Ketika kedua detektif itu hilang dari pandangan. Mei langsung buru-buru membereskan kerjaannya. Melihat itu, Monica berdecak pinggang menaruh curiga.
"Kau mau ke mana?"
"Semua jeruk sudah selesai diperas, buah-buahan dan bahan minuman lain juga sudah selesai disiapkan. Saya izin pulang cepat ya."
"Hei, kau..."
"Maaf, tapi kepala saya benar-benar pusing. Sebentar lagi Aki kembali dari toilet jadi kau tidak jaga sendirian."
Ck! Monica merasa bingung dan lelah dengan sikap aneh Mei.
Tanda menunggu respon lebih lanjut dari Monica, beliau langsung berdiri dan hengkang dari tempatnya bekerja dan buru-buru pulang ke rumah.
"Hei. Kau. Mei...." Percuma saja dia berteriak, Mei sudah hilang dari pandangan.
***
Setibanya di rumah, Mei melepas sepatu dan mengamati suasana di dalam, terasa sepi seolah tidak ada siapa pun.
Perlahan dia melangkah ke kamar di lantai atas. Sesekali hanya terdengar bunyi decitan dari lantai rumah yang terbukat dari kayu tebal. Mei mengendap seolah pencuri di rumahnya sendiri.
"Jore." Ketika pintu kamar digeser, Mei melihat Jore yang masih meringkuk di atas kasur lipat. Sup sayur dan teh hangat yang disediakan pagi tadi terlihat tak disentuh, semuanya masih utuh namun dengan kondisi yang sudah dingin.
Badan Jore bergerak perlahan.
Mei menghampiri dan memeriksa badanya dengan seksama, "Badanmu panas sekali." Namun yang dilihat, badan Jore sangat mengigil seperti kedinginan. "Sepertinya ini akibat kamu tidak berpakaian semalam. Badanmu demam dan kamu tidak makan atau minum apa-apa... bagaimana ini." Mei panik karena dia baru sadar remaja yang berada di depannya adalah putra angkat pemilik UN Village, bos tempat dia bekerja.
Mei menggeser lemari yang berada di sisi kanan lalu mengeluarkan satu selimut tambahan, "Gunakan ini. Sebentar saya ambilkan sup dan teh hangat ya." Mei bangkit dengan memegang nampan berisi sup dan teh menuju dapur di lantai satu.
Dapur di rumah itu tidak luas, antara meja masak dan bagian lemari es di belakangnya hanya berjarak kurang lebih satu meter.
Mei tidak perlu waktu lama untuk menyiapkan sup sayur segar. Hampir selama hidupnya hanya itu yang dia masak. Tangannya membuka penanak nasi dan terlihat dalamnya masih utuh.
"Anak itu ternyata benar-benar tidak bangun dari pagi." Gumamnya pada diri sendiri.
Dengan cekatan dia menyiapkan nasi, teh hijau hangat dan sup sayur dalam satu nampan. Perlahan dia membawanya ke kamar lantai atas.
Sesampainya di sana, Jore masih terlihat meringkuk dan menggigil.
"Bangun, tubuhmu harus diisi makanan atau minuman hangat." Mei mengangkat dengan kuat badan Jore hingga posisi duduk. "Ayo, minum dulu." Lanjutnya dengan nada khawatir. "Lain kali jangan bertelanjang dimalam hari, menggunakan dua jaket saja kau masih bisa merasa dingin. Sini, biar saya bantu makan." Beliau mulai menyuapinya.
Setelah beberapa suapan dan menghabiskan setengah cangkir teh hangat, wajah Jore mulai terlihat lebih merah, tidak pucat seperti sebelumnya. Bibirnya pun sudah tidak biru dan bergetar lagi.
"Bibi..."
"Jangan banyak bicara dulu. Habiskan ini semua baru bisa bicara, ya?"
Jore menggeleng pelan sambil kembali tiduran, "Terima kasih, aku sudah merasa jauh lebih baik." Mei mengangguk lega sambil menyelimutinya.
Jore memejamkan matanya, mungkin dari semalam tidurnya tidak nyenyak karena kondisi badan dan perut lapar.
Mei kembali mengingat hal yang ingin dia sampaikan, namun melihat Jore yang tertidur pulas, beliau jadi tidak tega.
"Ada apa Bibi Mei?"
"Eh? Kamu tidak tidur?"
Jore menggeleng pelan sambil tersenyum lemah, "Aku hanya ingin merasakan panasnya mata ketika terpejam."
"Kamu ini anak yang aneh ya." Jore kembali terlihat tersenyum. "Begini... benar kau putra dari Ishi?" seketika senyum Jore memudar, "Tadi di tempat kerja ada dua detektif suruhan Ishi untuk menyelidiki hilangnya kamu, mereka kira kamu bunuh diri di jembatan itu."
"Bibi bilang aku ada di sini?"
Mei menggibaskan tangannya, "Tidak, tidak. Saya hanya terkejut ternyata kamu putra dari orang terpandang. Sebaiknya kamu segara kabari keluargamu dulu, sepertinya mereka sangat kahawatir."
"Biarkan seperti itu Bibi, syukurlah kalau mereka anggap aku sudah mati."
"Hei, kamu ini bicara apa!" Jore meringkuk ke sisi berlawanan, hingga Mei tidak bisa melihat wajahnya. "Baiklah, yang terpenting sekarang kamu istirahat yang cukup. Jika lapar dan haus, di dapur selalu ada nasi, sup sayur dan teh hangat."
"Sup Sayur?"
Mei mengangguk, "Maaf, Bibi bukan orang punya, jadi di sini yang tersedia hanya sup sayur." Jore kembali memutar badannya dan melihat Mei tersenyum kaku.
"Bukan begitu Bibi Mei, tapi..." secara tidak sengaja pandangan Jore berfokus pada jaket yang tergantung di salah satu sudut kamar, lalu ke Jajaran buku dan seterusnya menerawang ke tiap sudut ruangan. Kepalanya seolah kembali berputar hingga terasa pusing, pandangannya seperti efek mantion blur dalam gerak pelan.
"Hei, kamu tidak apa-apa?" namun suara Mei terdengar pelan dan lambat, ketika memejamkan mata terasa perih dan panas, lalu semuanya perlahan buyar dan menghilang, saat itu juga Jore pingsan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Jembatan Nagaiki - TAMAT
Mistério / SuspenseJore, remaja kelas 2 SMA unggulan pusat kota hilang dan diduga bunuh diri di Jembatan Nagaiki saat melakukan perjalanan wisata sekolah ke pedesaan. Beberapa orang sebelumnya juga sempat diduga melakukan bunuh diri di jembatan tersebut. Lalu apakah m...