Putri Nurcahyanti
Keluarga Pak Anshori dan Ibu Tuminah adalah keluarga yang sederhana. Mereka mempunyai dua anak. Anak pertama Suksesi duduk di kelas XII SMA. Anak kedua Solawati masih duduk di kelas II SD. Pak Anshori bekerja serabutan, jika sedang ada yang menyuruh saja dia bekerja. Bila sedang tidak bekerja dia mengumpulkan rongsokan untuk dijual. Susah payah pak Anshori untuk menyekolahkan anak-anaknya. Bu Tuminah kadang ikut membantu mengumpulkan rongsok, tapi hanya sesekali karena Bu Tuminah sering mengalami vertigo.
Suksesi namaku, biasa dipanggil Sisi. Orang tuaku memberiku nama Suksesi agar kelak aku bisa menjadi orang sukses, menaikkan derajat orang tua. Dari lahir aku memang sudah sangat kekurangan soal urusan materi. Namun yang aku salut bapak dan ibu selalu tetap berjuang untuk aku dan adikku. Untuk biaya sekolah pun aku kadang kesusahan. Untuk membantu memenuhi kebutuhan, aku bekerja menjadi pengupas bawang setelah pulang sekolah, bahkan jika bawang sedang banyak aku bekerja sampai larut malam. Sebelumnya ibu yang bekerja sebagai pengupas bawang, tapi karena vertigo ibu sering kambuh, sehingga aku yang menggantikan posisi ibu. Bapak sebenarnya keberatan jika aku sekolah sambil bekerja, tapi aku meyakinkan bapak bahwa aku sanggup.
Padahal kenyataannya takmudah. Jika aku kerja sampai malam, aku sudah lelah sampai aku lupa untuk belajar, bahkan pekerjaan rumah pun sering aku kerjakan pagi-pagi di sekolah. Prestasiku biasa saja, takada yang istimewa. Sepuluh besar pun selama SMA ini aku hanya merasakannya sekali saat di kelas XI. Kadang aku berpikir apakah aku bisa sukses?
Di sekolah.“Eh ada tukang kupas bawang, kenapa masih sekolah aja? Mending kawin aja sono! hahaha!” ucap Citra. Citra anak orang kaya, dari awal dia taksuka padaku. Aku juga taktahu kenapa dia. Mungkin karena aku miskin.
“Hahaha... Iya betul, tuh,” sahut Nindy membetulkan omongan Citra.
“Kalian tuh ya, jangan gitu dong, kalian jaga perasaan Sisi,” ucap Meli teman sebangkuku.
Aku hanya diam. Malas jika aku meladeninya. Toh, sudah biasa aku diledek mereka. Selagi hanya omongan masih aku terima.
“Heh Suksesi! Emang bisa sukses, duh kamu itu ya sadar ya udah tampang pas-pasan, prestasi nggak ada, miskin pula. Jangan mimpi bisa sukses, deh! Apa sih, yang bisa dibanggain dari kamu?” Citra terus saja menghinaku.
“Oke aku akan buktikan suatu saat aku bisa sukses walau mungkin aku memang bukan siswa berprestasi di sini.” Aku berbicara setenang mungkin menahan kesal.
“Ya mimpi aja sana! Oh ya Meli, aku heran sama kamu, kok kamu mau si deket sama dia?" Citra berbicara sambil menunjukku.
“Mau berteman dengan siapa aja, itu hak aku, kamu nggak berhak ngatur ya! Lagian Sisi ini baik,” sahut Meli.
“Awas kamu Mel! Suatu saat kamu bakal nyesel berteman ama gembel ini!” ancam Citra.
Di sekolah aku takbanyak teman dekat. Biasa saja, tapi sejauh ini yang tak menyukaiku hanya Citra dan Nindy. Meli adalah teman sebangkuku. Meli anak orang kaya, pintar, tapi dia tidak sombong. Baik dan suka membantuku dalam hal apa pun, termasuk saat aku kesulitan dalam mengerjakan tugas sekolah. Jujur, dari dulu aku berpikir keras kenapa Citra benci padaku. Tidak mungkin hanya karena aku miskin. Pasti ada alasan lain. Tapi apa? Masalah apa? Aku pernah meminta pendapat Meli, tapi katanya jangan terlalu dipikirkan.
“Si, kamu udah dua bulan ini kerja pulang malam terus, padahal aku pengin ajak kamu ke rumahku lagi. Nanti aku buatkan kue resep terbaruku,” ajak Meli. Ia memang sangat suka memasak.
Dulu saat masih ada waktu senggang aku ke rumah Meli dan dia selalu memasak untukku, bahkan membungkuskan untuk keluargaku di rumah. Ibu Meli pun sangat baik dan tidak sombong. Kalau ayah Meli adalah seorang pengusaha batu bara yang sangat sibuk. Jadi jarang berada di rumah.
“Si... Halo... Kok malah bengong, sih?” Meli menepuk pundakku.
“Eh iya Mel, lagi banyak bawang ini, kapan-kapan deh ya Insha Allah,” jawabku.
Pulang sekolah aku langsung bergegas ke rumah berganti pakaian. Aku hanya minum dan makan nasi yang tidak ada lauknya. Ada Wati adikku.
“De, udah makan?” tanyaku.
“Udah Kak, tapi maaf tadi ada tempe goreng dua potong Wati habiskan semua, abis Wati laper banget Kak, maafin Wati ya,” ucap Wati memelas.
“Oh itu, iya nggak apa-apa kok De, Kakak makan nasi aja udah cukup. Oh iya ibu mana?”
“Ibu tadi cuma bilang mau pergi, tapi nggak bilang ke mana, Kak,” jawab Wati.
“Oh ya udah, Kakak mau ke tempat Bu Nilam dulu ya mau ngupas bawang, Dede di rumah baik-baik," ucapku pada Wati.
“Siap Kak,” sahut Wati
Ternyata hari ini bisa selesai jam empat sore. Karena bawang merah baru datang lagi besok siang kata Bu Nilam. Ya aku hanya bekerja paruh waktu di tempat bu Nilam, jadi gajiku setengah dari gaji karyawan lain. Tapi kadang bu Nilam memberiku lebih. Sebelum menemui Bu Nilam untuk mengambil gaji, aku ke mushola dulu untuk Salat Ashar. Ayah dan Ibu selalu memberitahuku apa pun keadaannya jangan pernah tinggalkan salat.
Selesai salat aku menemui bu Nilam.
Tok...tok...tok...
“Assalamu’alaikum...”
“Wa’alaikumsalam... Siapa?”
“Sisi, Bu,”
“Oh, masuk saja!” perintah Bu Nilam.
“Sore, Bu, kira-kira gaji saya bulan ini berapa ya? Saya ada lima hari tidak berangkat,” tanyaku pada Bu Nilam. Waktu itu aku mengurus Wati yang demam, ditambah vertigo ibu kambuh. Sedangkan bapak pulang malam terus.
“Ini, buka saja, gaji kamu ada di amplop ini ya, Si,” ucap Bu Nilam.
Aku pun membuka amplop ini perlahan, aku menghitung dan terkejut.
“Bu, i-ini ada s-satu juta? Banyak sekali.” Aku berbicara terbata karena masih terkejut.
“Iya, Si, sudah ambil saja, ini rezeki kamu, belikan obat ibumu. Beli makanan yang bergizi agar kamu tetap sehat.”
“Ya Allah Bu, terima kasih sekali. Ibu sangat baik,” ucapku pada Bu Nilam.
Aku sangat senang mendapat gaji satu juta. Bu Nilam bilang jangan beri tahu siapa pun. Upah gajian sehari adalah tiga puluh ribu rupiah, dan aku separuh waktu jadi aku hanya lima belas ribu rupiah, dikalikan tiga puluh hari, maka aku akan menerima empat ratus lima puluh ribu rupiah, tapi sekarang aku mendapat satu juta rupiah. Semoga tidak ada karyawan lain yang tahu. Aku yakin sudah pada pulang semua. Hanya ada aku, Bu Nilam dan Pak Tardi sekuriti. Pak Tardi sedari tadi di gerbang saja, jadi dia juga pasti tidak tahu.
Namun tanpa sepengetahuan Sisi dan Bu Nilam, Pak Tardi mengetahui jika Sisi diberi gaji satu juta oleh Bu Nilam. Pak Tardi yang hendak ke toilet mendengar percakapan Sisi dan Bu Nilam, kemudian Pak Tardi merekamnya. Ada rasa iri menggerogoti hati Pak Tardi. Dia pun mengirim video tersebut ke karyawan lain. Kemudian meminta untuk menyebarkannya. Pak Tardi dan karyawan lain berencana akan membuat Sisi tidak bekerja lagi di sini.
Tok...tok...tok...
“Assalamu’alaikum..”
“Wa’alaikumsalam...,” jawab Bapak dan Wati bersamaan.
“Kamu udah pulang, Si? Bapak bingung nih, ibumu dari tadi belum pulang,” kata Bapak cemas.
“Jadi sampai sore begini ibu belum pulang, ayo kita cari saja, Pak," ajakku.
“Ya sudah ayo, Wati kamu di rumah ya, jika ibu pulang kamu chat kak Sisi saja, pinjam hp Bang Dani (teman bapak),” perintah bapak kepada Wati. Handphone ada dua, satu aku yang pegang, satu lagi ibu.
“Iya, Pak,” jawab Wati.
Aku mencari sepanjang jalan. Handphone ibu tak bisa dihubungi. Hingga adzan magrib berkumandang. Aku dan bapak ke mushola untuk salat maghrib terlebih dahulu. Selesai salat, aku dan bapak melanjutkan mencari ibu. Dari kejauhan di sebuah rumah makan aku melihat ibu dengan seorang pria, aku usap mataku siapa tahu aku salah lihat. Tapi itu benar ibu. Ibu bercanda tertawa kemudian saling menyuapi. Aku memberi tahu bapak, bapak tampak kesal bercampur sedih. Saat aku dan bapak akan menghampiri mereka, tiba-tiba...
“Papaaaaaaa...! Jadi bener ya, Papa udah mengkhianati mama.”
Itu kan Citra dan mamanya. Ternyata pria yang bersama ibu adalah papa Citra.
“Heh, kamu juga perempuan murahan! Beraninya ya kamu jadi pelakor!” teriak Mama Citra sembari mengguyur ibu dengan air.
Aku dan bapak menghampiri mereka.
“Bu...kenapa ibu begini?” ucapku setengah terisak.
“Ayo kita pulang, Bu,” ajak Bapak berusaha tenang.
Aku tahu hati Bapak sakit. Tapi bapak sabar sekali.
“Dari dulu ya emang kamu bikin masalah, nggak emaknya anaknya sama aja!” ucap Citra kesal menunjukku.
“Aku jujur baru tahu, Cit,” jawabku.
“Pura-pura nggak tahu, dari dulu, emak yang kamu banggain itu jadi selingkuhan papaku, dan buat Papa kenapa Papa tega khianati mama?” ucap Citra akhirnya menangis.
“Maafin Papa Nak, tapi Papa bisa jelasin.” Ucap Papa Citra.
“Si, Pak, Ibu minta maaf.” Ibu ikut bicara.
“Oke, selagi semua ada di sini, saya ingin memberi tahu satu hal. Citra dengar Papa, Papa harap kamu mau mengerti. Papa dulu adalah pacar Mina, kami saling mencintai. Tapi Papa harus menerima perjodohan dengan Mamamu Cit. Sejak menikah dengan mama, Papa berusaha mencintai dan menjaga perasaannya. Tapi hati Papa tak bisa pindah dari Mina. Dua tahun lalu taksengaja Papa bertemu Mina lagi, hati Papa sangat bahagia, dan ternyata Mina pun demikian. Apalagi Mina sekarang hidup kekurangan, Papa tak tega, Nak. Untuk itu Papa mau menikah dengan Mina. Mina sudah mantap akan bercerai dengan Kamu, Pak Anshori, dan untuk kamu Sindi, hari ini juga aku talak kamu. Mulai sekarang kamu bukan istriku lagi,” ucap Papa Citra panjang lebar.
“Kamu tega Mas, oke kita cerai, tak sudi aku berbagi dengan perempuan kampungan ini. Rumah itu punya aku, dan urus semua harta gono gini. Citra ikut sama aku.” Ucap Mama Citra Sengit.
“Tapi Ma...” Citra terbata.
“Ayo Citra kita pulang saja. Mama sudah muak dengan semua ini. Biarkan saja, pasti papamu akan menyesal.”
“Dan kamu Mas, pasti kamu akan menyesal.”
Citra dan mamanya berlalu pulang.
“Bu, kamu yakin akan meninggalkan Bapak?” Bapak berbicara sambil memegang tangan ibu.
“Maafkan aku Pak, ini kamu tinggal tanda tangan di sini. Malam ini juga aku akan pergi dari rumah itu. Aku sudah tak sanggup hidup dengan Kamu, lagi pula Mas Reyhan adalah cinta sejatiku. Kalian jangan mencari aku lagi ya. Salam buat Wati. Aku dan Mas Reyhan akan segera menikah. Maaf Sisi, Ibu harus mencari kebahagiaan ibu sendiri. Ibu capek hidup dalam kesengsaraan dan kesakitan. Pak, aku mohon ikhlaskan aku dengan Mas Reyhan.” Ibu berbicara panjang lebar.
“Bu, tolong Bu jangan pergi.” Rengekku.
“Kalau memang kamu lebih bahagia dengan dia, pergilah, aku akan ikhlas, biar anak-anak denganku.” Ucap Bapak.
Bapak menanda tangani surat cerai itu. Ibu dan papa Citra pergi menaiki mobil. Mungkin ini pertemuan terakhir kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antologi Cerpen: PERJUANGAN TAK BERTEMA
Cerita PendekStory ini adalah kumpulan cerpen bertema perjuangan yang ditulis oleh para penulis hebat, peserta lomba cerpen yang diadakan Penerbitan Egan's Family dalam rangka memperingati Kemerdekaan RI, Agustus lalu.