Tentang Kejadian Hari itu, Bolehkah ...

79 9 4
                                    

MeLY

Semilir bayu malam itu kian kencang, tetapi gadis berambut lurus dan bertopi cokelat itu masih bersandar ke emperan toko berpintu besi, menyilangkan kakinya dengan santai. Dibalut blazer dan celana longgar krem, biru muda sweternya yang menyimbolkan ketenangannya bertolak belakang dengan kesan tomboi dari penampilannya secara keseluruhan. Menuntut ilmu ke kota lain ternyata tidaklah semudah perhitungannya. Restoran ramen langganannya bahkan tutup kala dia sangat butuh berhemat. Ketika bosan mulai melanda, gadis itu beranjak. Diperhatikannya setiap tapak sepatu kanvas hitam-putihnya hingga sepasang sepatu kulit memasuki pandangannya.
“Kau ....”
“Hai.” Gadis itu mendongak.
Pemuda yang berdiri hanya beberapa sentimeter darinya itu menyapa, sedikit menyeringai.
Kelopak mata gadis itu melebar. “Bagaimana ....”
“Aku pindah,” potong pemuda itu sambil merapat ke sisi luar. Langkahnya menarik gadis itu untuk segera menyejajarkan diri dengannya.
“Lho ...”
“Menghirup udara segar di tempat baru,” sela pemuda itu. “Mencari pengalaman juga.” Pemuda itu melempar senyum manis seperti sebelumnya. Suasana di antara mereka terlalu rumit untuk gadis itu terjemahkan. Di balik kenyamanan, ada keganjilan yang menyusup. Gemerisik dedaunan menjadi saksi bisu perjalanan perlahan mereka.

Dae-yong ... harus bagimana aku menyikapimu?

Menit demi menit berlalu tanpa ada satu pun yang mengantarkan kata. Gadis itu masih tenggelam dalam pemikirannya. Kegelisahannya hanya tersamarkan dari bibirnya yang membisu. Bertolak belakang dengannya, pemuda bertubuh jangkung itu bersikap santai.
“Kaurindu padaku?”
Gadis itu menoleh. “Hah?”
“Sepertinya tidak.” Pemuda itu menyimpulkan. Gadis itu berusaha tidak mengacuhkannya. Rupanya jebakan itu tidak berhenti di sana.
“Bolehkah, aku merindukanmu?” Pertanyaan itu mendadak meluncur. Gadis itu gelagapan karenanya.
“Umm, ya, boleh saja. Kau 'kan, temanku ....”
“Tapi aku tidak merindukan yang lain sepertimu.”
Begitu mendengar pernyataan pemuda bercelana keper itu, alis gadis itu terangkat.
“Kau terus terlintas di benakku," lanjut pemuda itu.
Gadis itu terpaku, tidak tahu cara menanggapinya. 
“Jadi boleh, tidak?” tanya pemuda itu lagi.
Hanya keluguan yang gadis itu dapati dari pemuda yang berhadapan dengannya tepat di sudut perempatan jalan dengan menyisakan lampu lalu lintas itu. Gadis itu menghela napas.
“Kenapa begitu?” Gadis itu merasa tidak perlu mengonfirmasinya, tetapi dia tidak bisa menahannya.
“Karena aku ingin memilih dirimu sebagai pusat kebahagiaanku, perlu minta izin dulu.”
Kelugasan pemuda itu tidak sanggup gadis itu sangkal. Namun, gadis itu mencoba mengabaikannya. “Eh, apa-apaan ...” Gadis itu salah tingkah. Pemuda itu mengikutinya, tetapi dia tidak bisa menolaknya.
“Kau tidak berubah, Yoo-ah.” Pemuda itu tergelak. Mereka meneruskan reuni tanpa arah itu. Setelah meredakan bumerang dalam batinnya, Yoo-ah mengumpulkan keberaniannya untuk mengulik lebih lanjut.
“Sebenarnya, apa alasanmu kemari?”
“Karena kau kuliah di sini, aku memutuskan lanjut ke universitas yang sama. Setengah tahun tidak bertemu, ada yang kurang.” Mencerna jawaban pemuda itu membuat Yoo-ah semakin bimbang. Mengenalnya selama tiga tahun, pemuda itu selalu memutar perkiraan orang-orang. Rahasianya terkemas rapi dalam keramahannya. Semuanya semakin terang, tapi pemuda itu tidak mengambil sikap lebih jauh. _Apa kau menyimpan rasa lebih padaku, Dae-yong?_
“Senang bisa berjumpa lagi di sini.” Dae-yong memasukkan kedua tangannya ke kantong mantelnya, meninggalkan teka-teki bagi Yoo-ah.

***

Malam itu masih berangin. Perbedaannya, restoran ramen itu buka. Yoo-ah masih menjepit ramen dengan sumpitnya ketika Dae-yong menyeruput kuah yang tersisa di mangkuknya. Pemuda itu masih tergolong kurus saat berkenalan, tetapi kini bertubuh cukup kekar. Pemuda itu juga tidak sanggup makan pedas, tapi sekarang malah kecanduan. Bagi Yoo-ah, semua itu seperti sepaket kesengajaan.

Dia suka menanyakan kabarmu dan gadis lain dari kelas kita yang tidak satu tempat. Sepertinya dia mau mencari pacar baru setelah putus dari Ae-jung. Entahlah, dia hobi mengoleksi gadis yang cantik. Rekaman suara yang Soo-ra kirimkan padanya masih membayanginya. Selayaknya seorang pria, Dae-yong memang mentraktirnya, tetapi dia perlu memperjelas batas di tengah mereka.
“Jangan berburuk sangka.” Yoo-ah menegaskan sebelum menuju topik utama. “Aku harus pikirkan ini selama sepekan. Hargai aku.”
Dae-yong lenggut-lenggut dengan bibir membentuk garis lurus.
“Tentang kejadian hari itu, bolehkah kauperjelas semua maksudmu?” Diplomatis, itulah yang bisa Yoo-ah sampaikan dengan nadanya.
“Tidak apa-apa.” Kata itu sangat mengejutkan bagi Yoo-ah, bahkan dalam posisi sebagai teman.
“Kau bercanda?” Yoo-ah menjaga air mukanya tetap datar.
“Aku hanya ingin jujur.” Dae-yong mengaku. “Kenapa?”
“Apa kau melakukan itu ke semua kenalan wanitamu?” Interogasi itu malah mengundang gelak Dae-yong.
“Oke, apa lagi yang diinfokan dari luar?” Dae-yong mengembalikan masalah pada Yoo-ah. Gadis itu kehilangan akalnya, sedangkan Dae-yong terbahak semakin keras sampai menghapus air mata di sudut kelopaknya. “Ha, sudah kuduga, kau tidak menggali banyak tentangku. Benar kalau aku bergaul dengan beragam tipe perempuan, tapi aku tidak perlu berpetualang kalau memang sudah menemukan yang terbaik.” Raut wajah Yoo-ah menyiratkan bila dia cukup terperangah. “Belum pernah aku bersua seseorang segigih Son Yoo-ah, yang rela menembus hujan dengan skuter hanya untuk menyerahkan bingkisan yang dia kemas sendiri sebagus mungkin saat hampir kehabisan waktu ...” Kilas sosok pemuda yang tengah memegang payung dapat Yoo-ah lihat dari pencerita itu. “Tidak mau dibantu?” Tawaran itu pun masih bisa Yoo-ah resapi bekasnya.
“ ... kemudian uang hasil jualannya dipinjamkan ke nenek yang ingin kucingnya dioperasi. Belum pernah juga ada yang rela bermain gim yang tidak pernah disentuh hanya untuk menolong temannya taruhan, padahal cari kerja sampingannya saja sudah setengah mati.” Seolah pemuda itu adalah pusat revolusi, Yoo-ah tidak bisa lepas dari dongengnya.
“Hei!” Dae-yong menjentikkan jarinya. “Sedang berkelana?”
“A-ah.” Yoo-ah mengerjapkan matanya. “Intinya, kau hanya naksir padaku, 'kan?” Dia tidak ingin perjuangannya selama ini dirusak oleh rubah berbulu domba yang siap memangsa.
Dae-yong malah mengulurkan pergelangan tangannya. “Kalau kuletakkan tanganmu ke dadaku, kau pasti menggerutu. Jadi, sekarang coba periksa denyut nadiku. Kau akan menguak semuanya.”
Yoo-ah menajamkan kepekaannya. Detak jantung pemuda itu beritme jauh lebih cepat dibanding biasanya, menularkannya pada Yoo-ah. Keyakinannya tumbuh: Dae-yong tidak sedang membohonginya.
“Aku juga sedang magang, Yoo-ah. Berat tekanan yang kautanggung itu, tentu saja ada gambarannya padaku. Soal berlogika, kau lebih jago dariku. Soal menerima makian, kau juga ahlinya. Bibi pemilik kios jajanan saja sampai sadar sendiri, sudah berlaku tidak adil padamu.” Dae-yong mencondongkan badannya hingga jarak di antara mereka hanya ratusan sentimeter. “Yoo-ah, kalau kau menyelami keistimewaanmu, kau akan jauh bersinar. Bahkan bagiku sekarang, kau menawan dengan sempurna.” Tatapan Dae-yong yang adiktif teramat memabukkan bagi Yoo-ah. Dalam sekejap, pemuda itu berhasil menaklukkannya.

Entah ini muslihat yang semu atau bukan, aku tidak bisa berpaling darimu .... desah Yoo-ah dalam hatinya.

***

Medan, 30 September 2021

Antologi Cerpen: PERJUANGAN TAK BERTEMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang