5. Di Bawah Cahaya UFO

8 2 0
                                    

Motor dengan bak terbuka itu sudah cukup lama terparkir di bagian belakang tempat parkir karyawan gedung rumah sakit pusat kota. Langit mulai gelap, waktu tempuh dari desa ke kota kurang lebih dua jam perjalanan dengan kecepatan 40 hingga 45km/jam.

Mei berdiri sambil tangannya menekan-nekan layar ponsel dengan gelisah, langit sudah gelap tapi sang dokter tidak kunjung terlihat.

"Bibi Mei!" dari pintu kaca dekat motornya di parkir terlihat seorang dokter lengkap dengan jubah putihnya, "Maaf, tadi ada operasi mendadak. Sudah lama?" lanjutnya.

"Kamu durhaka sudah membuat orang tua menunggu."

"Aku pun sudah tua." Cengirnya.

"Jangan mulai adu tua!" Kim, dokter itu memang lebih muda enam tahun dari Mei. Dia pendatang dari negeri tetangga, jatuh cinta dengan wanita di negara ini hingga rela pindah dan memulai karir di sini. Beliau ini sudah sangat lama berlangganan sayuran dengan Mei, sejak dulu ketika yang mengantar masih suaminya.

"Jangan marah-marah, sini biar kubantu." Lesung pipi yang terlihat membuatnya semakin manis, badannya putih bersih dengan rambut pendek disisir rapi ke samping.

Setelah Kim menekan tombol yang membuat pintu belakang mobil yang ada di seberang motor bak milik Mei terbuka, beliau langsung menggulung bagian lengan jubah putih dan memangkut kotak styrofoam tersebut ke bagasi mobilnya.

Dari seberang, Mei bisa melihat satu kotak styrofoam dengan segel lakban merah membentuk + di bagasi mobil Kim, melihat itu perasaannya jadi tidak enak.

"Sayuran minggu lalu tidak habis? Apa usaha salad istrimu mengalami kendala?" Tanya Mei penasaran.

Kim tersenyum penuh arti sambil memindahkan kotak terakhir. Ketika hendak kembali ke arah Mei, tangannya memegang kotak dengan segel merah tersebut, kemudian meletakkannya di atas bak motor Mei.

"Apa itu?"

"Sudah, pegang dulu ini." Kim menyodorkan amplop cokleat berisi uang untuk biaya empat kotak sayur. Mei langsung memasukkan amplop tersebut ke kantong bagian dalam jaket. "Tidak mau menghitungnya terlebih dulu?"

"Saya percaya dengan istrimu." Mendengar itu Kim tersenyum senang, "Lalu ini apa?" Mei semakin penasaran dengan kotak itu.

"Bibi Mei pasti tahu isinya apa, kan? Aku mohon, sekali ini saja bantu aku, kondisinya semakin gawat."

Mei menggeleng dengan takut, "Saya tidak bisa melakukan ini, sekarang turunkan benda itu. Sudah semakin malam, Saya harus segera pulang."

Kim memegang tangan Mei yang hendak meraih kotak bersegel merah tersebut, "Sekali ini saja, aku mohon, Bi. Orang ini sangat penting."

"Dan orang lain tidak?!"

"Bukan seperti itu." Mereka terdiam beberapa detik, "Setidaknya bawa saja. Itu sudah membuatku tenang. Kumohon..."

"Baiklah saya akan bawa kotak ini, menyimpannya di lemari dapur hingga terlupakan karena tidak pernah disentuh, bahkan dilihat sekali pun."

"Jangan seperti itu..." mata Mei sedikit melotot, "Baiklah, baiklah. Aku cukup depresi dengan pasien ini. Akan tidak bisa liburan musim panas dengan istri dan kedua anakku jika kondisinya terus seperti ini."

"Tidak adil membawa istri dan anakmu dalam hal ini."

"Mereka menganggapmu nenek sendiri."

"Tidak usah berlebihan. Kami baru bertemu sekali, tidak lebih dari satu jam di parkiran sini ketika aku mengantar sayur." Kim cengengesan sambil menggaruk bagian belakang kepala, "Saya pergi dulu." Mei memakai jaket lapis kedua dan helm, lalu naik ke atas motor dan menyalakan mesinnya.

Jembatan Nagaiki - TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang