Napas Nusantara

105 5 0
                                    

Ramanda Maharani

"Jangankan perang, mati pun aku rela untuk NKRI," ucap Yadi, pria berumur dua puluh tahun, kepada sang istri yang termangu di samping pintu. "Harus siap mengorbankan nyawa dan raga. Tidak boleh goyah, Cah ayu."
Kepedihan amat dirasakan mitra bicara. Apalagi truk yang akan suaminya tumpangi telah terparkir di depan rumah. Truk sama yang berisi belasan pasang mata pemuda sedesa. Mereka tersenyum, coba menyalurkan ketabahan. Bukan sesuatu yang mudah bagi siapa pun untuk mengirim keluarga tercinta, terjun ke medan pertempuran. Terlebih tiada jaminan kalau yang pulang nanti hanya sebatas kayu pusara.
"Mas pasti pulang kok," ungkapnya lagi dengan lembut.
Manik hitam penuh keyakinan, memandang Gauri yang berderai air mata. Jarinya memungut satu persatu bulir itu lalu turun, mengelus perut istri yang telah membesar. Dikecupnya lembut calon buah hati. Dalam beberapa bulan, mereka akan segera mendengar tangis kecil. Semua rasa ikhlas dikumpulkan. Biarpun takrela ditinggal dalam keadaan hamil tua, Gauri tetap memaksakan senyum. Ia tahu benar jika tugas mulia akan dilakukan suami yang telah menikahinya dua tahun terakhir.
"Hati-hati, Mas Yadi. Pulanglah dengan selamat," tuturnya usai mencium punggung tangan pria tersebut dengan takzim.
Gauri terus menatap punggung lebar sang suami, sebuah tas berisi baju melekat di sana. Lincah pria tersebut memanjat masuk. Dua orang memantu meraih lengannya. Mesin truk kini menyala, setelah semua anggota berkumpul, mereka bersiap untuk berangkat menuju medan tempur. Laju truk itu menyisakan angin, mengurai rambut Gauri yang hitam nan panjang. Bayang kendaraan pun lenyap seketika. Wanita berkebaya itu masuk ke gubuk sempit di mana ia bernaung. Doa terus terpanjat. Belum satu jam kepergian suami, Gauri sudah mengumandangkan ratusan ayat suci. Di sisi lain, Yadi menatap pepohon seri yang bergoyang. Udara dingin menghiasi pertengahan hari yang mendung, takada jaminan jika esok masih dapat merasakan hawa tersebut. Bibirnya mengaga. Berbisiklah ia pada angin, berharap pujaan hati mendapat ketenangan dan keselamatan.

oo'0'oo

Bagaskara menyembunyikan diri, menyisakan semburat orange di nabastala. Senja itu, rombongan Yadi telah sampai di pelabuhan. Namun, perjalanan panjang masih menanti. Ini baru permulaan dari sejarah yang hendak terukir. Mereka berbaris dan berbaur dengan  kelompok dari daerah lain. Pemuda-pemuda itu tampak ringkih. Namun, kehidupan lebih keras menanti di seberang laut. Sekalipun tubuh ringkih itu berkemungkinan besar hancur, tetap saja api berkobar dalam jiwa. Keyakinan menyeruak jika pemuda berkulit cokelat mampu mengusir segerombol orang berambut pirang yang tak kunjung meninggalkan Nusantara, meski proklamasi telah lantang disuarakan Bung Karno.
Mendekati malam, mereka dibagi menjadi tiga kelompok besar. Mata Yadi menatap tiga kapal kelas Jaguar. RI Matjan Tutul, RI Matjan Kumbang, dan RI Harimau. Begitulah kapal-kapal tersebut dinamai usai datang dari Jerman. Demi mempertahankan Irian Barat, pemerintah berusaha menambah persenjataan. Bahkan, setelah melakukan jual beli dengan Uni Soviet, TNI mengklaim jika Indonesia adalah pemilik angkatan udara terkuat di belahan Bumi selatan.

Atas keyakinan itu pula, kaki-kaki sigap masuk ke kapal. Gemuruh langkah para sukarelawan memecah lamunan. Tidak ada yang terlihat bingung, semua telah tahu di mana posisi yang harus ditempati. RI Matjan Kumbang menjadi kapal yang takdir pilih untuk Yadi. Pria berpostur tinggi itu duduk di dek sambil menikmati semilir angin. Ketiga angkutan laut mulai mengarung bersama. Malam demi malam dilewati para awak dengan was-was. Hingga tibalah meraka di Laut Aru. Ombak di sana seolah mendesiskan peringatan untuk waspada.

Pukul 09.33 malam, radar blips mencegat perlintasan. Dengan cermat, mereka meneliti benda tersebut. Setelah yakin jika blips tidak bergerak, ketiga Kapal Republik Indonesia kembali melaju. Taklama setelahnya, Yadi dan rombongan mendengar dengungan pesawat. Baru hendak mendongak, parasut yang mengikat peledak di jatuhkan. Ledakan memuncratkan air asin dengan jumlah banyak, tepat di samping kendaraan.
Gelap mendadak diusir terang. Yadi menutupkan lengan ke muka agar tak silau. Perlahan ia membuka mata, terlihatlah tiga kapal lebih besar telah menanti mereka. Bak begal, tamu tak diundang dari Negeri Kincir Angin itu menghadang. Sebuah peluru melayang sebagai peringatan dari kaum bermanik biru. Tembakan balasan pun diberikan, sayang meleset tanpa melecetkan kapal musuh.
Sadar jika tak akan menang, perintah disuarakan Komodor Yos Sudarso, "Semuanya mundur!"
Ketiga KRI langsung berputar 180°. Namun, Belanda yang kalut malah terus menghujani mereka dengan tembakan. RI Matjan Tutul yang kesulitan berputar pun, mengalihkan perhatian musuh. Bola meriam diterima hingga kapal karam.
"Tidak ...." Mata Yadi terbelalak. Tiga pemuda yang menjadi kawannya, ikut tewas seketika.
'Pria tidak boleh menangis.' Begitulah ungkapan yang sering terdengar. Akan tetapi, basah sudah teping pipinya. Malam itu terlalu suram. Orang-orang berjiwa besar di RI Matjan Tutul rela gugur agar yang lain selamat dan balas menyerang dengan persiapan lebih. Rasa malu akan kegagalan jelas hadir. Namun, ada hal yang lebih besar, yakni amarah. Dalam hati, sukarelawan perang itu mengumpat. Sumpah untuk membalas terpancar dari belasan manik hitam yang berembun.
Setelah memperpanjang waktu merancang ide, pasukan kembali ke Irian Barat. Telah dipikirkan secara masak ketika tentara RI bergerilya. Letupan memenuhi pendengaran. Angin berembus seolah turut mengoyak dada penjajah yang terbujur kaku. Keadaan semakin panas, darah tercecer hingga memberi warna merah pada rerumputan kering. Biarpun hanya mengikuti Latihan Polisi Chusus Kehutanan Angkatan Kedua, Yadi bertempur dengan epik. Kulit tangannya mulai mengelupas karena terlalu lama memegangi senjata. Keringat bercucuran, dibidiknya tiap musuh dengan senapan laras panjang yang tersedia.

Pesawat TU-16 juga telah siap membombardir daratan dengan nuklir hingga membuat pasukan Belanda gentar. Tak satu pun pertahan yang lolos, baik sepuluh pos yang telah hancur, maupun kapal-kapal perang musuh.
"Jangan biarkan ada yang lolos!" Kalimat itu menggema, menambah semangat pasukan untuk membabat habis lawan di depan. Dalam diri Yadi dan yang lain, takada rasa takut untuk mati.
"Kibarkan sang merah putih di Irian Barat, tanah air Indonesia," gumamnya dalam hati, mengulangi titah Bung Karno dalam Trikora.
Matanya fokus meneliti musuh, sedangkan pikiran terus mengingat Gauri yang tengah menunggu di rumah. Satu jam di sana, tak ubahnya satu tahun. Cepat ia menyambar senapan yang tergeletak. Tiap peluru harus menembus daging kaum biadab itu. Diingatnya terus, masa ketika rakyat Nusantara dijadikan hewan pekerja. Menguras tenaga rakyat jelata hingga tak tersisa lalu membuang begitu saja jasad mereka. Mengenangnya saja sudah membuat geram. Habis sudah timah panas yang terpasang. Sayang, seorang pria berpakaian tentara musuh, berusaha mengincar kepala Yadi. Pria tersebut berlari tak kalah cepat dari seekor kuda.

Dor!!!

Suasana makin mencekam, pasrah sudah dirinya, gugur untuk negara dan bangsa pun tak apa. Ia mengira jika telah tertembak, tapi tak dirasakan sakit. Ternyata, tembakan itu ditujukan untuk musuh yang mendekat. Lagi-lagi Yadi selamat. Kota Taminabuan telah terebut kembali. Pasukan Belanda menyadari jika melawan pun sia-sia. Akhirnya, mereka menyerahkan Irian Barat. Semua pejuang ditarik, kemenangan telah didapat Indonesia.

oo'0'oo

"Dorong terus, Cah Ayu." Dukun beranak memberi arahan pada Gauri yang berjuang di garis kematian.
Ini sudah dua bulan sejak Operasi Trikora. Yadi menanti di depan kamar sambil wira-wiri. Menunggu anak lahir, ternyata sama menyeramkan dengan berdiri di medan tempur. Isak tangis bayi terdengar. Tanpa seruan untuk masuk, pria itu menerobos begitu saja. Ucapan syukur mengalir dari bibir. Ia mulai membisikkan azan pada makhluk mungil hasil buah cinta dengan si Tulang Rusuk.
"Tri Irianto, kui jenengmu, Nak," ucapnya lantang pada sang Putra. Membuat anaknya menyandang kata bersejarah, Trikora dan Irian. Senyum tersungging di wajah pasangan suami-istri tersebut. Bahagia takmampu digambarkan aksara, Yadi masih takpercaya jika ia pulang dengan tubuh utuh. Seorang malaikat juga hadir sebagai hadiah tambahan.

Hari berganti dengan cepat. Pegawai Perhutani itu menjalani kehidupan normal seperti sedia kala. Taklama, malaikat-malaikat lain secara bergilir datang mewarnai hidup. Ia masih menjadi pria bertangan ringan. Gotong royong diikuti tanpa terkecuali.

oo'0'oo

Puluhan tahun telah terlewati. Maniknya tak secerah dulu. Keriput memenuhi tiap area tubuh. Biarpun begitu, Yadi masih antusias menceritakan kenangan yang melekat kuat di benak. Tiap kali bercerita pada cucu-cucunya, mulut itu akan lancar merangkai kalimat. Kagum dirasakan mereka hanya dengan mendengarkan. Andai pertempuran dulu direkam, pasti mereka akan sangat beruntung dapat menyaksikan kegagahan Kakek.
"Aku mau jadi seperti Kakek," tutur salah satu cucu lelakinya.
Pria renta itu hanya tertawa. Duduk di teras sembari menyesap kopi, menikmati hal kecil yang mampu membuat si Pahlawan amat bahagia.

Antologi Cerpen: PERJUANGAN TAK BERTEMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang