Elsa Ananta
Menceritakan kisah seorang gadis desa bernama Mira Dewi. Ia tinggal di sebuah desa yang bisa dibilang mayoritas penduduknya masih mempercayai adat-adat zaman dahulu dan memiliki cara berpikir sangat sempit.
Di desa tersebut memiliki tradisi bahwa gadis berumur 18 tahun harus segera dinikahkan atau dijodohkan. Karena, apabila gadis tersebut belum menikah hingga lebih dari 18 tahun, maka gadis tersebut akan disebut perawan tua.Mira adalah gadis yang berasal dari keluarga senderhana, Marno—ayahnya dan Sumiati—ibunya bekerja sebagai petani. Dia saat ini duduk divbangku kelas tiga sekolah menengah pertama. Dia sangatlah pintar, terutama dalam bidang akademik. Dia selalu mendapat rangking pertama di kelasnya dan dia juga banyak membanggakan sekolah. Cita-citanya menjadi seorang guru dan berpendidikan tinggi, tidak seperti gadis-gadis yang berada dalam desa tersebut dan dia juga berkeinginan untuk merubah cara pandang masyarakat setempat.
Awalnya semua baik-baik saja, namun semua berubah ketika dia berada di ujung puncak kelulusan dan usianya menginjak 18 tahun. Dia berniat ingin melanjutkan ke jenjang selanjutnya, namun keinginannya itu ditentang oleh orang tuanya. Karena usianya yang genap 18 tahun, serta tradisi di desa tersebut yang mengharuskan segera menikah di usia tersebut.
"Pak," panggil Mira.
"Iya, ada apa, Neng?" sahut Marno.
"Mira mau ngomong sesuatu, Pak," jawab Mira.
"Mau ngomong apa?" tanya Marno.
"Mira ingin melanjutkan sekolah lagi, Pak," jawab Mira.
Seketika Marno terdiam. Mendengarkan apa yang disampaikan putrinya.
"Mira masih ingin mengejar impian Mira, Pak. Mira gak mau kayak gadis-gadis di sini. Dipandang rendah karena dianggap hanya bisa masak, dandan, bersih-bersih, dan jaga anak doang," jelas Mira.
"Tapi kamu tahu sendiri 'kan, Neng, bagaimana masyarakat di sini? Kamu akan dikatakan perawan tua yang gak laku karena belum menikah di usia segini," jawab Marno.
"Ta—pi ...." Mira masih ingin bicara.
"Sudah cukup!" Marno memotong. "Bapak capek, mau tidur." Ia bergegas pergi menuju kamar.
Sepertinya Marno tidak setuju jika Mira malanjutkan sekolah, tetapi Mira tetap berusaha dan meyakinkan bapaknya itu.Keesokan harinya dia harus mengikuti ujian semester akhir, syarat untuk mengikuti ujian tersebut harus membayar uang bulanan dan biaya ujian. Sedangkan orang tuanya tidak mempunyai uang yang cukup untuk membayarnya. Total semua biayanya adalah tiga ratus lima puluh ribu sedangakan orang tuanya hanya memiliki uang dua ratus ribu rupiah. Dia harus mencari sisanya sendiri, karena dia tahu, bahwa orang tuanya tak mempunyai uang lagi.
Keesokan harinya Bu Ida menyuruh Dina—teman Mira untuk menyampaikan pesannya kepada Mira.
"Din," panggil Bu Ida.
"Iya Bu, ada apa?" tanya Dina.
"Hari ini Mira masuk, gak?" tanya Bu Ida.
"Masuk, Bu... 'Kan hari ini ujian," jawab Dina.
"Oh ya udah, tolong sampaikan ya! Dia suruh menemui ibu di kantor," perintah Bu Ida.
"Iya Bu, nanti saya sampaikan," jawab Dina.Ketika di kelas Dina menyampaikan pesan tersebut, Mira pun segera menemui Bu Ida sekaligus untuk membayar tagihan sekolahnya.
"Assalamualaikum, apa ibu memanggil saya?" tanya Mira.
"Iya. Silakan duduk," jawab Bu Ida.
"Ada apa, Bu?" tanya Mira lagi.
"Kamu pasti tahu 'kan, apa syarat-syarat mengikuti ujian? Kamu harus membayar tagihan yang nunggak dan biaya ujian. Total semua yang harus dibayar adalah tiga ratus lima puluh ribu," jelas Bu Ida.
"Iya Bu, saya mengerti, tapi saya masih mau bayar setengahnya dulu. Karena orang tua saya masih tidak ada uang yang cukup, saya janji akan segera melunasinya. Tolong Bu, ya! Bolehkan saya mengikuti ujian ini." Mira memohon, dan coba meyakinkan Bu Ida.
"Baiklah kamu boleh ikut ujian, tapi kamu harus janji untuk melunasinya dalam tiga hari. Jika kamu tidak melunasinya dalam masa waktu tersebut mohon maaf, Ibu sudah tidak bisa memberi keringanan lagi, karena ini sudah ketentuan dari sekolah," tegas Bu Ida.
"Iya Bu, saya janji akan segera melunasinya," jawab Mira.
Akhirnya Mira berhasil meyakinkan Bu Ida dan bisa mengikuti ujian Tetapi ia belum bisa tenang. Karena masih ada tanggungan untuk membayar tagihan sekolahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antologi Cerpen: PERJUANGAN TAK BERTEMA
Historia CortaStory ini adalah kumpulan cerpen bertema perjuangan yang ditulis oleh para penulis hebat, peserta lomba cerpen yang diadakan Penerbitan Egan's Family dalam rangka memperingati Kemerdekaan RI, Agustus lalu.