Erwin mengunjungi penjara, di sana Ali sedang merenung karena mendengar kematian anaknya. Merasa puas dengan apa yang sudah terjadi, Erwin melipat kedua tangannya di dada.
"Turut berduka cita atas kematian anak sematang wayangmu," ujar Erwin.
Ali hanya menatap Erwin datar. Ia tidak berniat merespon pemuda sombong di hadapannya.
"Bagaimana, masih tidak ingin mengakui kesalahanmu?"
"Apa lagi yang harus aku katakan? Bukankah sudah jelas, kalau aku tidak tahu apa pun tentang hal ini?"
"Kematian putrimu yang mendadak, apa itu masih kurang?"
Ali menghela napas panjang. "Apa kematian seseorang ada di tanganku? Apa aku yang memutuskan kapan mereka akan mati?"
Tangannya ia masukan ke dalam saku celananya. Erwin berdiri tepat di depan sel dan menatap Ali dengan datar. "Bukankah karena tidak mendapat korban, maka secara perlahan satu persatu keluargamu akan terkena imbasnya?"
"Nak, kematian itu sudah ditakdirkan oleh-Nya. Kamu hanya terobesi, karena perasaanmu pada keponakanku." Ucapan Ali membuat Erwin mengerenyitkan dahinya.
"Karena rasa sukamu padanya, kamu dengan bersusah payah mencari tahu siapa pembunuh kedua orang tuanya. Padahal dokter sudah bilang kalau mereka bunuh diri karena depresi, tapi kamu menjadikan ini sebagai alasan untuk tetap dekat dengan Meghan. Jangan hanya karena kamu seorang indigo, kamu bisa mengaitkan segala kejadian dengan mereka yang tak terlihat," tutur Ali.
"Begitukah? Aku memang menyukai Meghan, tapi sayangnya aku tidak memanfaatkan keadaan untuk mendekatinya."
"Bukankah kasus kematian kedua orang tuanya tidak ada hubungannya denganmu?"
"Aku yang menanganinya, jadi aku harus menyelesaikannya," ujar Erwin.
"Sampai harus menangkapku seperti ini?"
"Hanya agar tidak memakan korban lagi, rumah itu sudah ditutup dan tidak akan pernah dibuka."
"Baiklah, terima kasih sudah menutup rumah itu. Sekarang aku ingin beristirahat." Ali merebahkan tubuhnya dengan wajah santai.
Erwin terlihat geram melihat tingkah Ali yang seolah tidak terjadi apa-apa. Bahkan, kematian anaknya tidak membuatnya merasa sedih. Manusia macam apa yang tak memiliki perasaan seperti ini.
"Bagaimana?" tanya Rio yang melihat Erwin baru saja duduk di hadapannya. Kini mereka tengah berada di kantin untuk makan siang.
"Aku harap malaikat maut segera mencabut nyawanya," ujarnya dingin.
"Waw, pemuda berdarah dingin." Rio menepuk pundak Erwin. "Bagaimana kalau memang bukan dia? Wajahnya tenang, tidak terlihat kerisauan sama sekali."
"Wajah tenang, tapi hati risau. Orang seperti itu pandai memainkan ekspresi wajah."
Rio memberikan gelas kopinya yang masih utuh pada Erwin. "Kenapa kamu yakin sekali?”
"Instingku kuat, dan tidak akan pernah meleset tentang itu." Erwin menyesap kopi yang diberikan Rio.
"Jangan terlalu yakin, kalau nanti salah sasaran yang akan malu bukan orang lain, tapi dirimu sendiri."
"Kakak meragukanku?" Erwin menatap Rio dengan datar.
"Berjaga-jaga itu perlu Erwin, terkadang rasa kepercayaan diri yang tinggi itu bisa menjatuhkan kita kapan saja."
Erwin hanya terdiam mendengar ucapan Rio. Ia kembali menyesap kopi favoritnya, memutar otaknya jika perkataan kakaknya benar. Lalu, apa yang akan ia lakukan jika memang tebakannya salah? Bukan karena malu, ia hanya ingin menghentikan tindakan yang merugikan banyak orang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Indigo : Tumbal [✓]
HorrorIni bukan kisah teror yang dilakukan makhluk tak kasat mata. Bukan pula kisah menakutkan seperti cerita kebanyakan. Ini hanya kisah tentang seorang anak indigo bernama Erwin, yang kehilangan kedua orang tuanya di saat ia masih berusia lima tahun. Ia...