reddest; O14

167 32 7
                                    

Bunyi bel rumah Ciya membuat Aziel yang sedang asik dengan ponselnya seketika terkejut, menoleh ke samping dan memperhatikan Ciya yang sedang terlelap di pundaknya. Dengan air wajah yang seolah merintih, gadis itu demam tinggi.

Masih saja peduli dengan Aziel, gadis itu bahkan ingin membuatkannya makanan, tetapi Aziel tolak karena dengan melihat gerak-gerik Ciya yang jauh sekali dari kata sehat, Aziel takut gadis itu pingsan tiba-tiba.

Sepertinya makanan yang Aziel pesen di aplikasi sudah datang, dengan hati-hati, Aziel memindahkan kepala Ciya dari pundaknya ke bantal di sebelahnya, dan mengelus puncak kepala Ciya lembut.

Berjalan ke arah depan pintu, dan membukanya.

Betapa terkejutnya orang yang baru saja menekan bel, melihat saudara tiri yang sangat ia hindari selama ini. Muncul di depan pintu dengan teman lelaki satunya yang berada di depan gerbang, Aziel mengetahui wajahnya, tapi tidak dengan namanya.

"Ngapain lo di sini?"

Nada bicara Sergio tak terkontrol, napasnya tercekat, apakah kata-kata Aziel yang ingin merebut Ciya darinya ternyata sungguhan?

"Lo mainin Ciya?" rentetan pertanyaan yang dilontarkan Sergio, membuat senyuman di wajah Aziel merekah, rasanya senang melihat manusia yang paling ia benci menunjukkan wajah kelemahannya, yang tidak pernah Aziel lihat sebelumnya.

Aziel mendorong pemuda itu untuk mundur, menutup pintu rumah Ciya rapat-rapat. Dan menyilangkan kedua tangannya di dada. "Ciya manis ya, Gi? Nggak pernah gue ketemu sama cewek sebaik dia, gue ngerti sih lo sampai sekaget itu gue sama dia akhirnya deket."

Sergio menarik kerah baju Aziel, "Kalau lo benci gue, jangan bawa siapapun. Lo manusia terburuk kalau sampai nyakitin Ciya."

Manik mata mereka seperti menembus satu sama lain, memberikan tatapan membunuh yang membuat siapa saja yang melihatnya akan bergidik ngeri.

"Basi, Gi. Gue nggak ngerebut apapun dari lo. Dan gue sama Ciya adalah orang yang sama-sama menyembuhkan rasa sakit satu sama lain, dia bilang rumahnya terbuka lebar untuk gue. Dan lo tau, Gi? Dia meluk gue malam itu, disaat gue butuh seseorang, waktu gue nggak nemu jawaban yang selama ini ada di otak gue. Dia sayang sama gue, Gi."

Cengkraman di kerah baju Aziel melonggar, Sergio mundur perlahan. Plastik makanan di tangan kirinya menggantung begitu saja.

"Lo sebenci itu sama gue, Zel? Lo sengaja, kan? Ciya lo apain, Zel?"

Aziel menatap Sergio tajam, "Kita impas, Gi. Lo ambil kebahagian gue, dan gue ambil kebahagiaan lo."

"Brengsek." kata Sergio akhirnya.

Aji, menyaksikan dua saudara tiri yang terlihat sama-sama berantakan. Ia berada di atas jok motornya, menunggu Sergio yang sedang menyelesaikan urusannya. Aji nggak tertarik sama masalah orang lain, yang jelas, Sergio memintanya untuk mengantarkannya ke rumah Ciya. Ia ikut terkejut saat melihat ada Aziel di sana.

Jadi, bukan lagi masalah keluarga? Masalah fatal yang membuat mereka rela bertatapan maut dan saling melemparkan kata-kata kasar, demi seorang gadis.

"Mending lo pulang, Gi. Ciya juga lagi tidur, gue nggak mau dia bangun cuma untuk lihat lo. Udah? nggak ada yang mau diomongin lagi, kan? Gue masuk."

Saat Aziel membalikkan badannya, Sergio lantas menarik kerah bajunya. Emosinya memuncak tiba-tiba, jotosan dan tendangan yang lelaki itu pelajari di taekwondo pecah begitu saja. Aji, yang tidak terlalu jauh dari mereka, menegakkan tubuhnya, panik melihat temannya yang tiba-tiba seperti orang kesetanan.

[i] reddestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang