Napas Perjuangan

100 1 0
                                    

Rokhimatus Sholehah

Menjadi kuat di tengah kelemahan memang bukanlah hal yang mudah. Dan itulah yang kini tengah dirasakan oleh Amyra, gadis belia berumur 21 tahun. Kenangan beberapa waktu lalu terus mencuat dalam ingatannya, mengetuk secara paksa seolah meminta untuk diperhatikan lagi dan lagi.
Gadis itu tak pernah bosan menanamkan sikap rendah hati pada dirinya, sembari menelisik penampilannya di cermin, ia mulai menyisir rambutnya yang terjuntai ke bawah tanpa sebuah kucir. Tiba-tiba seseorang mendatanginya sembari membawa sesuatu di tangannya, dan beberapa masuk ke dalam mulutnya.
Amyra tertegun dan sesekali tersenyum, maklum saja jika adabnya kurang, mereka hanyalah anak tanpa dosa yang ditinggal orang tuanya sejak kecil.
"Hidup kita pas-pasan, kalau kita nggak hemat, bisa-bisa kita jadi gelandangan," ucap Apoy yang mengitari Amyra dengan menenteng gitar kecilnya.
Amyra membenarkan ucapan sahabatnya.
Hidup berkawan dengan jalanan dan terik matahari, tak membuat mental dan nyalinya surut, sebaliknya Amyra dan kawan-kawannya semakin gigih dalam berusaha.
"Kita ini ngamen, jual kreatifitas dan kualitas suara, tabuhan dan lain-lain. Jadi kita masih punya harga diri, dari pada mereka yang memilih untuk meminta-minta," papar Amyra yang didengar oleh seluruh temannya di tempat mangkal.
"Yang namanya usaha, kadang untung, kadang juga buntung, " papar yang lain.
 
Di tempat inilah mereka saling melepas penat, bercanda seadanya, dan tersenyum sebisanya.
Banyaknya jumlah pengamen membuat rezeki yang didapat tak menentu di setiap harinya. Tak terkecuali dengan hari ini, hujan deras mengguyur sepanjang hari.
 
Amyra dan kawan-kawannya hanya menatap lekat butiran hujan yang mulai menyapa, bau harum tanah beradu dengan air hujan begitu syahdu.
 
"Eh, Mbak udah pulang!" Sapaan dari seorang anak kecil berponi seumuran anak SD itu membuyarkan lamunannya.
"Adek, iya Mbak udah pulang. Sini...," ucap Amyra sembari melambaikan tangannya.
 
Setiap harinya, hanya Egalah yang menyambut dan mengetahui betapa lelah dan letihnya sang kakak. Tiada orang lain di rumah kecil dari bambu itu, cukup dua makhluk Tuhan yang tumbuh dalam dekap Khaliq-nya.
 
Pendapatan yang menipis secara otomatis akan membuat perut Ega kelaparan. Dengan terpaksa Amyra mencari pekarjaan tambahan demi mendapatkan sebuah nasi bungkusan.
Ia pun berpamitan, memutar otak agar adiknya tak kelaparan.
"Mbak mau ke mana, sih?" tanya Ega nampak menelisik.
"Mbak mau pergi bentar sayang, Ega tunggu di rumah ya. Nanti Mbak langsung pulang deh, kalau urusannya udah selesai," paparnya mencoba meyakinkan sang adik.
"Beneran ya, Mbak? Mbak nggak boleh lama-lama," balas Ega seraya menjabat tangan kakaknya.
Di lain sisi, Amyra juga giat belajar. Mengumpulkan buku dan majalah yang sudah tak di gunakan lagi oleh empunya, Amyra menemukannya di tempat pembuangan sampah, jalanan dan bahkan tepi selokan. Asalkan tidak mencuri, Amyra dengan senang hati memungutnya.
 
"Aku harus tetap belajar, apapun yang terjadi. Pengamen gini juga bisa kali kayak orang kuliahan di kota sana,” batin Amyra saat mendapati beberapa buku di tempat sampah.
 
Semalaman ia takpulang, Amyra baru berani menampakkan dirinya setelah ia yakin bahwa adiknya sudah terlelap. Ia tak tega jika harus mendengarkan rintihan dari adiknya yang menahan lapar. Usahanya hari ini nampak kurang beruntung, ia tak mendapatkan uang yang ia targetkan. Bahkan untuk membeli nasi saja ia takmampu.
"Ya Tuhan, tolong kuatkan aku. Kasihan Ega, pasti dia tidur dalam keadaan menahan lapar,” batin Amyra bergejolak. "Ya Allah, terima kasih karena kau sudah menjagakan adik hamba," bisiknya sebelum akhirnya ia mengusap buliran air bening yang jatuh ketika ia merapal doa. Penghujung malam ini ia habiskan untuk melakukan sholat tahajud.

"Non, kok ngelamun aja?" Sapaan seseorang membuatnya menoleh dan tersadar dari lamunannya.
"Ehm...nggak kok, Bik," balasnya ramah, ada silauan kesedihan yang memancar dari matanya. Sejenak ia tersenyum mengingat apa yang telah Tuhan ajarkan di masa lalunya, dan hadiah dahsyat tak terbayangkan di masa depannya.
"Sayang." Panggilan itu membuatnya menoleh lagi.
"Ngalamun aja, mikirin apa sih?" goda Hams yang telah membenamkan Amyra dalam peluknya.
"Aku ingat zaman susah dulu, Mas, keinget aja... Alhamdulillah sekarang hidupku lebih baik...punya suami kayak kamu lagi," pujinya saat Hams meraih tangan kanannya.
"Kamu berhak mendapatkan itu semua, Sayang," balas hams.
"Terima kasih juga, karena kamu dan keluargamu mau menyekolahkan Ega sampai sekarang, sebentar lagi dia akan segera menjadi sarjana."
Keduanya saling pandang dan melempar senyuman.
 
Beberapa tahun yang lalu....
 
Amyra terbangun dari tidurnya, gelagapan meraih ponsel yang masih keluaran zaman dulu. Ia melihat jam yang tertera dilayar utama.
Ia pun berjalan tergopoh menuju kamar adiknya, dan menyadari bahwa tubuh kecil itu tengah meringkuk di balik sebuah selimut yang takterlalu tebal.
"Ega, kamu panas, dek," ucapnya dalam keremangan malam dan pencahayaan yang minim.
"Mbak, badan Ega sakit semua," rengeknya pada sang kakak.
"Ya udah, Mbak bawa kamu ke klinik, ya," ucapnya seraya mulai merengkuh Ega dalam dekapnya.
 
Di tengah perjalanannya, Amyra mempercepat langkahnya, kondisi Ega sudah sangat drop.
 
Tiba-tiba di sela perjalanan yang menegangkan itu, sebuah mobil melintas dan taksengaja membuat baju Amyra dan Ega basah karena cipratan air yang ia ciptakan.
 
"Astaga! Jangan-jangan kena lagi," batin seorang tuan muda dari keluarga Exelino. Ia pun mencoba mencari tahu. "Ehm... maaf ya, saya nggak sengaja," ucap lelaki tampan yang kini masih mematung di depan Amyra.
"Iya, nggak papa. Maaf, kami buru-buru," papar Amyra sembari berlalu dari hadapan lelaki dingin itu.
"Masuk, saya akan antarkan kalian."
"Gak usah, maaf kami buru-buru," balas Amyra memberikan penjelasan.
Cengkraman itu berhasil membujuk Amyra, ia pun memasuki mobil dengan segera.
 
Pertemuan itulah yang menggiring kisah cinta keduanya, karena ketulusan dan kebaikan hati Amyra, lelaki berhati dingin itu akhirnya melabuhkan hati pada gadis biasa yang bahkan nampak membosankan bagi lelaki yang memandangnya.
 
"Saya terima nikah dan kawinnya Amyra Saliha binti Wahab dengan mas kawin tersebut dibayar tunai." Suara Hams benar-benar membuat hati Amyra merekah seketika, takada kata lain yang teruntai melainkan doa dan harapan terbaik.
 
Kini, kenangan itu telah menjadi pembelajaran paling berarti bagi Amyra dan Ega, dalam dekap hangat keluarga Hams keduanya benar-benar merasa beruntung.

"Ayo kita cek, Sayang," rengek Hams yang sudah taksabar menanti anak keduanya.
"Boleh, kita ke rumah sakit sekarang ya," balas Amyra.
 
Keduanya berjalan beriringan hingga mobil mengantarkan keduanya ke rumah sakit, sekembalinya nampak wajah keduanya pun berseri.
 
"Terima kasih sayang, kamu sudah memberikan keturunan yang lengkap untuk keluarga Exelino," ucap Hams setengah berbisik.
" Iya, lengkap ya, Sayang. Morgan Exelino dan besok," ujar Amyra.
"Maora Exelino, Sayang," balas hams menimpali.
Keduanya tertawa lepas sembari menghabiskan waktu di ujung senja.
"Siapapun yang pernah tersakiti di masa lalu, mungkin saja adalah orang yang sangat berhak mendapatkan kebahagiaan di masa depan," batin Ega saat menyaksikan sang kakak dalam dekapan kakak ipar kesayangannya.
 

Temanggung, 02 September 2021

 
Rokhimatus Sholekhah, lahir pada 16 Agustus 2000, tercatat sebagai santri di salah satu pesantren di Magelang Jawa tengah. Memiliki hobi membaca dan menulis, berasal dari Temanggung, mempunyai cita-cita menjadi wanita yang cerdas,tangkas dan berprinsip.

Antologi Cerpen: PERJUANGAN TAK BERTEMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang