reddest; OO3

180 37 2
                                    

Pulang ke rumah dengan tubuh yang super duper lelah, kini sudah jam setengah sembilan malam.

Harusnya Ciya sudah pulang dari setengah jam yang lalu, tetapi karena hujan yang membuat ia meneduh dulu di toserba.

Masuk ke dalam rumahnya, melihat Papanya yang sedang menonton TV di ruang tengah, "Sanciya, bagaimana sekolahnya?"

Arjuna, lelaki berumur setengah abad itu beranjak dari duduknya. Dan mengambil alih tas sekolah Ciya, menaruhnya di samping sofa. "Capek, ya? Langsung istirahat aja, ayok Papa anter ke kamar."

Ciya dan Papanya berjalan manaiki tangga, kamar Ciya yang berada tepat di sebelah tangga. "Btw, udah makan? Mau Papa buatkan apa?"

Gadis itu menggeleng, "Nggak usah, Pa. Aku udah makan tadi di tempat les. Papa istirahat aja, pasti capek juga kan abis pulang kerja? Aku masuk ya, Pa."

Papanya mengangguk dan meninggalkan Ciya sendiri, gadis itu memasuki kamarnya, menyalakan lampu kamarnya yang gelap.

Membuka sedikit pintu yang mengarah ke balkon, alasan mengapa Ciya sangat betah di kamar karena mempunyai balkon, yang bisa membuatnya fresh jika mumet belajar di kamar.

Membersihkan diri karena seharian beraktifitas, setelah itu Ciya membaringkan diri di kasur kesayangannya.

Mengambil ponsel di nakas, lalu membuka roomchat yang ternyata banyak notif dari grup kelas dan beberapa pesan dari temannya.

Membuka percakapan dengan Yael, yang sudah janjian akan telponan malam ini untuk membahas apapun. Karena mereka sudah terlanjur sangat dekat, duduk di kelas bersebelahan, dan satu ekskul yang sama pula.

"Halo," Ciya membuka pembicaraannya di telpon, "Gue baru pulang, maaf, El. Hujan tadi, jadi gue neduh dulu."

"Ih, harusnya lo istirahat, Ciy. Capek pasti nunggu hujan reda."

Mengatur posisi terbaiknya untuk rebahan, Ciya menaruh bantalnya lalu menidurinya. "Iya sih, El. Tapi gue mau cerita, kejadiannya tadi pas piket."

"KENAPA, CIY? KENAPA IH???"

Ciya menjauhkan ponselnya dari telinga, respon Yael sangat antusias yang membuatnya menyerngitkan dahinya. "Biasa aja dong, ini gue mau kasih tau lo. Tapi please jangan bahas ini di kelas. Yang tau cuma Aji sama beberapa anak doang, pokoknya kelompok piket gue."

"Iya, Ciy. Kenapa?"

Dengan lancar dan jelas, Ciya menceritakan adegan yang terjadi pada sore hari tadi, pada saat dirinya melaksanakan piket. Yang membuat dirinya mau nggak mau harus ikut campur diantara masalah Aziel dan Sergio. Nggak ada satupun di sekolah ini yang mau terlibat, karena jika Aziel sudah mengamuk, nggak ada yang bisa berhentiin kecuali orang tua mereka.

"Sinting ya emang si Aziel, masalah personal diumbar gitu aja, nggak tau tempat. Nyalurin amarah nggak pada waktunya." jawab Yael dengan setengah emosi sehabis mendengarkan cerita Ciya, tidak habis pikir dengan kelakuan Aziel yang semena-mena.

"Tapi gue penasaran, El. Kenapa Sergio nggak pernah ngelawan kalau jadi sasaran amarahnya Aziel? Dia kan anak taekwondo tuh. Yang mana pukulannya lebih mematikan dari pada Aziel, kenapa dia nggak pernah gitu mukul sekali, biar Aziel kapok." tanya Ciya penasaran, dirinya sangat ingin tahu kenapa dari dulu Sergio nggak pernah meladeni jika terlibat perkelahian dengan saudara tirinya itu.

Seperti memaklumi jika Aziel memperlakukannya seperti itu karena mempunyai maksud.

Terkadang, Ciya memikirkan Sergio yang hanya duduk terdiam seperti menghindari atensi dari orang-orang. Yang tidak neko-neko di kelas. Hanya menundukkan kepalanya setiap saat.

"Berarti dia dewasa dong, Ciy? Gunain kelebihannya untuk kebenaran, nggak buat mukul balik saudaranya saat bertengkar. Idaman banget gak sih si Sergio?"

Merotasikan bola matanya tanda tak puas dengan respon Yael, "Kok malah bahas tipe idaman, El? Ngawur ah, udah, ya? Gue capek nih, segitu dulu perjulid-an hari ini."

"Oke, selamat istirahat sayangku, see you tomorrow!"

Terputus jaringan telpon antara Ciya dan Yael, menaruh kembali ponselnya di atas nakas. Lalu menatap balkon yang masih terbuka pintu dan gordennya, memperlihatkan pemandangan malam yang sunyi.

Pikiranya terbang entah kemana, memikirkan kejadian satu hari ini yang sama sekali tidak terduga.

Sementara di tempat yang berbeda.

Sergio, terbaring juga di kasur. Di tempat yang ia panggil 'rumah' tapi sama sekali tidak seperti 'rumah'

Seperti penjara yang menahan Sergio untuk tidak pergi dari sini, Ibunya adalah suatu alasan mengapa Sergio tidak kabur dari tempatnya berbaring sekarang. Karena Ibunya lah satu-satunya alasan Sergio untuk tetap mengabaikan perasaannya, yang dihantui oleh omongan-omongan Aziel tentang dirinya.

Sergio dipaksa untuk dewasa dan mengerti, walau umur ia dan Aziel sama. Tetapi, ia harus lebih pengertian dengan situasi Aziel. Itu kata Ibunya.

Bundanya Aziel meninggal karena penyakit kejiwaan, yang dimana Aziel sangat terpukul, tidak nafsu makan, tidak tidur, hanya menatap kosong kamarnya sepanjang hari. Yang membuat para pembantu di rumahnya kewalahan.

Ditambah dengan Ayahnya yang menikahi wanita lain yang seharusnya ikut bersedih dan kehilangan bersama Aziel, putranya.

Aziel mengamuk hebat saat tau Ayahnya ingin menikah lagi, satu rumah tidak bisa menghentikan bagaimana Aziel memecahkan semua piring yang berada di atas meja. Ayahnya memberi kode bahwa biarkan Aziel menyalurkan amarahnya seperti ini, tidak ada yang bisa menghentikannya memang.

Apalagi waktu Ibunya dan Sergio pindah ke rumahnya, suasananya sangat tidak mendukung. Berantakan di dapur bekas kegaduhan yang diciptakan Aziel, ruang tengah yang juga ikut berantakan karena Aziel melempar pecahan gelas, sama sekali bukan sambutan 'selamat datang' yang mereka harapkan.

Marga yang langsung Ayahnya Aziel ubah di nama belakang Sergio, padahal dirinya sudah bilang untuk tidak usah menggantinya. Tetapi Papanya Aziel bilang untuk segera menggantinya, tidak tau kenapa.

Sejak saat Sergio melangkahkan kakinya di rumah ini, tatapan tak enak yang dipancarkan oleh Aziel sudah membuatnya tak nyaman.

Apalagi perkataan menusuk dari Aziel tentang Ibunya dan dirinya, yang dimana seharusnya Aziel tidak boleh untuk sejauh itu.

Di kelas sebelas ini, Sergio mencoba untuk tetap fokus pada pendidikannya. Mencoba melupakan kejadian kelas sepuluh yang membuatnya terkenal secara mendadak karena kejadian 'itu'

Sergio benci jadi pusat perhatian, apalagi ditatap seolah mereka penasaran dengan apa yang terjadi di lingkaran keluarganya, jika ditanya apa yang terjadi, Sergio juga tidak tahu. Terlalu rumit untuk dijawab, sehingga dirinya menanyakan pada sendiri, apa yang terjadi pada dunianya? Pada rumah ini?

. . .

Sayang Sergio banyak-banyak 🥺❤️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sayang Sergio banyak-banyak 🥺❤️

[i] reddestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang