Muhammad Sobru Havonuan Harahap
Tahun ini adalah tahun pertama saya merayakan kemerdekaan sesungguhnya. Ya, saya mengatakan seperti itu karena saya tidak hanya menonton upacara di Istana melalui televisi. Namun saya, teman-teman saya yaitu Syakur, Sulung, Arya, akan merayakannya di gunung tertinggi di Lampung, Gunung Pesagi. Syakur yang suka menonton acara National Geoghrapic pun jadi ketua kelompok pendakian.
"Kalian berempat yang no life, tiba tiba nekat ingin naik gunung. Yang benar saja!" olok ibu Sulung. Tetapi sudahlah, memang Ibu Sulung begitu. Hahaha!Saya adalah pribadi yang tidak bertindak sebelum memikirkannya terlebih dahulu, saya tidak ingin malu karena tidak kuat naik karena lelah dan merepotkan lainnya. Akhirnya artikel-artikel pun jadi solusi untuk permasalahan ini. Sebelum berangkat, saya sudah menyiapkan peralatan dan lainnya, dan tentu saja satu yang paling penting, kesehatan!
Sebelum hari pendakian, Syakur membagi tugas. Saya yang berbadan besar, membawa tenda kemah, dan barang berat lainnya. Arya yang kurus tapi tinggi, membawa alat masak dan bahan mentah untuk dimasak. Sedangkan Sulung yang pendek kurus, membawa sleeping bag dan matras. Syakur sendiri membawa sisanya seperti botol minum, dan pakaian ganti.
Kami berempat berangkat naik motor dari Bandar Lampung di pagi hari, dan di perjalanan kami sering berhenti untuk istirahat. Maklum, jalan di sini masih jelek dan membuat bokong sering sekali panas dan sakit. Namun, kami hanya tertawa karena Sulung selalu mencairkan suasana di saat kelelahan di perjalanan. Saya yang receh pun sakit perut mendengarnya. Syakur pun sakit perut, namun bukan tertawa, tidak lain tidak bukan sakit perut, lari ke wc, dan balik dengan bau yang....... Sudahlah!Sore hari telah datang, perjalanan yang melelahkan belum juga berakhir, hujan datang dan kami semua lupa membawa jas hujan. Akhirnya kami meneduh di warung soto pinggir jalan. Hangat soto mengisi perut kami, serta aroma kopi lampung yang terkenal juga tidak lupa mengisinya, kami nongkrong sampai maghrib. Setelah itu, hujan berhenti.
"Lanjut langsung ke kaki gunung aja nih?" tanya Sulung
"Saya mah mau aja, cuma masuknya kan lumayan susah," jawab saya.
"Enak aja langsung! Kamu orang ga liat kemari ada berita harimau di gunung ini?" teriak Arya
"Ngarah banget yak," jawab Sulung
"Serius saya kemarin liat." Arya Kembali menjawab.
"Ribet bener kalian, kita ini belum juga di gunung, kan bisa cari di Google beritanya," kata Syakur.
Akhirnya kami mencari berita di Google, Syakur yang sangat cepat mencari berita langsung menemukan artikelnya. Dan ternyata, berita itu adalah berita di gunung lain, bukan gunung yang akan kami daki. Akhirnya pun kami berempat melanjutkan perjalanan yang hanya sebentar lagi.Pukul tujuh malam, kami sudah sampai di pos penitipan motor gunung, karena dari pos penitipan menuju pintu rimba gunung lumayan jauh, kami bersantai-santai dahulu sambil menyiapkan mental karena ini pendakian pertama, dan buruknya lagi, ini malam hari. Kami yang biasanya hanya main game, nonton Youtube, makan, tidur, akhirnya keluar dari zona nyaman kami. Rasa bangga pun sudah muncul bahkan sebelum sampai ke puncak.
Tidak lama setelah istirahat, kami memulai pendakian.
Saya berada di bagian depan karena bawaan yang saya bawa lumayan berat, lalu di belakang ada Arya, Sulung, dan paling belakang ketua pendakian, Syakur. Hawa dingin menusuk tulang, rasa kantuk yang mulai datang, ketakutan pun mulai menghantui.
"Rek, saya boker dulu," kata Syakur
"Hoalah udah berapa kali Kur, boker hari ini? Hahaha!" celetuk Arya.
Dan kami semua tertawa
Tidak lama menunggu Syakur, kami melanjutkan pendakian. Akhirnya dengan penglihatan agak kabur, kami sampai di pos pertama. Pohon-pohon yang indah di siang hari terasa sangat menyeramkan di malam hari. Namun Sulung selalu membuat kami terbahak-bahak dengan lelucon recehnya. Saat istirahat pun, Syakur masih sempat-sempatnya boker lagi. Raja boker, mungkin julukan yang pantas buat dia. Hahaha! Saat datang, Syakur mengeluh kakinya sakit karena terpeleset sewaktu cebok. Akhirnya saya membawa tas Syakur supaya Syakur dapat mendaki dengan rasa nyeri yang minimal.Pos demi Pos diiringi dengan istirahat yang sangat sering, akhirnya pun kami sampai di puncak gunung di pagi hari, pagi di mana orang-orang teriak merdeka dengan sukacita. Puncak yang tak pernah kami pikirkan sebelumnya, apalagi yang nolep ketahui tentang puncak selain puncak kenikmatan saat di kamar mandi hahahaha.
Di puncak, kami bertemu banyak pendaki lainnya, anak-anak, remaja, bahkan orang tua ada di puncak ini. Kami semua, mulai memasang bendera merah putih kecil di trackking pole dan mulai baris seperti rombongan pramuka sewaktu sekolah. Upacara di puncak gunung ini dipimpin oleh mahasiswa pecinta alam salah satu universitas di Lampung. Kami berempat membaur dengan pendaki lainnya, kami tidak mengenal, namun rasanya seperti saudara seperjuangan. Bagaimana bisa? Saya pun tidak tahu rasa persaudaraan muncul sangat kuat, kenal pun padahal tidak. Hahaha!
Bendera mulai dikibarkan, tanpa aba-aba, kami semua langsung menyanyikan lagu Indonesia Raya. Ya, ini bukan sesuatu yang saya sering lakukan, saya menangis haru, kemerdekaan tahun ini seperti mempunyai nyawa bagi saya. Saya yang tidak tahu arti kemerdekaan pun berusaha mencari makna bagi saya sendiri. Saya pun berkata dalam hati, kemerdekaan adalah puncak dari segala perjuangan, di mana hanya ada rasa sukacita, rasa duka pun sudah di tebar di setiap pos gunung ini. Namun mengapa tangisan ini tidak kunjung berhenti. Tidak salah lagi, inilah tangis bahagia. Tangis anak bayi yang berhasil keluar dari rahim. Saya terlahir Kembali! Saya bayi bebas sekarang. Saya merasa menjadi bayi di buku Friedrich Nietzche. Hahahaha!
Setelah Upacara, para rombongan pendaki lain pun mulai mendirikan tenda, begitu pun juga kami. Tenda mulai saya keluarkan dari tas, lalu saya dan Syakur mendirikan tenda, sedangkan Sulung dan Arya memasak nasi dan lauk. Tidak butuh waktu lama untuk mendirikan, Saya dan Syakur lalu lanjut membantu Sulung dan Arya memasak. Namun Sulung hanya ngemil nugget yang telah digoreng, namun kami hanya tertawa melihatnya dan ikut makan. Setelah itu, kami berniat mengambil air tidak jauh dari puncak, perjuangan pun dimulai lagi hanya demi menghilangkan rasa haus. Syakur yang kakinya belum pulih tidak ikut mengambil dan menjaga tenda.
Saat sampai di aliran air yang mirip seperti sumur, kami mencoba meminumnya.
"Seger banget," kata Sulung.
"Asli! Saya mau cuci muka juga, katanya ini bisa bikin kulit jadi bagus," sahut Arya.
Kami tertawa lalu mencoba mencuci muka. Rasanya sangat segar, tidak seperti air di rumah yang kadang keruh. Lalu kami mengisi botol yang sudah kami bawa dengan penuh. Perjuangan naik pun dimulai Kembali, namun kami sudah mulai terbiasa dengan tanjakan gunung, dan air pun terasa meringankan kami melangkah. Sesaat di tenda, Syakur terlihat pucat. Kami pun seperti terkena serangan panik melihatnya.
"Kur, kamu kenapa?" tanya Sulung
"Ga tahu, Lung, kayanya saya mencret makanya boker terus," jawab Syakur
"Mungkin kamu dehidrasi?" tanya saya
"Ga tahu juga, Sob," jawab Syakur
Tiba tiba Sulung mengangkat sambil menunjukan obat diare. Kami malah tertawa dan panik hilang. Lalu Syakur minum obat nya dan tidak lama setelah itu dia tidur lagi.Kami bertiga pun lalu bergabung bersama pendaki lain berbincang-bincang dan bermain bersama sampai sore hari. Sungguh, pendaki sangatlah ramah sekali.
Malam telah tiba, Syakur pun sudah membaik setelah bangun. Kami pun makan dan minum kopi. Malam di puncak kami habiskan dengan cerita yang sangat sangat tidak jelas tema nya. Hanya ngalor-ngidul saja. Dari cerita ringan, sampai ke cerita cerita berat. Dari tertawa sampai sangat hening pun di lewati.
Keesokan harinya, kami memutuskan untuk turun gunung dan pulang, kami pun lomba lari turun gunung. Hal yang sangat beresiko tinggi namun kami tetap melakukannya. Bagaimana lagi, kalau tidak pulang hari ini juga, orang tua pasti sudah mulai khawatir. Turun gunung pun tidak seberat naik. Hanya rasa Bahagia dan tertawa lari seperti anak kecil. Perjalanan naik motor pun sangat cepat karena Syakur sudah sembuh dan pantat kami sudah terlatih.
Bionarasi
Muhammad Sobru Havonuan Harahap, Lahir di Lampung Tengah,27 September 1999. Mahasiswa S1 Desain Komunikasi Visual di Institut Teknologi Sumatera. Hobi menulis yang ia tekuni bukan hanya menulis cerita pendek, namun menulis puisi, lirik lagu pun ia tekuni. Penulis pun membuat cerita pendek berjudul, "Terlahir Kembali" untuk mengikuti lomba cerpen.
Saat ini ia sedang kuliah, disela kesibukannya, ia pun turut mempunyai usaha sewa alat outdoor Bernama Havora.Outdoor, pendakian pertamanya lah yang menjadi inspirasi dalam cerita pendek ini. Sebelum menjadi mahasiswa di ITERA pun ia pernah kuliah Teknik Geodesi di Universitas Lampung dan Jurusan Ekonomi Syariah di UIN Radin Intan.
Ia bisa dihubungi lewat Instagram @pra_ubermensch atau email sobrumustaine@gmail.com
KAMU SEDANG MEMBACA
Antologi Cerpen: PERJUANGAN TAK BERTEMA
Historia CortaStory ini adalah kumpulan cerpen bertema perjuangan yang ditulis oleh para penulis hebat, peserta lomba cerpen yang diadakan Penerbitan Egan's Family dalam rangka memperingati Kemerdekaan RI, Agustus lalu.