reddest; OO8

158 36 6
                                    

Minggu pagi, Sergio sudah berada di depan teras rumahnya. Berjemur dengan sinar matahari yang menyinari seluruh tubuhnya. Karena sinar matahari baik untuk kesehatan tulang, meningkatkan kualitas tidur, dan bisa mengurangi depresi ringan juga.

Memejamkan matanya, Sergio menyenderkan tubuhnya pada kursi, merasakan semilir angin yang berhembus kepadanya, cuaca hari ini sangat cerah, membuat suasana hatinya juga sama cerahnya.

Bi Sarah terlihat sedang menyiram tanaman, mengguntingnya, menambahkan pupuk ke pot bunga. Melihat Sergio sedang berjemur, Bi Sarah tersenyum, menghampiri majikannya tersebut. "Mas Gio mau sarapan apa? Karena Mas Gio lagi sakit, sekarang kemauan Mas Gio saya turuti."

Membuka matanya, Sergio menyapa Bi Sarah, menggeleng cepat. "Nggak usah Bi, Nggak apa-apa. Saya abis ini-" pembicaraan Sergio terpotong karena lelaki itu terbatuk yang membuatnya kehilangan keseimbangannya, buru-buru kursinya Bi Sarah tahan dengan tangannya.

"Waduh, Mas Gio. Sakit gini malah mau ngehindarin sarapan, yaudah saya masakin yang enak, pokoknya Mas Gio nggak boleh kemana-mana sebelum sarapannya siap. Sekarang mandi dulu, abis itu saya panggil buat sarapan. Jangan nolak ya!" wanita itu pergi meninggalkan Sergio sendiri di depan teras, sementara Sergio menepuk dadanya pelan, hanya batuk lewat saja pikirnya.

Beranjak dari duduknya bermaksud untuk mandi, tetapi orang yang sama sekali tidak ingin Sergio jumpai muncul dari depan pintu, seperti biasa, menatapnya tak suka.

Sergio pura-pura tidak melihat, terus berjalan, tetapi malah Aziel yang menatap seolah Sergio adalah umpan yang harus terkam oleh predator.

"Lo punya pacar?"

Yang ditanya menghentikan jalannya, tidak menoleh sama sekali. Menunggu lawan bicaranya berbicara kembali.

"Cewek yang kemarin ke sini itu yang berantem sama gue di depan kelas lo, kan?"

Berbalik untuk menatap Aziel, Sergio memberikan tatapan sinis. "Lo peduli ceritanya?"

Tertawa keras, memantulkan bola basket yang ada di tangannya. "Gue? Peduli? Sementara Bunda lo ngerebut kebahagiaan keluarga gue? Masa iya gue peduli sama anak satu-satunya?"

Genggaman tangan Sergio mengeras, sampai urat ditangannya muncul. Ingin sekali menjotos Aziel sampai lelaki itu sadar bahwa bukan Bundanya lah yang menyebabkan kebencian tanpa sebab Aziel tersebut.

Tetapi itu akan membuat Sergio lelah, Sergio tau. Pikiran jahat Aziel terbentuk karena lelaki itu belum merelakan sama sekali kepergian Ibunya.

"Terserah, Zel. Gue udah nggak mau denger kata-kata lo." jawaban Sergio selalu sama, mengalah. Mengalah terus, mengalah lagi.

Karena itu lah yang Bundanya katakan, untuk terus mengerti apa yang Aziel rasakan, dan seolah melupakan bahwa Sergio juga manusia, yang mempunyai rasa marah ketika mendengar saudara tirinya itu merendahkannya, melempar semua caci makiannya kepada dirinya, seolah Sergio lah penjahat utamanya.

"Sanciya."

Sergio menahan napas, menunggu Aziel melanjutkan perkataannya.

"Kalau lo bisa ngerebut kebahagiaan gue, yaitu keluarga gue. Gue juga bisa dong, ngerebut pacar lo itu."

Suara hantaman keras di teras kala itu, membuat Bi Sarah dan satpam penjaga rumah terkejut. Pertengkaran hebat terjadi pada mereka, untuk kedua kalinya.

Kali ini berbeda.

Sergio lah yang hilang kendali.

. . .

Lapangan upacara SMA Pramudya dibuat heboh dengan dua saudara tiri yang hadir di lapangan, tetapi dengan wajah yang sama-sama babak belur.

[i] reddestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang