paruh baya keluar dari kamar.
"Ada apa ini? Pagi-pagi sudah ribut," ucapnya.
"Lihat ini keponakanmu, menyebalkan!"
"Sejak kapan kalian di sini?" tanyanya, ia memandang Meghan dan Reva dengan lekat.
"Semalam, Paman," jawab Meghan.
"Kenapa aku tidak tahu?" tanyanya menatap istrinya.
"Kamu mana tahu! Sudahlah, kalian berdua cepat bereskan semua barang-barang kalian, dan segera pergi dari sini!" usirnya.
"Mah, biarkan mereka di sini. Mereka 'kan baru kehilangan kedua orang tuanya," ujar suaminya menenangkan istrinya.
Tak menggubris perkataan suaminya, bibi Meghan hanya melangkahkan kakinya keluar dari ruang tamu.
"Tidak apa-apa Paman, kami akan pergi sekarang juga," ucap Meghan, ia bangkit berdiri dan membawa kopernya.
"Tidak apa, jangan hiraukan bibi kalian. Ayo, kita sarapan dulu," ujar Ali mengajak kedua keponakannya.
Reva menatap Meghan, sementara yang ditatap hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Mereka pun berjalan ke arah dapur. Sintia, bibi Meghan menatap sinis dua gadis itu.
"Untuk apa mereka di sini? Bukankah sudah kubilang untuk pergi?"
"Sudahlah Mah." Ali kembali tersenyum ramah ke arah Meghan dan Reva. "Ayo, duduklah."
Mereka pun duduk di kursi meja makan. Salah seorang putri Ali, Bella, memasuki dapur. Ia menatap heran ke arah Meghan.
"Kenapa dia ada di sini?" tanyanya, ia duduk di samping Ali.
"Bella, kamu sudah bangun?" tanya Sintia.
"Hm," jawabnya dengan singkat, ia melirik sinis ke arah Meghan dan Reva. "Mereka sedang apa di sini? Mau numpang?"
"Bella!" sentak Ali, ia tidak suka anak satu-satunya itu berperilaku seenaknya pada orang lain.
"Ih, selalu saja Papah bela mereka," gerutu gadis itu.
Sintia hanya bisa diam, ia menyajikan makanan yang dimasaknya tadi. Suasana pagi hari ini suram baginya, karena harus sarapan dengan dua orang yang ia benci.
Selang beberapa menit, terdengar suara aneh di dalam kamar mandi. Keran air tiba-tiba saja menyala dengan sendirinya.
"Hm? Itu ... keran air di kamar mandi?" tanya Bella, melirik ke arah kedua orang tuanya.
"Biar papah yang cek," ucap Ali. Ia beranjak dari duduknya dan berjalan menuju kamar mandi. Ia melihat seekor tikus yang baru saja turun di atas shower kamar mandi. "Hanya tikus rupanya."
Ia menghentikan air di shower itu, hingga ia tak sengaja melihat bayangan putih melintas di hadapannya. Sejenak ia terdiam, menoleh ke sana kemari. Namun, tidak ada yang aneh di kamar mandinya.
"Barusan itu apa?" gumamnya. Ia menggelengkan kepalanya mencoba menyangkal apa yang dilihatnya, kemudian kembali duduk di kursi meja makan.
"Ada apa, Pah?" tanya Sintia.
"Hanya seekor tikus," jawabnya dengan singkat.
"Tikus bisa menyalakan shower?" tanya Reva. Semua mata memandangnya heran, hingga membuatnya kembali terdiam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Indigo : Tumbal [✓]
HorrorIni bukan kisah teror yang dilakukan makhluk tak kasat mata. Bukan pula kisah menakutkan seperti cerita kebanyakan. Ini hanya kisah tentang seorang anak indigo bernama Erwin, yang kehilangan kedua orang tuanya di saat ia masih berusia lima tahun. Ia...