Teriakan pelatih yang membuat Aziel menggelengkan kepalanya beberapa kali, berusaha fokus pada pertandingan.
"Kalau hari ini lo nggak bener mainnya, besok undur diri aja!" Perkataan pelatih yang biasanya mengefek pada pola permainan Aziel, tetapi untuk hari ini, sama sekali tidak lelaki itu hiraukan.
Pelatih menyenggol Sadewa yang sedang duduk dan meminum air mineralnya, "temen lo kenapa? Padahal kemarin ambis banget buat menang, kalau mainnya gini terus, nggak usah ngarep mau menang."
Sadewa hanya mengedikkan bahunya tanda tak tahu, melihat temannya di lapangan sama sekali bukan cara bermain Aziel, arah pandangnya tidak fokus, gerakan kaki yang berantakan, tembakan yang meleset.
"Aziel, keluar lo!" Karena tidak mau mengambil resiko, pelatih terpaksa menarik pemain inti, dan pemain inti itu adalah kapten, aneh memang.
"Lo nggak gue kasih main kalau masih ancur begini, sana keluar dulu, cuci muka."
Hanan, atau Bang Hanan, pelatih yang berdekatan umurnya dengan mereka, tetapi jika berhubungan dengan lapangan dan tim, Hanan sangat tegas, apalagi masalah pribadi seperti Aziel sekarang, tidak ada ampun.
Dilemparkan handuk begitu saja ke bahunya, Aziel berjalan keluar tribun yang ramai dipadati orang-orang yang menonton.
Banyak yang memandangi Aziel karena mereka menonton pertandingan basket karena ingin menonton Aziel.
Cahaya mata hari langsung menusuk pandangannya, berusaha mencari tempat teduh. Karena kini semua sudut sekolah dipenuhi siswa-siswi yang berkeinginan untuk menonton pertandingan basket. Karena ini adalah kejuaraan yang ditunggu-tunggu, semuanya antusias, walau dari tribun kanan hingga kiri dipenuhi kaum hawa, tetapi tetap saja, tidak ada yang bisa melewatkan pertandingan bergengsi ini.
Perasaan tak enak yang memenuhi pikiran Aziel sedari tadi, Sadewa dan Jagad pasti sedang mengutuknya di dalam sana, karena Aziel adalah pemain inti, Aziel sangat dibutuhkan.
"Anjing." Sumpah serapah yang ia ucapkan sedari tadi, bukan skenario yang Aziel inginkan. Kejuaraan ini adalah impian Aziel, tak mungkin karena masalah gadisnya sekarang membuat semuanya berantakan.
Otaknya seketika tak bisa berhenti memikirkan Ciya, atau Ciya dan Sergio? Aziel benar-benar bingung disertai. . . Cemburu.
Seharusnya dirinya yang memeluk Ciya dan menenangkannya, seharusnya Aziel yang menjaga Ciya, membiarkan kepala gadis itu di bahunya. Bukan Sergio, bukan seseorang yang sangat Aziel benci.
"Lo mau menang atau semua kerja keras kita tiga bulan ke belakang sia-sia?" Membalikan badannya, terlihat air muka Jagad yang lelah. Mungkin menggantikan peran Aziel di lapangan bukanlah hal yang mudah.
"I'm so sorry, Gad." Dengan handuk yang berada di bahunya, Aziel mengelap asal wajahnya, lalu beranjak dari duduknya.
"Gue tahu lo lagi ada masalah, Zel. Let's win this, dan beresin semuanya abis ini. Nasib ekskul kita ditentuin sekarang."
Jagad merengkuh sahabatnya, ia tahu gerak-gerik Aziel sedari tadi tidak terbaca, gelisah. Berjalan beriringan ke dalam lapangan, dan teriakan dari ujung ke ujung terdengar.
Semangat yang bersembunyi di diri Aziel keluar, semuanya harus selesai sesuai skenario.
Ia harus menang.
Setidaknya untuk urusan ini Aziel harus menang.
Makanan kesukaannya bahkan tidak terlihat menarik di mata Ciya, bahwa dunianya yang dipenuhi lolipop, pelangi, dan permen kapas berubah sepenuhnya menjadi jalanan gelap tanpa arah.
Papanya seperti penerang di hidupnya, kini penerang itu sedang redup. Ciya harap akan ada seseorang yang menyalakannya lagi untuknya.
Dan. . . Dua hari ke belakang.
Sosok Sergio yang pasif, kaku, dan canggung kini berubah menjadi Sergio dengan seribu satu cara agar membuat Ciya membuka mulutnya untuk makan.
Ciya tidak tahu mengapa Sergio bersedia untuk direpotkan, padahal sudah beberapa kali ia suruh lelaki itu untuk pulang.
Kantin rumah sakit sama sunyinya dengan ruang tunggu tempat Ciya menunggu kabar Arjuna, Papanya.
Apalagi sudah dua hari juga, dokter masih mengupayakan kondisi stabil Arjuna, yang membuat Ciya tidak punya pilihan selain menunggu. Menunggu kabar baik.
Meja kantin hanya di isi dengan dirinya dan Sergio. Pandangannya jatuh kepada lelaki yang berada di depannya ini.
"Emangnya boleh bolos sekolah?" Membuka percakapan yang sedadi tadi diisi dengan keheningan, karena Ciya tahu Sergio tidak pandai membuka topik.
"Lo juga bolos, kan? Yaudah, itung-itung bolos bareng." Jawaban yang tidak Ciya duga, "makan, Ciy. Lo cuma makan coklat dari gue doang. Setidaknya lo harus tetep sehat sampai bokap lo ada kabar."
Masih saja memandangi lawan bicaranya, "makasih ya, Gi. Udah mau nemenin gue."
Memulai acara makannya, walau ayam gulai dihadapannya terlihat menggoda, tetapi tetap saja lidahnya pahit, tak nafsu.
Menelan makanannya dengan keras, kini gantian Sergio yang memandangi Ciya.
"Gue sayang sama lo, Sanciya."
Sorot mata keduanya bertabrakan, nafas keduanya seolah sama-sama sesak, seolah deguban jantung terdengar satu sama lain.
"Saat semua orang sibuk dengan dunianya masing-masing, tapi lo anggap gue ada, lo anggap gue ada di dunia lo. Yang nggak gue dapetin di manapun, lo ada buat gue, lo ngejawab semua pertanyaan yang mustahil ada jawabannya."
Sergio, dengan kali pertama keluar dari zona nyamannya. Mencoba egois dengan perasaannya, mencoba menutup mata, mencoba untuk mempertahankan egonya.
"Mungkin Bunda gue bilang bahwa semua perasaan Aziel valid, dia butuh dimengerti, dia butuh waktu untuk nerima semuanya. Tapi, gue juga ada, Ciy. Gue ada, dan gue selalu ada. Gue selalu ngertiin Aziel, gue selalu menganggap perlakuan Aziel ke gue itu wajar."
Ciya masih menatap sorot mata itu, sorot mata kesedihan, kekecewaan, kemalangan.
"Seolah Aziel opsi nomor satu, dan gue selalu yang kesekian."
Air mata yang tak pernah ia tumpahkan selama ini, lolos begitu saja, kecemburuan, cemburu karena dunia selalu memihak Aziel, dunia selalu berputar pada pemeran utama.
Ciya mengusap pipi yang dipenuhi air mata itu, dan mengelusnya sejenak. Senyuman terkesan dipaksakan merekah di bibirnya, "Gi, gimana, ya? Gimana gue bisa balas semua perasaan lo ini? Andai ada cara, gue akan lewatin itu. Gue akan selalu ada buat lo, tapi gimana caranya?"
Sayangnya Sanciya hanya satu, diantara dua hati yang membutuhkannya.
Andai Ciya bisa dibelah ya, biar ga saling mengadu lara😢😢😢
KAMU SEDANG MEMBACA
[i] reddest
Fanfictionjake, jiyoon, and leo local fanfiction. ーsaudara tiri yang masih sama-sama belum menerima kenyataan, dan tak mau memahami keadaan. sampai pada pertengkaran mereka tentang suatu hal, yang memaksa mereka belajar untuk mengalah. ➡️ reddest, 2O21. stor...