reddest; OO2

205 38 5
                                    

Bel pulang adalah momen yang sangat ditunggu oleh seluruh penjuru sekolah, karena tandanya kegiatan belajar mengajar harus terhenti dan dilanjut esok hari.

Kelas IPA 2 ditutup dengan pelajaran fisika yang dimana sangat suntuk untuk ditaruh di pelajaran paling akhir, tidak ada yang masuk ke otak, yang ada ngantuk pengen cepet-cepet pulang.

"Damian udah nunggu di depan pager sekolah, Ciy. Lo piket, kan? Gue duluan, ya!" kata Yael yang sudah menggendong sebelah tasnya, Ciya mengangguk. "Iya deh yang punya pacar! Hati-hati di jalan, El. Ntar malem mau telponan lagi?"

Yael mengangguk antusias, "Boleh!"

Mereka memang suka telponan membicarakan banyak hal, selain pelajaran dan ekskul science club tentunya. Sekedar bertukar cerita dan curhat.

Gadis itu keluar dan hilang dibelokan koridor, kini lima orang termasuk Ciya dan Sergio mengambil alat-alat kebersihan di pojok ruangan, dan mulai membersihkan kelas.

Saat Sergio ingin mengambil pel, Ciya buru-buru merebutnya dari tangan lelaki itu. "Gue aja, ya? Lo mendingan nyapu, gue lagi mood buat ngepel."

Sebenarnya Ciya hanya mencoba untuk mengerti keadaan Sergio setelah kejadian dipelajaran matematika tadi, "Makasih ya, Ciy."

Lelaki itu mengambil sapu, lalu ikut menyapu ruangan dengan dua orang lainnya.

Ada yang mengisi tinta spidol, dan mengelap jendela kelas. Untung kelompok piketnya sama-sama bisa diajak kerja sama, tidak ada yang kabur atau mencari alasan untuk tidak mengerjakan tanggung jawabnya.

Sehabis mengambil air di kamar mandi, Ciya berdiri di depan kelas, menunggu tim sapu untuk menyelesaikan tugasnya. Ia melihat keluar, tetapi sesuatu yang membuatnya berlari panik ke dalam dan menutup pintunya kencang.

"Kenapa?" tanya orang yang sedang mengisi tinta spidol, Aji namanya.

Setelah itu bunyi tendangan keras pada pintu kelas mereka, untung kunci kelas menyantol dan langsung saja Ciya kunci. Aziel, lelaki itu datang lagi.

"Keluar lo, Gi. Gue nggak akan kalah lagi sama lo, gue nggak akan pernah takut sama lo, KELUAR LO ANJING!"

Sisa lima orang di kelas yang terkunci dari dalam, melihat Aziel yang terus-terusan menendang pintu kelas dengan keras.

"Aziel, lo bisa ngomongin ini di rumah." jawab Sergio, di sebelah Ciya. Tangannya menggenggam erat seolah menahan diri dari sikap gegabah Aziel.

"Buka sekarang pintunya, dan bilang sekarang juga ke gue kalau ekskul lo lebih buruk. Nggak usah sok-sokan nyenggol anak basket, lo nggak ada bedanya, Gi. Lo sampah, lo harus tau itu." nada Aziel melemah, tetapi tetap saja pintu kelas di gedor keras.

Kalau besok pintu kelasnya rusak dan tidak bisa tertutup, Ciya akan salahkan Aziel untuk hal ini. Merusak fasilitas sekolah demi memuaskan amarah dirinya adalah sesuatu yang buruk.

Ciya membuka pintunya, lalu menutup kembali dengan cepat.

"Ciyaー" panggilan Sergio dari dalam terhenti bersamaan dengan tertutupnya pintu kelas.

"Gue akan laporin lo karena berusaha merusak fasilitas sekolah, sekarang, tolong menjauh dari kelas ini. Tolong dewasa, nggak usah sok jagoan."

Ciya menatap tajam Aziel yang kembali menatapnya tajam, menusuk bola mata Ciya. Seolah gadis itu tidak bisa melihat ke arah lain selain lurus tepat di mata Aziel.

Aziel tidak mengidahkan pernyataan Ciya, dirinya menorobos masuk tetapi ditahan oleh Ciya dengan sekuat tenaga. Di dorongnya Aziel sampai lelaki itu terhuyung ke belakang.

"Cepetan minggir!" teriak Aziel, tetapi tiba-tiba dua temannya datang dan buru-buru menarik Aziel ke belakang. Menahan Aziel yang sudah hampir melangkahkan kakinya ke dalam kelas.

"Udah anjing, sumpah lo kenapa kayak gini lagi, sih? Sadar bego!" kata seseorang yang Ciya tidak tau namanya, yang satunya mengecek Sergio ke dalam kelas lewat jendela, "Lo nggak apa-apa kan, bro?"

Dijawab anggukan oleh Sergio.

Lalu mereka bertiga pergi dengan Aziel yang masih tidak kuasa menahan amarah, Ciya menggelengkan kepala. Harusnya ia sudah menyelesaikan piket dari tadi dan pergi les, dirinya bisa telat karena meladeni masalah ini yang bahkan bukan urusannya.

Sergio membuka pintu kelas, menarik Ciya ke dalam. "Lo nggak apa-apa?"

Gadis itu mengangguk lesu, "Santai aja, Gi. Yang penting lo nggak apa-apa. Udah yuk selesain piketnya."

Saat Ciya berjalan dua langkah, Sergio menyekal tangan Ciya. Membuat gadis itu bingung.

"Besok-besok jangan berurusan sama Aziel lagi ya, Ciy? Dia lebih bahaya dari apapun. Gue mohon."

. . .

Mas mas yang ngisi tinta spidol:

Mas mas yang ngisi tinta spidol:

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
[i] reddestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang