Hancur

68 8 0
                                    

Siang hari yang begitu cerah, orang-orang tengah sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing. Sintia tengah duduk di sofa dengan tatapan kosong, rambut yang tak beraturan, dan napas yang tersengal-sengal.

Suara air keran yang menyala membuatnya menoleh dengan seketika. Ia beranjak dari duduknya, berjalan perlahan dan mencoba melihat ke arah dapur.

Sesosok makhluk berbaju putih tengah duduk di atas meja makan dengan kaki yang diayunkan, serta rambut panjang. Sintia berusaha menahan napas, sesaat setelah makhluk itu menoleh dengan sebuah seringai.

Mulut koyak, wajah penuh luka, serta leher yang hampir putus. Makhluk itu menatap Sintia dengan tatapan tajam. Wanita paruh baya tersebut berjalan mundur dengan perlahan. Namun, makhluk itu terus saja menatap Sintia.

"Pe-pergi, kenapa menatapku terus seperti itu!" teriak Sintia yang terdengar ketakutan.

Terdengar suara televisi yang tiba-tiba saja menyala, sontak membuat Sintia menoleh. Tidak ada siapa pun di sana, hingga ia kembali menatap dapur. Dan ternyata makhluk itu sudah tidak ada di sana.

Sintia merasa tenang, hingga ia pun kembali berbalik ke arah ruang tamu. Namun, tiba-tiba saja wajah itu kini tengah berada tepat di hadapannya. Sontak Sintia langsung berteriak ketakutan.

"Aaaaaaaaaa!" Ia pun jatuh terduduk di atas lantai dapur.

Hantu wanita yang wajahnya sudah tak berbentuk itu menyeringai. Ia merangkak mendekati Sintia yang ketakutan. Tentu saja wanita itu perlahan mundur dengan menggunakan tangannya.

Dengan tenaga yang masih ia miliki, wanita itu berusaha untuk tetap menjauh.

"Pergi! Jangan dekati aku, pergi!"

Hantu itu terus saja mendekati Sintia. Hingga wajah mereka kini benar-benar dekat. Bau amis dari darah, bisa ia cium dengan jelas. Sejenak wanita koyak itu menyeringai, Sintia memejamkan matanya. Tak ingin melihat wajah menyeramkan itu lebih dekat lagi.

Hingga bau amis itu pun hilang, wanita paruh baya tersebut kembali membuka matanya. Kosong, tidak ada apa pun di sana. Ia menarik napasnya, mencoba kembali bangkit dari duduknya. Sampai akhirnya sesuatu menyentuh pundaknya.

Tangan hitam dan kuku yang panjang, membuat wanita itu kembali ketakutan. Bukan hanya di situ saja, rambut Sintia kini ditarik dengan keras oleh hantu wanita yang kini tengah bermain dengannya. Ia menghempaskan tubuh wanita itu hingga terbentur kaki meja makan. Sintia meringis kesakitan, ia mulai menangis sejadi-jadinya.

"To-tolong hentikan," ucapnya dengan lirih.

Hi-hi-hi-hi

Hanya suara itulah yang terdengar di telinga Sintia. Suara yang seperti menertawakan penderitaan wanita paruh baya itu.

Tak sampai di situ, kini giliran kaki Sintia yang ia tarik dengan keras. Dan kembali menghempaskan tubuhnya ke arah tembok. Tak mengindahkan suara tangisan dari Sintia, ia kembali mendekati wanita itu dengan merangkak.

Kukunya yang panjang, kepala yang ia gerakkan ke kiri dan kanan secara perlahan membuatnya kembali memohon.

"To-tolong pergilah, aku mohon ...," ucapnya disertai dengan suara tangisan.

Ia mulai merasakan pusing di kepalanya akibat tarikan rambut yang begitu keras. Dan rasa sakit di tubuhnya karena benturan yang keras pula membuat Sintia tak tahan lagi, ditambah dengan tatapan menyeramkan dari hantu wanita yang kini tengah menyiksanya.

Seperti belum puas dengan korbannya, hantu itu kembali menggoda Sintia. Secara perlahan, ia mengelus perut dari wanita yang setengah sadar tersebut. Dengan kuku yang panjang, ia menusuk perut Sintia dengan kasar.

"Aarrrgghhhhh!" Seketika Sintia merasakan sakit yang luar biasa. Darah segar pun mulai mengalir dari mulutnya.

Hantu itu kembali menyeringai penuh kemenangan. Ia memperdalam tusukan di perut Sintia. Lalu, kemudian ia mencabut kukunya di perut tersebut.

Tak mempedulikan kesakitan yang dirasakan Sintia, kini ia mulai mendekatkan wajahnya. Dengan tangannya sendiri, ia mencekik Sintia dengan cukup erat. Sintia yang sudah tak berdaya, kini hanya bisa menatap hantu wanita itu dengan sayu.

Tubuhnya kini terasa ringan, bagai sebuah kapas yang diterbangkan oleh semilir angin. Napas yang ia hembuskan untuk terakhir kalinya membuat hantu wanita itu tertawa cukup keras.

Hi-hi-hi-hi

Dengan datangnya semilir angin, wanita itu perlahan menghilang.

***

Meghan dan Reva tengah berjalan di tengah hingar bingar suasana kota Jakarta dengan luntang lantung. Tanpa arah tujuan yang pasti seperti orang yang kebingungan.

"Kak, kita mau ke mana?" tanya gadis itu.

"Kita akan mencari kontrakan," jawab Meghan.

"Masih jauh?" tanya Reva lagi.

"Lumayan," ujarnya.

Reva memajukkan bibirnya, ia berjalan dengan sedikit menghentakkan kakinya di atas trotoar jalan.

"Aku kesal, kenapa bibi begitu membenci kita?"

"Mungkin karena semalam kita mengganggu tidurnya. Jadi Reva jangan marah lagi seperti itu, yah?"

"Iya Kak, lagi pula aku senang, karena bibi sudah tidak ada lagi," ucapnya dengan sebuah seringai aneh di bibirnya.

Meghan hanya menatap Reva aneh. Pasalnya, ia tidak pernah melihat Reva menyeringai seperti itu. Ekspresi gadis itu berubah menjadi ceria, hingga ia berjalan mendahului Meghan.

"Reva, tunggu!" panggil Meghan.

Gadis itu tak menggubris panggilan Meghan. Ia terus berjalan hingga menyeberangi jalan dengan banyak kendaraan yang berlalu lalang. Reva tak mempedulikan suasana jalanan yang ramai.

Hingga tiba-tiba saja, sebuah mobil melaju dengan kencang. Suara kelakson dari sang pengemudi itu tak membuat Reva berhenti. Ia terus berjalan dengan riang di tengah jalan.

Meghan yang melihat itu langsung berlari dengan kencang. Untung saja, sang pengemudi langsung menghentikan laju mobilnya, sesaat sebelum ia benar-benar hampir menabrak gadis itu.

Meghan langsung memeluk Reva dengan erat. "Reva!"

Gadis itu menatap Meghan dengan tatapan heran, ia melihat ke arah sekelilingnya. Banyak sekali orang yang tengah memperhatikan mereka.

"Kenapa banyak sekali orang yang menatap kita?" tanya Reva dengan polos.

Meghan tak habis pikir, ia benar-benar terkejut dengan kejadian ini. Hingga suara sang pengemudi mobil mengagetkan mereka berdua.

"Woy, kalau jalan tuh hati-hati! Lihat-lihat dong kalau nyebrang!"

"Ma-maafkan kami," ucap Meghan, ia membungkukkan badannya tanda meminta maaf. Kemudian ia membawa Reva kembali ke trotoar jalan.

Orang-orang yang tadi memperhatikan mereka mulai berjalan dan kembali melakukan aktivitas mereka masing-masing. Suasana jalanan pun kembali berjalan normal.

Meghan menatap Reva dengan wajah khawatirnya. "Reva, apa yang kamu lakukan?"

"Apa yang aku lakukan? Memangnya tadi aku melakukan apa?" tanya balik gadis itu.

Dheg!

Meghan benar-benar tak percaya dengan apa yang diucapkan gadis itu. Bagaimana mungkin ia tak ingat dengan apa yang baru saja ia lakukan.

....

Tbc ...

Jangan lupa vote and comment!

Indigo : Tumbal [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang