Wasto Pujawiatna
Abah dan Eneh tinggal di daerah Bandung Selatan, mempunyai sembilan anak yang terdiri dari tiga anak perempuan dan enam anak laki-laki. Abah nama aslinya Ma’mun Taufik, sedangkan Eneh namanya Maemunah karena lahirnya hari Jumat. Abah merupakan lulusan pesantren di daerah Garut, sedangkan Eneh sekolah sampai tamat sekolah rakyat—termasuk langka pada zaman Belanda anak desa yang bisa sampai kelas enam sekolah rakyat. Eneh itu termasuk anak orang cukup berada dan terpandang di Kampung Bojong Koneng, Desa Rancamanyar yang sekarang masuk Kecamatan Baleendah.
Nama bapaknya Eneh, Haji Syukur yang lebih sering dipanggil Mbah Haji Syukur, mempunyai sembilan anak yang tinggalnya saling berdekatan.
Ma’mun dan Unah menikah pada zaman penjajahan Belanda. Waktu itu begitu susah keadaan di Bandung Selatan, termasuk yang dialami oleh keluarga Maemunah dan Ma’mun.
"Kang, sebentar lagi anak kita akan lahir, sedangkan persiapan belum punya," keluh Maemunah.
"Iya, Nyi, Akang juga bagaimana. Usaha juga baru merintis," jawab Ma’mun.
"Masa mau mengandalkan orang tua terus. Kan, malu. Biarpun Nyai anak bungsu, tapi, kan, sudah punya suami," ucap Maemunah lagi.
Sambil meneguk kopi hitam, Ma’mun berpikir bagaimana caranya mempersiapkan kelahiran anak pertamanya nanti.
"Kita berdoa dan sabar saja, Nyi. Siapa tahu anak pertama kita lahir ada rezekinya." Ma’mun mengelus rambut istrinya. "Nyi sudah waktunya sholat Asar, Akang mau adzan dulu, ya," ucap Ma’mun sambil menarik sarung dan merapikannya karena mau mengumandngkan adzan.
Memang, Ma’mun biasa mengumandangkan adzan setiap sholat lima waktu karena dia alumni pesantren, ditambah rumahnya yang dekat dengan masjid. Selain mu'azin, Ma'mun juga menjadi imam dan khotib karena di kampung itu masih jarang orang yang bisa menjadi khotib.
Waktu lahiran pun tiba, Maemunah memanggil suaminya, "Kang, Kang, sudah sakit ini!" teriak Maemunah.
Kebetulan Ma’mun sedang menjahit baju temannya. Ya, Ma'mun baru saja membuka jasa jahit baju. Buru-buru Ma’mun menghampiri Maemunah yang sedang meringis menahan sakit di perut.
"Aduh, Kang, sudah tidak tahan ini! Bagaimana, Kang?"
"Tahan! Tahan dulu, Nyi." Ma’mun menennangkan sang istri sambil terus berdoa.
Di kampung waktu itu hampir tidak ada dukun beranak. Ada Mak Ideung, tetapi tinggalnya lumayan jauh.
“Akang mau ke Mak Ideung."
Sebelum Ma'mun berangkat, Maemunah akhirnya melahirkan tanpa dibantu dukun beranak. Tidak lama kemudian, terdengar suara tangis bayi yang keluar dari perut Maemunah.
Ma’mun adzan dan komat di telinga bayi pertamanya. Rasa yukur terpancar dari wajah Ma’mun karena bayi itu lahir dengan sempurna
Kebahagian lengkap sudah dengan kehadiran anak pertama yang diberi nama Nyai Saodah. Ma’mun tambah sayang kepada Maemunah dan semakin rajin menerima orderan jahit.
Tidak terasa Saodah sudah berumur satu tahun, Maemunah pun sedang hamil anak kedua. Anak kedua lahir tanpa dibantu oleh dukun beranak sama seperti anak pertama lahir sendiri.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, tahun nerganti tahun, keluarga Ma’mun dan Maemunah sudah memiliki sembilan anak. Kehidupan Ma’mun dan Maemunah pun memerlukan biaya yang tidak sedikit.
Zaman yang serba susah dan tidak mempunyai penghasilan tetap, memaksa keluarga Ma’mun dan Maemunah makan dan berpakaian seadanya—yang penting tidak menyusahkan orang lain dan tidak meminta-minta.
Tiga anak laki-lakinya, yaitu Dana, Engkos, Endang sudah menunjukkan sifat yang dimiliki bapaknya, rajin mengerjakan sholat, puasa, dan kegiatan lainnya.
Ma’mun mendidik anak-anaknya selalu berpesan untuk terus mau belajar meskipun serba kekurangan.
"Kalian anak laki-laki harus menjaga dan menyayangi kakak dan adik kalian yang perempuan. Tidak boleh membangkang, atau menolak kalau mereka meminta tolong," titah Ma’mun.
"Dana, Engkos, dan Endang mau mengikuti apa yang Abah perintahkan," jawab mereka dengan kompak.
Terhadap keenam anak perempuannya yang sudah besar, Ma'mun memberi nasihat tentang kehidupan seorang perempuan.
Semua anak Ma’mun tidak ada yang di pesantren, mereka belajar agama di rumah. Selepas SR, ada yang melanjutkan sekolah MULO, setingkat SMP. Anak perempuannya ada yang bersekolah sampai menjadi guru. Dibandingkan saudara-sauranya, keluarga Ma’mun dan Maemunah-lah yang anaknya ada yang sarjaana.
Ma’mun merasa bangga juga ketiga anak laki-lakinya tidak ada yang tinggal di kampung, mereka merantau ke luar daerah. Bahkan, di luar daerah itu mereka tidak hanya bekerja tetapi juga menjadi pemuka agama. Hal itu membuat Ma'mun bangga dan puas dengan kesembilan anaknya yang sholih dan sholihah.“Nyi, waktunya kita berangkat haji berdua. Anak-anak sudah berkeluarga semua."
"Iya, Kang. Allah sudah menakdirkan kita berdua berangkat haji."
Tanah mereka ada yang membeli cukup untuk berangkat dan bekal haji.
Ma’mun dan Maemunah sudah mempersiapkan keberangkatan ke tanah suci dengan mengadakan ratiban. Semua anak dan cucunya berkumpul untuk mengantar ke Bandara Soekarno Hatta.
Bionarasi:Wasto Pujawiatna, anak dari pasangan Engkos,Drs (alm) dan iEuis Rodiah (alm)
Lahir 51 tahun yang lalu di Kabupaten Bandung. Menempuh pendidikan di SDN Rancapanjang, Balelendah, SMP di Cibitung, SMA di Tambun, Kab Bekasi, dan melanjutkan kuliah di IKIP Jakarta jurusan PGSD lalu melanjutkan di SI Pend Bahasa Indonesia di STKIP Siliwangi Bandung. Kini aktif mengajar di SMPN 4 Setu.
Pengalaman menulis : Di Koran Radar Cikarang, Majalah Edukasi Online, Harian Merdeka Post, Gulisiana, Gurusiana, Kompasiana, dan Guneman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antologi Cerpen: PERJUANGAN TAK BERTEMA
ContoStory ini adalah kumpulan cerpen bertema perjuangan yang ditulis oleh para penulis hebat, peserta lomba cerpen yang diadakan Penerbitan Egan's Family dalam rangka memperingati Kemerdekaan RI, Agustus lalu.