Hubungan

36 1 0
                                    

Enjel Safira

Sebuah cerita pendek tentang aku dan dirinya, yang dipertemukan pada 15 Juli 2019 silam.

Melihatnya duduk di depanku, menoleh kehadapanku saat itu, aku selalu memalingkan muka. Seperti suara hati berbisik, "Dih! Apaan, sih! Sok dekat!"
Dia tak pernah menjauh, walaupun aku selalu melemparinya dengan barang-barangku. Sampai teman-teman satu kelas bersorak, "Udah jadian aja, cocok kok."
"Dih!" jawabku.
Tetapi dia hanya tersenyum.

Tibalah pembagian peringkat. Aku peringkat tujuh dan dia peringkat satu! Memang sih, aku tidak pintar dalam hitungan, tidak seperti dia yang selalu gerak cepat.
"Aku harus memperbaiki nilaiku," kataku dalam hati.
Seiring berjalannya waktu, aku mulai mendekati dia. Dia juga menanggapi dengan sangat terbuka. Mudahlah jalanku untuk memanfaatkannya, bahasanya kek kejam gitu ya wkwk. Matematika Wajib juga Peminatan, Fisika, dan Kimia aku kerjakan satu bangku dengannya. Nilaiku meningkat.

Di tanggal 24 Oktober 2019 malam, dia me-Whatsapp aku. "Besok aku jemput ya?"
"Jemput aja di perempatan, takut ayahku lihat, ntar kamu dimarahin."
"Eh ngga papa."
"Nurut!"
"Siap, Bu boss."

Paginya 25 Oktober 2019 dia menjemputku.
"Aku mau kamu jadi pacar aku."
"Aku gak boleh pacaran, aku takut."
"Ntar aku usahain bilang ke ayahmu."
Aku diam, masih memendam takut tapi sebenarnya aku mau jadi pacarnya.
"Gak usah dijawab sekarang gapapa, nanti pulang aku anterin sampai rumah sekalian aku ngomong ya."
"Ngomong apa?"
"Dih tua!" Dia tertawa, sedikit menghilangkan rasa takutku.

Pulangnya, dia sungguh mengantarku sampai rumah, dan ayahku juga melihat.
"Pulang sekolah bawa cowok? Sekolah aja belum selesai udah berani bawa cowok ke rumah!" Ayah membentak.
"Temen, yah." Kataku menunduk.
"Temen, temen, udah berani ya?"
"Engga, Ayah."
"Mohon maaf, Pak, saya hanya mau minta izin untuk mendekati anak Bapak." Katanya.
"Tidak saya izinkan. Pulang kamu!" Ayah mengusirnya.
Dia pulang, tanganku ditarik masuk ke rumah.
"Dia gapunya apa-apa, jangan berhubungan sama dia!"
"Dia anaknya pinter, peringkat 1 terus, dapet beasiswa juga, Yah. Aku gak salah pilih, aku butuh temen buat belajar."
"Gak ada alesan!" Ayah pun pergi.

26 Oktober 2019. Hubunganku dengan dia tetap baik-baik saja.
"Belajar bareng yuk, di rumah kamu!"
"Ngga ah, nggak mau."
"Harus mau, 'kan yang ngajarin aku."
"Gak kapok ya dimarahin, terus diusir?"
"Engga, ketagihan malah."
"Vino ih!" Aku menjambak rambutnya.
"Ini lebih galak sih dari yang kemarin aaah Raraaa udaaa." Aku berhenti menjambak rambutnya.
"Diem, nggak!"
"Iya sayang ini diem kok." Mendengar itu aku langsung tersenyum.
"Tuh 'kan manjur banget emang." Vino tertawa.

Selama seminggu, dia mengajari aku hitung-hitungan di rumah, mengantar jemput aku dari rumah ke sekolah. Ya, walaupun ayah ngebentak terus. Tapi gak tau deh katanya Vino, "Yang penting usaha aja dulu."

3 November 2019, sepulang sekolah.
"Pak, saya langsung pulang aja ya. Belajarnya biar istirahat dulu."
"Kalian berdua ke sini deh," kata Ayah dengan nada ramah. Aku dan Vino kebingungan sambil mendekat.
"Vin, saya percaya sama kamu. Kamu bisa jaga anak saya dengan baik. Kamu buat dia makin semangat belajarnya, jadi saya mengizinkan."
"Serius, Yah?" kataku sambil tersenyum lebar. Ayah hanya mengangguk.

3 November 2019, resmilah aku menjadi pacarnya Vino. Perjuangan Vino untuk meyakinkan ayah tidak sia-sia. Terimakasih Vino!

Dua hari setelah kami jadian, kudapati berita tak mengenakkan dari Nita teman akrabku.
“Udah lihat story Vino yang udah dihapus belum?”
“Ya belum kalau tanya gitu.”
“Hm untung aku pake WA sakti.”
“Yang bener, apa? Aku penasaran. Jangan gitu deh jadi orang,” kataku sambil menggoyangkan pundak Nita.
Nita memberikan handphone nya kepadaku.
“Makdeg! Rasanya makdeg bangettt! Ini ngga beneran, 'kan?” Mataku hanya berkaca-kaca saat itu. Duduk di kursiku sambil bersandar di tembok, memalingkan muka.
“Vino, wajahnya kalem, pinter, kalau ngomong manisss banget. Tega, ya?” Aku terus saja membatin seperti itu. Memang pagi ini aku berangkat sendiri dan aku belum melihat Vino sampai sekarang.
 
“Selamat Pagi, Sayang.” Seperti suara Vino yang duduk di sebelahku.
“Ututu, kenapaciii, coba aku mau lihat wajah kamu pagi ini biar nambah semangat.”
“Pergi!”
“Baru dateng kok disuruh pergi.”
“Kamu yang pergi atau aku yang bolos?”
“Eh gak boleh dua-duanya.”
Aku mendorong meja dengan kasar, berlari menuju toilet wanita. Vino mengejarku, kemudian meraih tanganku.
“Kenapasi, Ra?” Aku tidak menjawab, aku hanya menangis. Toilet kalau pagi memang sepi, tapi aku malu nangis diliatin sama Pak Bonnya, apalagi cewek dab cowok. Vino menyeka air mataku.
“Cerita, kenapa? Aku gak bisa ngeliat orang yang aku sayang nangis.”
“Gak ada urusannya sama kamu, aku bukan siapa-siapamu.” Aku melepas tangan Vino, meninggalkannya. “Baru di awal kita pacaran Vin, semalem aku izin mau tidur dulu. Ternyata pas aku tidur kelakuanmu gitu, ya?” Menceritakan ini, masih sangat membekas dan selalu membuatku ingin menangis.
 
Aku duduk di sekitar lapangan, melihat kelas 12 yang sedang futsal.
“Awas!” teriakan dari seberang sana. Kuambil saja bola yang hampir mengenaiku itu.
“Baik aja?”
“Baik, Kak, nggak papa, kok.”
“Kamu cantik, bentar lagi aku mainnya selesai. Tungguin ya.” Ia berlalu lalang, menuju lapangan lagi.
Kak Ryan, cogan di sekolah idaman ciwi-ciwi. Dia kakak kelasku di SMP juga, tapi kita gak pernah saling kenal.
“Ebusettt baru ngeliat udah bilang cantik, suruh nungguin lagi. Buaya, buaya. Emang ya, gak seharusnya aku itu punya pacar di sini.” Aku hanya bisa membatin.

Taklama kemudian...
“Cantik.”
“Bukan, Rara.”
“Enggak tahu deh, ngeliat kamu itu jadi spontan bilang cantik.”
“Banyak kok yang lebih cantik. Kakak juga cool pasti gampanglah dapetin cewek.”
“Maunya kamu.”
“Haha lucu!” Walaupun diajak bicara, aku tidak menatap matanya.
“Udah punya pacar?”
Seketika aku menatapnya dengan terkejut.
“Eh ngelihatnya kok gitu sih, udah punya pacar apa belum, Rara?”
“Engga, engga punya.”
“Engga ada yang marah dong aku deketin?”
“Maaf banget ya Kak, aku lagi kacau, aku duluan ya.” Aku meninggalkan kak Ryan, kembali keruang kelas.
 
“Cie yang tadi sama Kak Ryan, lebih ganteng dari pacar kamu. Udah Vino mah gak ada apa-apanya, putusin aja.” Nita emang nyebelin, kenapa sih dia harus ngelihat?
“Tadi sama Kak Ryan ngobrolin apa?” Aku memang kecewa sama Vino, tapi gak ada niat sedikit pun buat aku berpaling dari dia. Untuk sementara ini, aku hanya mendiamkannya.
“Masih gak mau bicara? Aku bingung deh sama kamu, pagi-pagi udah badmood, nangis juga. Ada masalah apa sih sebenernya? Jangan diem terus dong aku bingung. Kalau salahnya di aku kamu bilang, biar aku ngerti, biar aku bisa perbaikin. Nit, masalah apa?”
“Mending sadar diri aja ya. Aku gak mau ikut campur, bye!
 
Jam pulang sekolah...
“Bonceng yuk, aku mau ajak ke suatu tempat.” Aku masih diam, berjalan menuju luar sekolah. Vino dengan cepat menghentikan motornya tepat saat aku akan menyebrang.
“Minggir!” Ya aku bicara karena jalannya udah penuh anak-anak sekolah gituloh.
“Kamu gaj bisa lewat. Udah bonceng aja.” Karena terpaksa, aku bonceng dia tapi berjarak.
“Boleh dong ngomong ke aku?” Di sepanjang perjalanan, aku hanya diam. Sesampainya di tujuan...
“Tempat apa nih, kok sepi? Mau mesum kamu, ya?” Aku bergegas lari tapi Vino menggenggam tanganku.
“Lepas nggak!” Kataku
“Dengerin dulu. Aku nggakbmau mesum. Aku cuma pengen ngasih tahu kamu, ini loh, tempat aku lari pas ada masalah. Sejuk, nggak?” Vino perlahan melepaskan genggamannya
“Udah bikin sakit hati, bikin sakit fisik pula.”
“Aku nyakitin hati kamu gimana, Ra? Aku sayang loh sama kamu. Tapi buat yang fisik, aku minta maaf ya Ra, aku cuma pengen denger kenapa kamu nangis? Kenapa kamu diemin aku? Aku emang sengaja ngajak kamu ke sini biar kamu juga bisa tenang.”
“Aku kecewa Vin, baru aja kita pacaran, semalem aku izin tidur duluan, kamu izin main sama temen-temenmu aku izinin asal kamu jaga hati. Tapi yang aku dapet apa, Vin? Tanpa aku tahu kamu main post foto cewek lain dengan caption love. Kamu hapus biar aku ngga liat, kamu salah, Nita yang kasih tahu aku tadi. Maksud kamu itu apa?” Aku kembali menangis. Vino meraih tanganku, menggenggamnya.
“Engga gitu sayang, aku tetep jaga hati kamu. Semalem mainan ludo, aku kalah. Yang kalah post foto Tari. Jadi ngga aku doang yang post, yang ikutan main post semua. Untung cuma lima menit.” Vino mengeluarkan hp di sakunya, video call dengan Tari dan masih berdering.
“Ngapain video call pas ada aku? Ya udah aku mau pulang.” Gak lama aku bilang itu ada Tari.
“Tari, kenalin Rara. Pacar aku yang semalem aku bilang. Ngambekan tapi aku sayang. Bisa dong jelasin yang semalem biar dia percaya?”
“Rara, salam kenal. Tari, temen Vino pas SMP. Kamu cantik, Vino gak salah bilang, gak salah milih juga sih. Maafin aku kalau kamu sempat lihat kamu jadi cemburu, jadi salah paham, jadi berantem sama Vino. Tapi beneran Ra, Vino setia kok sama kamu. Semalem suruh boncengin aku pulang aja gak mau dia, malah dilempar ke temen lain. Tapi kan agendanya kita main, jadi dia ikut main. Malu dong kalau pada main dia ngga main. Kalau Vino selingkuh atau gimana, bilang aja ke aku ya. Ini aku jujur loh engga dikasi sogokan.” Tari tertawa.
“Makasih.”
“Iya sama-sama.”
“Udahan ya Tar, mau nikmatin waktu sama Rara.”
“Hm iya Vino yang udah gak jomblo lagi.”
“Oke.” Vino mematikan video callnya.
Done ya sayang.” Vino memegang pipiku sambil membuatnya tersenyum.
“Iya aku maafin. Besok-besok jangan diulangin, aku gak suka.”
“Siap sayang aku tahu batesan kok.” Vino memelukku erat.
 
Sebegitunya Vino, takmau aku kecewa, tetap berusaha meyakinkan aku. Segitu saja cerita perjuangan Vino mendapatkanku dan menjagaku.
 
 
 
 
 
Perkenalkan, namaku Enjel Safira biasa dipanggil Enjel. Lahir di Batang, 24 November 2003. Aku suka menulis tetapi tidak selalu punya kata-kata yang puitis. Singkat saja ya bionarasinya, see u.

Antologi Cerpen: PERJUANGAN TAK BERTEMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang