reddest; OO1

353 46 7
                                    

Sanciya, gadis rambut sebahu, menempati kursi di tengah, tidak terlalu maju ataupun terlalu mundur. Yang jelas, ia masih bisa menatap jelas papan tulis.

Kelas 11 IPA 2, kelas yang seru dan kompak. Ciya pertamanya takut jika kelas sebelasnya ini akan menakutkan, seperti teman yang suka merundung. Tetapi, ia bersyukur bahwa itu hanya mimpi buruk. Teman-temannya sangat menerima Ciya.

Setiap kelas pasti selalu ada masalah, seperti kelas terberisik, yang membuat semua guru malas untuk mengajar, yang berakhir kelas itu diperlakukan beda oleh guru. Ataupun kelas yang kotor, yang berakhir menjadi omongan para guru disetiap rapat bersama.

Di kelasnya, terdapat masalah besar. Satu sekolah menjadi saksi bisu untuk masalah ini, yang meraih atensi luar sekolah hingga sekolah lain.

Pertengkaran hebat saudara tiri antara ketua ekskul basket, dan anggota ekskul taekwondo.

Aziel, lelaki yang diakui ketampanannya oleh seantero sekolah. Tetapi dibanding kelakuannya, orang lebih menyukai Sergio, karena lelaki itu ramah dan tidak neko-neko.

Pertengkaran hebat itu pecah saat upacara awal semester kelas sepuluh, saat orang tua Aziel bercerai dan dua bulan kemudian Ayah Aziel menikahi Ibu Sergio. Dan berakhir mereka mempunyai marga yang sama.

Menendang, memukul, mendorong Sergio di tengah lapangan panas nan damai karena sedang melaksanakan upacara. Tetapi hanya Aziel yang melalukan penyerangan, Sergio mengerti, perlakuan Aziel kepadanya karena ia sakit hati oleh pernikahan orang tuanya. Sergio berusaha paham, walaupun emosinya sudah memuncah untuk menjotos balik Aziel di hadapannya.

Senin itu bagaikan neraka bagi semua guru dan murid, karena tidak ada yang bisa menghentikan amukan seorang Aziel yang kesetanan, matanya kosong, memukuli Sergio yang tidak melawan sama sekali.

Ciya berdiri di barisan paling depan saat itu, melihat bagaimana darah yang mengalir dari seragam putih Sergio. Tak ada yang berani mendekat, hanya mencoba untuk melerai, tetapi sudah terlambat, saat itu Sergio pingsan di tempat. Dan berakhir polisi datang, menarik Aziel untuk berhenti.

Tetapi karena masih dibawah umur, tidak ada yang ditahan setelah kejadian itu. Ditambah kekuatan keluarga Abimanyu yang bisa saja membeli sekolah Pramudya ini. Siapa saja bisa dibekap oleh uang.

Sanciya menatap punggung lelaki yang baru saja melewati pikirannya, Sergio, mereka sekelas. Tetapi mereka tidak terlalu dekat, hanya saja jika mereka satu kelompok. Otomatis harus berbicara satu sama lain.

Sehabis kejadian itu, sekolah memutuskan untuk tidak menyatukan Aziel dan Sergio dalam satu kelas. Mereka selalu berada di kelas yang berbeda dan tidak satu koridor.

Demi kebaikan dan kedamaian sekolah.

Yael menyenggol tangan Ciya, "Mikirin apa? Serius banget, btw, udah ngerjain matematika? Sebentar lagi masuk gurunya." salah satu teman dekatnya di kelas, Yael juga ikut dalam science club.

"Udah, mau liat?" tanya Ciya merogoh tasnya dan mengeluarkan buku tulis matematika, "Peka banget lo, Ciy. Makasih ya, gue cepet kok nyalinnya. Udah biasa." yang dihadiahi jitakan keras di dahinya.

"Aw!"

"Jangan dibiasain nyalin!"

Semester pertama kelas sebelas sejauh ini berjalan lancar, walaupun tugas yang luar biasa banyaknya.

Kegiatannya dari Senin sampai Sabtu adalah bersekolah dari pagi hingga sore, dilanjut les sampai jam setengah delapan malam. Sabtunya hanya ada agenda ekskul di sekolahnya. Hanya Minggu Ciya bisa lebih lama berleha-leha di atas kasur.

Bu Adnan, guru matematika wajib yang mengajar di kelasnya masuk, tetapi satu kelas memberikan tatapan horror karena setalahnya,

Murid yang sama sekali ditakutkan untuk mendekat ke kelas IPA 2, yang haram hukumnya untuk menginjakan kakinya disini, masuk ke kelas, memberikan tatapan yang siapa saja enggan menatapnya.

"Sergio, keluar lo anak anjing!"

Satu kelas diam, tak terkecuali Bu Adnan yang sama paniknya melihat Aziel yang berdiri di depan kelas, "A-Aziel, k-kenapa yaー"

Sergio berdiri, menghembuskan napas kasar seolah sudah biasa dipertemukan oleh situasi ini, "Kenapa?"

Bu Adnan merogoh ponselnya dari kantong baju, terlihat menelpon seseorang.

"Nggak usah sok protes anak basket kotor pake lapangan kalau anak taekwondo sama bejatnya, nggak usah sok suci." kata Aziel yang terlihat sudah benar-benar marah, Yael yang duduk di sebelah Ciya menggenggam tangan gadis itu kencang, pertanda bahwa dirinya sangat ketakutan.

"Lo emang nggak tau tata krama atau gimana, Zel? Gue mau belajar dan ada guru disini, nggak ada cara yang lebih sopan?"

Saat Aziel ingin meloncat kearah Sergio, kerah bajunya ditarik dari belakang. Terdapat kepala sekolah, dan dua satpam yang menahan Aziel.

"Sergio, duduk di tempat kamu." titah Kepala sekolah, Pak Hartono.

Aziel ditarik paksa keluar, suasana yang tadinya panas berubah menjadi canggung. Sergio sama sekali tidak menunjukkan gelagat apapun, ia hanya diam sambil menundukkan kepala.

"Jadi... kita lanjutin pelajaran minggu kemarinー"

Bu Adnan berdehem, menghilangkan gugup di tubuhnya. "ーSampai dimana, ya? Saya lupa minggu kemarin kita belajar apa."

. . .

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
[i] reddestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang