Dalang dari Semua Masalah

85 10 0
                                    

Pagi ini Disti bangun lebih awal. Ia mulai bertarung di pantry dengan peralatan masak. Terdengar suara pintu kamar terbuka, itu Erwin yang baru saja bangun dan langsung menghampirinya. Ia duduk di kursi pantry dengan santai. Mengetahui hal itu, Disti menyiapkan segelas teh hangat untuk sang kakak.

"Tumben masih pagi udah bangun?" tanya Erwin sembari meraih gelas teh yang baru saja disimpan Disti. "Terima kasih." Ia meneguk teh hangat buatan adiknya.

"Memangnya kalau aku belum bangun, Mas mau masakin sarapan untuk kita?" tanya Disti yang kembali bergelut dengan spatula di tangan.

"Tidak juga," ujarnya, ia kembali menyesap minuman hangat di hadapannya. "Meghan belum bangun?" tanyanya.

"Belum, sepertinya kak Meghan tidur dengan lelap." Disti menyimpan piring kosong di hadapan Erwin. Hari ini ia memasak omelette kesukaan kakak angkatnya itu.

Erwin hanya menganggukan kepalanya pelan. Sementara Disti memperhatikan wajah sang kakak yang ia panggil mas itu dengan tatapan jahil. Ia duduk di depan Erwin, gadis itu menopang dagu menggunakan kedua tangannya.

"Apa Mas menyukai kak Meghan?"

Mendengar pertanyaan adiknya, Erwin menatap datar ke arahnya. "Iya," jawabnya singkat.

Kaget dengan jawaban yang diberikan Erwin, Disti terlihat kesal. Bukan itu yang dia harapkan, ia ingin Erwin menyangkalnya agar dirinya bisa meledek sang kakak. Iya, Disti memang senang meledek Erwin, itu merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukannya terhadap Erwin.

"Ish, kenapa Mas tidak menyangkalnya?" ocehnya dengan bibir yang ia kerucutkan.

"Kenapa harus menyangkal kalau kenyataannya memang benar," jawab Erwin santai. Jika Disti senang meledeknya, maka Erwin hanya cukup membuatnya terdiam dengan ucapannya. Jawaban Erwin selalu di luar ekspektasinya, tak heran jika terkadang gadis itu merasa kesal sendiri.

"Mas Erwin menyebalkan." Disti memajukan bibirnya yang hanya mendapat kekehan kecil dari Erwin. Terlihat gemas jika adiknya sudah bertingkah seperti ini, ia ingin sekali mencubit pipi gembul gadis itu.

Meghan keluar dari kamarnya, suara pintu yang jelas terdengar itu membuat kakak beradik tersebut menoleh ke arahnya secara bersamaan. Meghan yang merasa diperhatikan menjadi salah tingkah, ditambah tatapan Erwin yang diiringi senyuman membuat jantungnya berdetak cepat. Disti kembali memasak omelette untuk Meghan. Sementara gadis itu duduk di samping Erwin.

"Ekhem!" Disti mengingat kejadian semalam. Sungguh pemandangan yang membuat matanya sakit. Ia masih polos ketika harus disuguhi hal-hal seperti itu.

Mengerti akan sikap Disti yang aneh sejak munculnya Meghan, ia melemparkan kacang polong yang menghiasi omelettenya. Tepat mengenai sasaran, makanan kecil itu berhasil mengenai kepala Disti. Hingga membuat sang empunya menoleh dan mengusap kepalanya. Wajahnya terlihat marah dan menatap Erwin tajam.

"Masak yang bener," ujar Erwin saat ia melihat adiknya menatap tajam ke arahnya.

"Ini juga lagi masak yang bener kok, lagian kenapa Mas tiba-tiba lempar kacang polong?" protesnya.

"Tingkahmu mencurigakan," ujarnya lagi. Erwin melahap sarapan paginya. Perutnya sudah berbunyi sejak tadi pagi.

"Dih, suudzon."

Meghan hanya bisa tersenyum simpul melihat dua saudara yang kini tengah bersenda gurau. Ia teringat akan adiknya, Reva. Setiap pagi mereka juga selalu seperti ini, bertengkar hanya karena hal-hal kecil. Ia merindukan masa-masa itu, di mana keluarganya akan berkumpul setiap pagi untuk sarapan bersama.

Disti menyimpan omelette yang baru saja ia masak. Erwin sudah selesai dengan sarapannya. Ia menaruh piring bekas di westafel, lalu mengambil air putih.

"Kalo minum duduk Mas," ucap Disti. "Malu sama calon."

Indigo : Tumbal [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang