Dehumanisasi

44 1 0
                                    

Vania Kharizma

Moralitas dan mentalitas ialah nilai, bukan harga maupun studi banding!
––Vania Kharizma

Hari ini, pagi begitu benderang hingga tikus-tikus di semak tampak rupa menawannya. Selepas meneguk jus jambu dan menyisakan roti bakar ala Monako di geraham depan, mereka bersenda-gerau pada satpamnya sebelum menduduki oto sebagai bendi negeri. Kata-kata yang tak sempat diucap ART kepada majikannya menjadi hilang kendali sebab gaji di bulan depan enggan diterima karena takut terjangkit tulah pun wabah. Sebelumnya, anak-anak kampung menuliskan patah hatinya kepada dinding kota yang kemudian ditajuk sekelompok amoral.
“Bagaimana kami mesti menyuarakan kesah bila segenap cara dikaram dan petinggi-petinggi negeri lenggana mendengar?” Serak ibu yang tak wajar mengambil alih kecewa anak-anaknya dengan ketabahan menyeka sisa-sisa gas air mata di pelipis bapak.
Lip sync parlemen menjadi suara yang lantang didengar dalam sanubari rakyat, selepas ramai partai membagi kaos dan sembako berkilo-kilo kepada cunguk-cunguk yang dianggapnya pantas dan sudah semestinya untuk mengagung-agungkan namanya di waktu pemilu. Pada waktunya, perjuangan rakyat ialah sia dan sembahyang moyang beraliansi pada rapuhnya sedih batita yang lama tak dicekoki air susu ataupun kempung-kempung mahal di swalayan. Seperti halnya kesetaraan menjadi mizan yang berat sebelah, maka suara penegak Omnibus Law sama dengan keabadian dalam bumi gerilya. Kecintaan negeri disalah-pahamkan sebagai anutan jingoisme yang berbakti pada etnosentrisme. Sedangkan dalam kasus pembelaan dan peradilan, permainan bifurkasi menjadi petak umpet yang sukar diusut kebenarannya. Liputan sekadar mengincar kemiskinan dan derita jalanan yang didapat mereka dengan sekenanya, tidak dengan perjalanan hidup ke depan tentang perjuangan yang baka demi mengumur-panjangkan nasib dan nadirnya bahagia.
“Bik, apakah benar jika bangsa kita telah merdeka?”
Tiada sahut selain hela panjang yang urung berpaut pada udara-udara hening di sekitar hingga genap menemui sebuah jawaban yang tepat. Bagaimana dengan petualangan-petualangan yang hendak datang di kemudian bukanlah sesuatu yang mengejutkan kehidupan lagi, sebab takdir memperkuat pundak dan meneguhkan rahang ibu yang ketar sebab karib menangisi malam untuk menyiasati kehidupan yang mala. Pada sebuah kasus yang hina, lowongan pekerjaan nihil dan edukasi menjadi upaya yang mulia demi merengkuh jabatan yang epic. Pada akhirnya perjuangan menjadi titik sungkawa yang nahas di muka BNN waktu dini hari memergoki bapak mengais rezeki.
“Saya hanya disuruh dengan imbalan besar untuk mencukupi nafkah anak dan istri, pak. Tidak ada tujuan lain selain melihat keluarga kenyang dan mengutarakan senyum satu sama lain,” ujar bapak yang sebetulnya sedang menahan takutnya dengan bijak.
Tidak ada tolerir yang berpikir panjang mengenai asasi para budak-budak maksiat. Mereka sekadar menatap kecelaan sebagai suatu hal yang keji dan patut disirnakan sesegera mungkin. Bahkan keadilan pun seakan melupakan nama-nama hambanya yang mesti mendapat pembelaan dan kesetaraan sosial maupun hukum. Tidak dengan bandar-bandar miliarder yang dengan mudah sanggup memutar-balikkan pasal dan memainkan undang-undang sebagai hal yang lumrah demi terbebasnya mereka di jerat kungkungan maut dalam lapas.
Pada keheningan yang amat di musala BNN, bapak menangis dengan senggak-senggut yang bertahan begitu lama di sekat lehernya. Seperti tercekik, napasnya tak keruan mencumbu hawa sekitar yang begitu mengasingkan dirinya. Meskipun seorang pensiunan tawur, keadilan di sini tak memiliki cukup ruang untuk berkonsolidasi mengupayakan keringanan jikalau materi menjadi satu-satunya ekstra meraup kesetaraan hak. Tidak ada jalan lain merapalkan perjuangan yang sudah-sudah selain memperjuangkan doa kepada Allah yang acapkali dijadikannya pegawai sebagai penurut dari tiap-tiap list doa yang diutarakan. Kini, kelengangan begitu ngeri meraba punggungnya, jauh melebihi rasa nyeri memikul beban pekerjaan sebagai kuli toko-toko besi yang sibuk menjadikannya orang jajahan.
“Apakah mesti mengakhiri perjuangan, atau memilih mengakhiri hidup?” Beberapa NAPI yang menanti janji kemerdekaan memilih pulas sebelum pagi menjemput mereka menginap, di sebuah tongkrongan asyik tempat warga penjahat lainnya merancang konspirasi tentang negeri-negeri tikus.

Solo, 1 Oktober 2021

Bionarasi:

Vania Kharizma, usia 18 tahun dan tinggal di Kota Surakarta, Jawa Tengah. Hobinya berkompetisi literasi dan prestasi terbaiknya Juara Pertama Lomba Cipta Puisi Tingkat Nasional yang diselenggarakan oleh STAHN Mpu Kuturan Singaraja Bali. Harapannya, semoga Cerita Pendeknya yang bertajuk Perjuangan menjadi kesukaan pembaca. Sekian dan salam perjuangan! Email: vaniakharizma@gmail.com

Antologi Cerpen: PERJUANGAN TAK BERTEMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang