Janji Terakhir

65 3 0
                                    

Hany Eddera Hyaku

~

Saat bertahan melewati hari yang berat, kamu selalu ada di sisiku. Kamu segalanya bagiku. Aku ingin terus berada di dekatmu, menjagamu dan berjalan bersamamu sepanjang waktu. Ini permintaan terakhirku.

~
 
Langit kota pagi ini terlihat sangat cerah. Awan putih seakan menyingkir dan membiarkan birunya langit mengambil tempat terluas. Mentari menyinari tanah, membuatnya hangat. Angin ikut membuat dedaunan melambai riang.
“Huft.” Tarikan napasku menjadi satu-satunya yang terdengar saat ini. Meski suasana sangat indah, tetapi hawa kesepian itu terasa sangat lekat. Harus berapa lama lagi aku bertahan di sini? Terkadang aku ingin menyerah, aku sudah lelah.
“Hei, ingin mengeluh lagi?”
Suara khas seseorang yang amat kukenal terdengar. Aku berbalik, tersenyum melihat wajahnya yang sedikit tertekuk. Raina, gadis manis yang selalu memberiku semangat. Dia pasti kesal jika aku berpikir untuk menyerah.
“Bagaimana bisa kesayangannya aku datang sepagi ini? Tidak sekolah, eum?” aku merangkul bahunya dan duduk di salah satu bangku yang takjauh dari tempat kami semula.
“Apa makanan di sini membuatmu lupa semuanya?” Lagi, ia mempoutkan bibirnya lucu. Jika saja ia sebuah boneka, sudah kujawil kuat-kuat. Sayangnya, ia anak manusia yang kucintai.
Obrolan kami dimulai dengan Rania yang mengomel. Ia terus mencerca hanya karena aku lupa ini adalah hari minggu. Sekolah libur dan kini waktunya kita bersenang-senang di taman. Aku juga melupakan tanggal hari ini, yang semakin membuatnya marah.
“Untuk kedepannya, kamu tidak boleh lupa. Dua hari lagi adalah hari jadi hubungan kita yang ke-5. Aku akan—“
“Aku akan melakukan sesuatu untukmu,” potongku cepat. Wajahnya tak begitu senang. Sepertinya perkataanku sedikit menyinggungnya. “Apa kau tidak percaya aku bisa melakukan sesuatu?”
“Esa.”
“Eum?”
“Aku yakin … kau bisa melakukan banyak hal yang kau inginkan. Jadi … kumohon berjuanglah sekali lagi. Lebih keras lagi.” Suaranya bergetar. Aku hanya bisa menatapnya sendu. Takada yang bisa kuucapkan saat ini.
Dalam hati aku mengucapkan ribuan kata ‘maaf’. Karena selalu membuat gadis manis itu cemas dan khawatir dengan keadaanku. Kesal karena beberapa kali aku ingin menyerah.
Sesuatu yang bersemayam dalam kepalaku merenggut seluruh kehidupanku. Menghilangkan senyum di wajah cantik Raina. Juga selalu membuat ayah dan ibu diselimuti kekhawatiran.
“Sekarang, jangan pikirkan apa pun. Ayo kita bertemu para bunga. Aku sudah merindukan mereka,” ajaknya dengan senyum palsu yang kulihat satu tahun terakhir ini.
Aku mengangguk dengan senyum yang membuat ia semakin melebarkan senyumnya. Menggandeng tanganku dan menuntunku berjalan melewati batu-batuan yang tersusun rapi. Bunga di sekelilingnya tumbuh begitu subur. Setiap hari, Raina kemari untuk mengurus taman kecil yang berhadapan langsung dengan kamarku.
Raina selalu ingin aku terbangun dan menatap keindahan bunga yang bermekaran di taman ini. Bunga yang di tanamnya 80% bunga mawar merah, pink, putih, dan orange. Selebihnya ditanami bunga-bunga kecil yang tak kalah indah.

*

Hari ini sangat membosankan. Jam masih menunjukkan pukul 09.34. Waktu masih lama untuk Raina pulang sekolah. Dia berjanji, hari ini akan mengajakku keluar. Terakhir kami keluar, kami pergi ke toko bunga sekaligus membeli beberapa bibit bunga di sana.
Tidak membiarkanku berada di luar terlalu lama, bahkan mampir ke restoran favorit kami pun hanya sebentar.
Meski tak diperbolehkan terlalu memikirkan banyak hal. Semuanya terlintas dalam pikiranku. Kali ini aku memutuskan sesuatu. Aku tidak bisa menyerah, dan aku tak bisa hanya duduk diam tanpa berbuat apa pun. Terlebih, besok adalah hari spesial untuk Raina, juga untukku.
Aku berjalan ke arah taman. Di ujung sana ada sebuah danau buatan yang sudah lama tak berpengunjung. Dulu, kami selalu menyempatkan diri pergi ke sana hanya untuk duduk menyaksikan sunset.
Setibanya di danau. Keadaannya masih sama, hanya banyak ditumbuhi rerumputan liar di sekelilingnya. Kucabuti rerumputan yang ikut tumbuh di sekitar tempat duduk favorit kita berdua. Tiga tahun lalu, di sini kami saling berjanji untuk terus bersama dan saling menyemangati.

Antologi Cerpen: PERJUANGAN TAK BERTEMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang