2. Perjalanan Malam

24 3 0
                                    

Bus dengan kapasitas tiga puluh kursi penumpang tersebut terus melaju dengan kecepatan yang stabil. Di luar langit sudah gelap pekat, rombongan baru saja melintasi tempat pengisian bahan bakar, itu artinya mereka mulai masuk ke daerah perbatasan sehingga kondisi jalanan lurus tanpa adanya lampu di tiap sisinya. Bagi kendaraan yang melintas hanya mengandalkan cahaya dari kendaraan lain.

"Gelap sekali. Kendaraan yang melintas pun tidak banyak." Degisugi bergumam, dia duduk di kursi paling depan, persis di belakang supir bus. Tubuhnya condong agar bisikannya bisa terdengar oleh pengemudi.

"Tidak banyak yang senang berkendara ke pedesaan atau sebaliknya pada malam hari. Lagi pula sebenarnya ini sudah tidak masuk musim liburan, kan?"

"Lantas siapa yang membuat kita semua dalam kondisi seperti ini?" Degisugi meninggikan sedikit nadanya, lalu terlihat dari spion tengah supir bus sedang mengumpat tanpa suara. "Tidak perlu mengumpat seperti itu." Lanjutnya.

Usia Degisugi sudah terbilang dewasa meski belum beruban, dirinya memakai baju olahraga seperti biasa saat mengajar di sekolah. Lawan bicaranya terlihat jauh lebih berumur dengan pakaian hangat dan rambut yang sudah didominasi dengan warna putih.

"Ban tidak bisa bicara, apa dia akan bilang 'hei supir bus, saya akan meledak besok, bersiaplah lebih pagi.' Begitu?"

"Dasar kau ini..." mereka terdiam, "Sebenarnya acara liburan saat ini seperti mendadak."

"Itu sebabnya kamu memakai pakaian kerja?"

"Tutup mulutmu."

"Ah, tipe suami takut istri ternyata." Pak supir tertawa cukup kencang hingga beberapa murid menegaskan pandangan ke depan.

"Dasar bodoh! Pelankan suaramu!" bentaknya gemas, "Harusnya besok aku sekeluarga mengadakan liburan, semacam berkemah seperti itu, meski hanya satu malam tapi jika dengan keluarga pasti seru, kan?"

"Sekarang saya paham kenapa istrimu marah besar."

"Benar, kan? Dasar anak itu!"

"Siapa?"

"Kau liat siswa dengan pakaian Adidas hitam?"

Supir bus melirik sosok tersebut dari kaca spion tengah mobil, "Yang duduk dengan siswi yang pakaiannya sama?" Tanyanya memastikan.

Degisugi mengangguk semangat, "Sejak masuk sekolah dia tidak pernah ikut acara wisata."

"Kenapa? Apa dia orang tidak punya."

"Jaga bicaramu!"

"Kau ini. Keluargamu tidak jadi berlibur bukan salahku, jadi hentikan bersikap pemarah seperti itu." Supir bus kembali mengumpat tidak jelas.

"Iya, baiklah. Aku minta maaf. Anak yang kau liat tadi tidak pernah ikut acara wisata karena selalu diajak oleh keluarganya untuk urusan perusahaan."

"Dia anak orang kaya?"

"Tujuan tempat wisata kita, itu milik keluarganya."

"Un Village?"

Degisugi kembali mengangguk semangat, "Ya... meskipun bukan anak kandung." Lanjutnya lebih pelan.

Semakin melaju, jalanan semakin sepi. Di kedua sisi jalan hanya pepohonan meyerupai hutan gelap dan jika melihat kedepan hanya terlihat jarak pandang dari lampu bus.

"Apa tadi kamu bilang, pemuda itu bukan anak kandung?"

"Kau! Pelankan suaramu dan fokus saja berkendara."

"Aaa... ayolah, kondisi jalan sepi, saya tidak diperbolehkan menyalakan musik, bisa-bisa saya ngantuk dan..."

"Sudah jangan diteruskan! Bicaramu sembarangan sekali."

"Kalau begitu ceritakan." Terlihat cengiran supir dari kaca spion.

"Baiklah. Jadi pemuda itu bernama Jore, ibu kandungnya sedang sekarat di rumah sakit. Sekarang dia tinggal bersama pasangan ibunya."

"Sesama wanita?" Degisuki mengangguk pelan, "kasihan, pasti hidupnya sulit." Lanjutnya dengan nada iba.

"Benar, seringnya murid di sekolah membicarakan mereka secara diam-diam."

Meski begitu tanpa disadari, mereka pun saat ini sedang bergosip seperti ibu-ibu!

"Yang disampingnya?"

"Aiko. Dia putri pemilih sekolah unggulan pusat kota. Saat ini kedua orangtua mereka sedang bergabung membangun properti hunian mewah dan gedung universitas."

"Jadi mereka dijadikan alat sebagai pernikahan dua kerajaan?"

"Jangan kejam begitu... tapi benar, Jore sepertinya tidak suka dengan rencana pernikahan itu, tapi Aiko terlihat benar-benar jatuh cinta ke Jore."

"Gadis itu pasti sudah berkorban banyak."

"Maksudnya?"

"Tidak mudah menyukai seseorang yang dibesarkan oleh sepasang lesbian. Mereka masih sangat muda namun harus dewasa sebelum waktunya, jika tidak kuat mental bisa-bisa melakukan hal yang aneh-aneh."

"Sudah hentikan, nanti terdengar sama yang lain."

"Bus ini penuh hanya dari kursi tengah hingga ke belakang. Telinga mereka tidak sebesar gajah, santai saja."

Degisugi menengok sekilas ke arah belakang, mereka melihat kebanyakan siswa tertidur dan yang lainnya sibuk dengan ponsel masing-masing, namun tak lama pandangannya bertemu dengan mata Jore. Hal itu membuat dirinya gugup dan secara otomatis tersenyum kaku sambil menunduk beberapa kali sebelum kembali memandang ke arah depan.

"Kamu tau kasus kematian Gim?"

"Apa katamu?!"

"Kamu terlalu pemarah, Saya hanya penasaran. Sembari menunggu ban bus ini diperbaiki, tidak sengaja melihat berita keputusan dari pihak kepolisian bahwa..."

"Ssstttt... cukup! Jangan dibahas!"

"Kenapa?"

"Kau!" Degisugi menggaruk kepala bagian belakang dengan gemas, "Perintah pihak sekolah yang turun langsung dari orangtua Aiko melarang siapa pun membahas kasus ini. Anak itu sudah meninggal dan kasusnya sudah selesai."

"Tapi..."

"Aaaa, diamlah, fokus menyetir. Apa masih jauh?"

Di depan, samar-samar terlihat jalan berbelok ke kanan, segaris lampu jalan yang menerangi sebuah jembatan, "Sebentar lagi sudah sampai di jembatan Nagaiki. Kasus kematian bocah itu terjadi di sana, bukan?"

"Hentikan, kau membuatku merinding." Tiba-tiba supir bus pun merasakan hal yang sama, sehingga dia enggan melanjutkan pembahasannya lagi.

Bus kini sedang melaju di atas jembatan dengan jumlah enam jalur tersebut, setidaknya butuh waktu sepuluh hingga lima belas menit untuk melintas di atasnya.

Kondisi jalan tidak segelap sebelumnya, namun sejauh mereka berkendara tidak ada kendaraan lain yang melintas.

"Pukul berapa sih sekarang?"

"Hampir delapan malam." Keduanya terdiam beberapa detik, "Di sini beda dengan di kota, lepas pukul tujuh malam jalanan sudah mulai sepi yang melintas." Lanjutnya dengan tangan fokus pada kemudi.

"Kita mampir ke kafe Kunang-Kunang?"

"Tentu, saya butuh segelas americano."

Ck!

Bus itu terus melaju menyebarangi jembatan yang katanya sering digunakan oleh orang yang bermasalah untuk mengakhiri hidupnya.

Jembatan Nagaiki - TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang