Degisugi mengucek matanya beberapa kali, dirinya baru saja dibangunkan oleh salah satu murid.
"Cepat bangun, Pak. Mereka menunggu di atas." Beliau terlihat masih mengumpulkan kesadarannya, "Aku tidak mau tahu, pokoknya sudah menyampaikan amanat." Murid itu pergi keluar tenda penginapan dan menghilang dari pandangan.
Sejak pagi buta Degisugi dan beberapa orang lain memang belum sempat tidur dengan benar.
Beliau keluar dari tenda dan langit seolah selalu redup di wilayah sana. Mereka tidur di penginapan bergaya kemping dengan alas kayu yang berlokasi di belakang tempat wisata Un Village.
Totalnya kurang lebih ada dua puluh tenda pribadi berkapasitas 2-4 orang yang berjajar di tepi sungai dengan aliran air sedang. Sisi luar halaman tenda juga terbuat dari kayu yang ditopang di atas aliran sungai. Di seberangnya terlihat tanah tinggi yang di atasnya terdapat hutan pinus. pada masing-masing halaman tenda terdapat tong kecil terbuat dari aluminium tempat api unggun.
Kepala Degisugi mendongan ke arah kafe terbuka, dilihatnya ada dua pria dewasa sedang menyesap minuman hangat sambil menikmati pemandangan hutan pinus di hadapan mereka dan aliran sungai di bawahnya.
"Ahhh... apakah belum selesai juga." Keluhnya sambil mengacak-acak rambut bagian belakang.
Kakinya melangkah ke jalan setapak sekitar 2-3 menit untuk menuju kafe yang berada di atas bukti kecil, seperti rumah pohon.
"Selamat siang?" sapa kaku Degisugi saat tiba di sana. Kedua pria dengan luaran kemeja flanel berwarna hijau tua dan satunya jaket hitam berbalik hampir bersamaan.
"Sore." Pria dengan kemeja flanel mengoreksi dengan senyum kecil, Degisugi celingukan ke atas memastikan langit betul sudah sore. Mereka berdua berdiri sambil membawa minuman masing-masing, "Silakan pesan minum dulu, kami tunggu di meja sana." Lanjutnya sambil berlalu.
Degisugi langsung menghampiri meja kasir dan memesan cokelat panas, lalu menunggu sebentar di meja 'pick up' sembari curi-curi pandang ke arah kedua pria yang sudah duduk di kursi bawah pohon besar dengan meja dan kursi berukuran 4 orang yang saling berhadapan.
Setelah pesanannya sudah selesai dibuat, dia pun pergi menghampiri dan duduk berhadapan dengan mereka.
"Maafkan kami sudah mengganggu istirahatmu," Degisugi mengangguk ragu, "Perkenalkan saya Benjiro, dan ini rekan saya, Curt." Tangannya sopan mengarah ke pria berkemeja flanel di sampingnya.
"Apa ini ada hubungannya dengan Jore?" mereka mengangguk hampir bersamaan, "Ah... sebenarnya tadi pagi buta aku sudah memberikan keterangan kepada pihak kepolisian, ada yang masih kurang jelas?" lanjutnya menyelidik.
"Sepertinya pihak kepolisian hampir 100% yakin bahwa Jore bunuh diri di jembatan tersebut." Curt memulai percakapan.
"Lalu? Kami pun berfikir seperti itu..."
"Dan sepertinya Ibu dari anak itu masih tidak percaya terkait hal tersebut."
"Ishi?"
Mereka mengangguk hampir bersamaan, "Kami ditugaskan oleh Ishi untuk menyelidiki kemungkinan lain atas kejadian semalam." Ucap Curt setelah menyesap kopinya.
"Kemungkinan lain?"
"Ada beberapa kemungkinan, antara Jore benar meninggal bunuh diri di sana, dibunuh, diculik atau keduanya."
"Jadi kalian detektif? Aku tidak mengerti, kenapa jadi repot seperti ini."
Benjiro membenarkan posisi duduknya, "Kau tidak perlu mengerti, ini tugas kami. Sekarang ceritakan saja kronologinya." Suaranya terdengar serak dan berat, mungkin karena usia beliau jauh lebih renta dari rekannya yang terlihat segar dengan badan kekar di usia akhir tiga puluh. Benjiro terlihat kurus di usia awal empat puluh tahunan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jembatan Nagaiki - TAMAT
Mystery / ThrillerJore, remaja kelas 2 SMA unggulan pusat kota hilang dan diduga bunuh diri di Jembatan Nagaiki saat melakukan perjalanan wisata sekolah ke pedesaan. Beberapa orang sebelumnya juga sempat diduga melakukan bunuh diri di jembatan tersebut. Lalu apakah m...