15. Perbincangan Mendalam

7 2 0
                                    


Hari sudah mulai siang. Mei baru saja selesai membersihkan dan merapikan rumahnya. Semuanya sudah dipersiapkan demi menyambut Benjiro dan Curt.

Meski aroma rumahnya sedikit tajam tercium pemutih pakaian, namun dia harap wanginya akan segera hilang melalui pintu dan semua jendela yang sengaja dibuka lebar.

Sekali lagi beliau memeriksa kamar mandi dan dapur, memastikan tidak ada sisa darah atau jejak apa pun. Dilihatnya juga daging yang berada dalam panci sup, dipastikan semuanya terlihat normal.

Tak lama terdengar ketukan pintu. Mei langsung berbalik, mengambil napas dalam lalu berjalan ke pintu utama.

"Maaf tapi saya terkejut kenapa pintu dan semua jendela terbuka?" tanya Benjiro canggung berdiri di ambang pintu yang terbuka bersama Curt.

"Ah, itu... saya sedang mengatur sirkulasi udara saja." Mereka berdua pun mengangguk paham, "Masuk?"

"Ah, tidak. Sebenarnya kami masih menunggu yang lain."

"Yang lain?" Mei memiringkan kepalanya sedikit.

"Bibi Mei..." Telapak tangan Benjiro menahan dada Curt, memotong omongannya.

"Sebelumnya kami meminta maaf karena tidak memberi tahu lebih awal, namun nanti akan ada yang mau disampaikan oleh keluarga Ishi dan Aiko."

Meski beliau sudah mengetahui semuanya, namun dirinya tetap berusaha terlihat bingung dan polos.

"Baiklah jika begitu, saya mau siapkan minuman hangat di dapur." Benjiro dan Curt mengangguk pelan. "Jika mereka datang, kalian bisa langsung masuk saja." Mereka kembali mengangguk.

Mei kembali ke dapur dan berpikir sejenak. Jika diperkirakan, tamu yang akan datang berjumlah tiga orang; Ishi, Aiko dan Ibunya.

Mei langsung memasak air lebih banyak dan menyiapkan lima cangkir teh. Tangannya kembali membuka tutup panci dan dilihatnya sayur dan daging yang bergemuruh liar.

Ketika teko air mendengung nyaring, dia langsung mematikan api dan menuangkan air panas ke dalam masing-masing cangkir teh yang berjejer rapi di atas nampan.

"Kami masuk ya!!"

Suara itu terdengar menggelegar, sampai sempat membuat Mei terperanjat. Mereka sudah datang.

Setelah mengatur napas beberapa kali dan merasa lebih tenang, Mei mengecilkan api di bawah panci sup lalu keluar menuju pintu tengah dengan nampan di tangan.

"Bibi Mei tidak perlu repot seperti ini."

"Benar, tidak perlu seperti ini."

Benjiro dan Curt kembali berdiri canggung seolah hendak membantu Mei menerima nampan.

"Tidak apa-apa, sekedar teh hangat saja."

Seketika ruangan yang tidak cukup besar itu pun menjadi penuh. Mei meletakkan nampan tersebut pada meja kayu berbentuk kotak di tengah ruangan.

Di sebelah kanan Mei ada Ishi dengan pakaian dengan sanggul rapi serba hitam, lalu dihadapannya ada Aiko dan Ibunya yang sedang menunduk dalam. Kemudian di samping kiri dekat dengan pintu perbatasan ruang tengah dan tangga depan pintu utama terdapat Benjiro dan Curt.

"Nonya Ishi, apa ini sebenarnya karena saya tidak masuk kerja beberapa hari terakhir? Jika benar, saya minta..."

"Mei..." tangan Ishi memegang tangan Mei yang lebih keriput, kepalanya menggeleng dan bibirnya tersenyum lemah. "Kami yang hendak meminta maaf, terutama saya."

"Maaf Nonya, tapi..."

"Saya dapat info keluargamu hancur setelah menjual perkebunan ke saya."

Seketika Mei melirik Benjiro dengan tatapan tajam. Menerima tatapan itu, dia pun jadi salah tingkah.

Jembatan Nagaiki - TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang