Meghan duduk bersama Rio di kantin, gadis itu penasaran dengan apa yang terjadi pada Erwin. Kenapa ia terlihat begitu marah saat menerima kertas dari Rio. Pria itu menyadari kerisauan dari wajah Meghan, ia pun menyodorkan teh yang dibawanya pada gadis di hadapannya.
"Minumlah," ujarnya.
"Terima kasih, Pak."
"Erwin adalah adik tiriku, kami mengadopsinya di saat ia kehilangan kedua orang tuanya. Mereka terbunuh di rumah itu," ujar Rio.
Meghan menatap Rio dengan wajah penuh tanya. Ia penasaran dengan lanjutan cerita Rio tentang Erwin.
"Di rumah yang sama, di mana kedua orang tuamu terbunuh. Di sana pernah terjadi kebakaran, untungnya kerusakan yang dialami tidak terlalu parah. Seluruh penghuni rumah tak bisa diselamatkan, kecuali Erwin yang saat itu kabur dari rumah."
"Kabur?"
Rio menceritakan semuanya pada Meghan. Di mana Erwin merupakan seorang indigo, ia keluar dari rumahnya karena ajakan teman tak kasat matanya. Vina, saudara ibu Erwin yang tak menyukai dirinya membayar seorang pria untuk membunuhnya. Namun, ia berubah pikiran, ia ingin seluruh keluarga Erwin mati.
Erwin yang berbeda dari yang lainnya membuat Vina takut. Bocah itu selalu membicarakan hal-hal yang tak disukai Vina. Seperti bagaimana bentuk makhluk halus, di mana dia berada, sampai apa niat makhluk itu pada manusia. Ia benci mengetahui hal-hal seperti itu, benci dengan anak yang tahu segalanya.
Meghan yang mendengar hal tersebut merasa iba dengan Erwin. Kehidupannya jauh lebih menyakitkan dibanding dirinya. Sekarang ia tahu, kenapa Erwin bersikeras mencari tahu tentang rumah itu. Membantunya dalam mencari pembunuh kedua orang tuanya.
"Sekarang aku tahu, kenapa kak Erwin tetap mencari pelakunya," ujar Meghan.
"Rumah itu seperti kutukan, tempat pembunuhan yang dimanfaatkan orang yang tak bertanggung jawab untuk mencari rezeki yang tak halal. Menumbalkan semua penghuni rumah, lalu kembali menjualnya pada orang lain. Sungguh pemikiran yang picik," ujar Rio.
"Rumah itu dijual melalui perantara, mamah dan papah menemui seorang pria sebelum membeli rumah itu."
Rio teringat dengan nomor telepon yang diminta Erwin untuk memecahkannya. Ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan secarik kertas. Ia memperlihatkan angka-angka yang tertera pada Meghan.
"Apa kedua orang tuamu pernah menghubungi nomor ini?"
"Sebentar."
Meghan memeriksa daftar panggilan yang ada di ponselnya. Seingatnya, dulu ibunya pernah menelepon seseorang lewat nomor ponselnya. Dan benar saja, angka yang tertulis di kertas itu mirip dengan nomor yang pernah dihubungi ibunya.
"Karena tiga nomor terakhir hilang, aku tidak yakin kalau ini nomor yang dihubungi mamah," kata Meghan sembari memperlihatkan nomor tanpa nama di ponselnya.
Rio mengambil pena di sakunya, lalu menulis tiga angka yang tertera di sana. Ia berharap nomor itulah yang ia cari.
"Coba hubungi."
Meghan memanggil nomor itu, tapi sayang nomor tersebut sudah tidak terdaftar. Gadis itu menggelengkan kepalanya, hingga membuat Rio menarik napas kasar.
"Apa kamu pernah melihat pria yang ditemui kedua orang tuamu?"
"Hanya sekilas, saat orang itu datang ke rumahku."
"Sebutkan ciri-cirinya," ujar Rio yang siap dengan kertas serta pena miliknya.
Meghan menyebutkan ciri-ciri orang yang pernah datang ke rumahnya. Pena itu menari dengan cukup cepat di atas kertas, kini terlihat wajah orang yang disebutkan Meghan. Rio terkejut melihat gambaran orang yang ada di kertas tersebut, pasalnya ia mengenal siapa wajah yang ia gambar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Indigo : Tumbal [✓]
HorrorIni bukan kisah teror yang dilakukan makhluk tak kasat mata. Bukan pula kisah menakutkan seperti cerita kebanyakan. Ini hanya kisah tentang seorang anak indigo bernama Erwin, yang kehilangan kedua orang tuanya di saat ia masih berusia lima tahun. Ia...