Erwin menelepon Meghan di sela kesibukannya menyetir. Ia ingin memastikan kalau gadis itu baik-baik saja. Meskipun ia dititipkan pada adiknya yang sama-sama memiliki kemampuan spesial-tentunya setelah ia membuka mata batin adiknya-ia tetap saja khawatir. Pasalnya, Meghan belum sepenuhnya bisa bebas dari makhluk yang mengejarnya.
"Halo, kak?" Gadis itu sepertinya baik-baik saja, dapat ia rasakan dari suaranya yang sudah seperti biasanya.
"Aku hanya ingin memastikan kalau kamu baik-baik saja," ucap Erwin.
"Aku baik-baik saja kak," ujarnya.
"Kak Meghan baik-baik aja kok mas, jadi nggak usah khawatir. Aku udah usir makhluk menggemaskan itu!" teriak Disti di balik telepon. Ayolah, gadis itu selalu saja memiliki panggilan sendiri terhadap hantu yang ia temui.
"Jangan main-main dengan mereka Disti! Mas tidak mau kamu kenapa-kenapa."
"Iya mas!"
"Disti tidak melakukan hal aneh kok kak," tambah Meghan.
Erwin hanya terkekeh mendengar suara kedua gadis yang ia sayangi. Iya, ia mengakui perasaannya kini pada gadis yang sudah mencuri hatinya beberapa hari ini. Ia yang selalu memenuhi pikirannya, ia yang mampu membuat jantungnya bekerja dua kali dari biasanya. Bahkan, ia kini tengah tersenyum sendiri membayangkan bagaimana wajah Meghan tersenyum padanya.
"Baiklah, aku akan ke kantor polisi sebelum pulang."
Ia memutuskan sambungan teleponnya setelah mendapat kata 'iya' dari Meghan. Tiba-tiba saja kepalanya merasakan pusing. Selalu saja seperti ini, jika ia sudah berurusan dengan makhluk halus. Energinya terbuang saat ia mencoba mengeluarkan hantu itu dari tubuh Meghan. Namun, untung saja ia bisa mengatasi rasa pusing yang menyerangnya secara tiba-tiba.
Rio sedang berada di ruangannya ditemani oleh Andre, saat Erwin datang untuk menemuinya. Rio menatap luka di pipi adiknya, apalagi yang terjadi padanya.
"Kenapa lagi dengan pipimu?" tanya Rio. Andre ikut menatap luka yang ditanyakan rekan kerjanya itu.
"Hanya luka kecil," jawabnya singkat. Ia duduk di kursi di hadapan Rio.
"Ulah mereka lagi?" Rio tahu siapa yang selalu bisa melukai adiknya. Siapa lagi kalau bukan makhluk tak kasat mata, karena hanya merekalah yang mampu membuat Erwin rela menyia-nyiakan waktunya.
Jika orang lain tidak ingin berurusan dengan hantu, maka tidak dengan Erwin. Ia akan menyelesaikan apa yang menjadi urusannya, tentu saja dengan otot kekarnya. Berbeda dengan Disti yang lebih memilih otaknya. Namun, Erwin akan memilih menghindar jika harus berurusan dengan manusia, kenapa? Karena manusia itu lebih menyusahkan dibanding mereka yang tak terlihat. Aneh bukan? Iya, itulah Erwin dengan segala macam pikiran yang bahkan Rio saja tak bisa menebaknya.
"Apa Kakak sudah menemukan siapa pemilik nomor ponsel itu?"
Rio menghela napas panjang, lalu menatap Erwin dengan wajah yang tak bisa diartikan. "Itu nomor ponsel pak Agung."
Semuanya mengarah pada pria berkumis tebal itu, tapi kenapa ia tak mau mengakui semuanya. Erwin memijat pelipisnya, entah apa yang harus ia lakukan sekarang. Rasa pusing itu kembali menyerangnya, ia kini bahkan bisa merasakan hawa panas di seluruh tubuhnya. Bahkan, panggilan dari Rio saja dihiraukannya.
"Erwin, kamu baik-baik saja?" Rio yang khawatir itu menyentuh kening adiknya. "Astaga, kamu demam?"
"Aku hanya pusing, mungkin karena tadi pagi energiku terkuras," ujarnya yang membuat Rio menggelengkan kepalanya.
"Tunggu di sini, aku akan membuatkanmu teh." Rio keluar dari ruangannya meninggalkan Andre dan Erwin.
"Semuanya mengarah pada pak Agung, apa yang akan kamu lakukan?" tanya Andre yang kini duduk di hadapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Indigo : Tumbal [✓]
HorrorIni bukan kisah teror yang dilakukan makhluk tak kasat mata. Bukan pula kisah menakutkan seperti cerita kebanyakan. Ini hanya kisah tentang seorang anak indigo bernama Erwin, yang kehilangan kedua orang tuanya di saat ia masih berusia lima tahun. Ia...