13. Mengantar Pesanan

7 2 0
                                    


Langit cukup terang siang itu, namun angin masih sering berhembus kencang. Mei sudah berada di ujung pintu keluar tempat pengisian bahan bakar, berdiri di samping kendaraannya dengan cukup gugup.

Dari arah kanan terlihat mobil yang tidak asing lagi baginya. Mobil itu mendekat dan perlahan berhenti dengan posisi pintu bagasi belakang sejajar dengan Mei.

Dokter Kim keluar dari pintu kemudi dengan terburu-buru menghampiri Mei, "Apa kamu sudah hilang akal melakukan ini di tempat umum?" giginya terkatup menahan amarah.

"Justru karena ditempat umum jadi tidak ada yang curiga, bukan? Mereka yang melintas hanya akan menilai kita sedang bertransaksi biasa saja."

"Benar juga." Gumamnya pelan.

"Sekarang buka bagasimu dan keluarkan uangnya lalu pindahkan ke bagian sini." Mei menepuk-nepuk bagian belakang kendarannya.

Dengan cepat, Kim membuka bagasi dan melakukan apa yang diperintahkan Mei.

"Kamu tahu. Saya... saya sangat berterima kasih kepadamu. Ini, ini benar-benar berharga."

"Setelah selesai, kamu bisa angkut pesananmu dan sampah dari pesananmu."

"Sampah? Kamu memutila..."

"Kamu pikir ada cara lain mengeluarkan organ dalam dari jasad seseorang?"

"Bukan begitu, maksudku..."

"Mau tidak?"

"Tapi dimana saya harus membuangnya?"

"Entahlah. Hutan Aokigahara?"

"Hutan Aokigahara?"

Mei memeriksa isi dalam styrofoam tersebut dan dilihatnya penuh dengan uang. Melihat Dokter yang masih mematung karena ucapannya, dia langsung memindahkan dua kotak dari kendaraannya ke dalam bagasi mobil.

"Semuanya sudah selesai, saya pamit dulu."

"Mei, kamu tidak mau minum kopi terlebih dulu?"

"Kopi?" Mei termenung seketika, namun segera kembali tersadar dan memutar kunci kendaraan. "Kamu juga harus cepat pulang, pesananmu tidak punya waktu banyak." Motor Mei menderu dan berlalu dengan cukup cepat.

"Sial!"

Dokter Kim menutup bagasi dengan kasar lalu berlari menuju pintu kemudi. Tak lama kemudian mesin mobil terdengar, siang menjelang sore itu pun cerah seperti menemukan kebahagiaannya atas jalannya masing-masing.

***

Sepanjang perjalanan kata kopi masih menyelimuti benak Mei. Dulu suaminya selalu memuji kopi buatannya. Hidup mereka sederhana namun terasa penuh dengan kebahagiaan.

Mereka sama-sama merintis hidup dari nol, dari rumah yang disewa bersama. Perlahan mereka mengumpulkan uang hingga bisa membeli perkebunan sayur yang cukup luas.

Seketika Mei ingat dengan kenangan itu. Di mana mereka merasa sudah nyaman dan aman dengan kondisi keuangan hingga baru bisa fokus untuk merencanakan kehamilan. Kerutan di samping bibir Mei terlihat ketika tersenyum simpul.

Kendaraannya sebentar lagi memasukin jembatan Nagaiki. Perasaan Mei sudah lebih tenang ketika melewatinya. Setidaknya dia merasa perbuatan terhadap putrinya sudah terbayar dan suaminya... dia memutuskan untuk memesan kopi di kafe Kunang-Kunang untuk menebus kenangan itu.

Tangan Mei sedikit mengencangkan gas. Kendaraan itu semakin cepat melaju meninggalkan jembatan Nagaiki, melewati perempatan perbatasan dan berhenti di kafe Kunang-Kunang.

Mei mematikan mesin kendaraan dan melepas helm. Ketika menengok ke halaman kafe dia terkejut karena dari dalam mobil di hadapannya keluar dua orang yang pernah bertemu sebelumnya. Benjiro dan Curt.

"Mei?"

"Oh, maaf saya hanya..."

"Tunggu, tunggu dulu." Benjiro menahan kendaraan itu dengan kedua tangannya, "Kamu tidak apa-apa?" lanjutnya dengan nada ragu. Curt hanya bisa diam sembari memperhatikan.

"Tadinya saya mau beli kopi tapi sepertinya tidak hari ini."

"Ah, begitu. Oh, perkenalkan ini rekan saya Curt. Tempo hari belum sempat berkenalan, kan?"

"Mei."

Mereka bersalaman sekilas.

"Kamu, dari mana?" Mata Benjiro dan Curt melirik satu kotak styrofoam di bagian belakang kendaraan Mei.

"Ah, ini... ada pelanggan yang mengembalikan sayuran. Katanya sudah tidak segar lagi."

"Jadi kamu harus ke kota untuk menjemputnya ya." Mei mengangguk pelan, "Bukannya sayuran dari perkebunan adikmu selalu segar?"

"Entahlah, mungkin karena suhu ruang atau lainnya jadi lebih cepat membusuk."

"Bibi Mei mengantar sayuran ke kota juga?" Curt mencoba masuk dalam obrolan.

"Benar, saat libur kerja biasa saya mengantar sayuran ke kota."

"Hebat sekali..."

Mei yang dipuji, namun Benjiro yang tersenyum senang.

Hari sudah mulai gelap, angin kencang dari arah laut membawa udara dingin ke mereka. Beberapa pengunjung kafe yang baru datang dan keluar pun terlihat memakai jaket hangat.

"Saya harus cepat pulang."

Benjiro memegang tangan Mei dengan sigap, "Maafkan saya," seketika melepaskannya, "tapi... ini... berkaitan dengan kebenaran." Benjiro mendekat, Curt pun ikut mendekat, mereka membuat lingkaran kecil dengan Mei yang masih duduk di atas kendaraannya.

"Kamu ini bicara apa?"

"Saya belum bisa bicara banyak. Setelah ini kami ke rumahmu? Bagaimana?"

"Oh... hmm... itu... Sebenarnya saya sedikit kurang enak badan. Bagaimana kalau besok?" Mei menutup matanya dengan kasar, menunjukkan keriput di sekitarnya. Hari itu memang cukup melelahkan bagi Mei.

"Baiklah, besok."

Mei mengangguk pamit kepada Benjiro serta Curt yang berada di belakangnya.

Kendaraan Mei kembali menderu dan berlalu dari pandangan mereka.

Di belakangnya Curt berdehem, "Ehem, Paman jatuh hati pada Bibi Mei?"

Mendengar itu Benjiro terkejut dan langsung membalikan badan, "Tutup mulutmu dan segera hubungi Aiko. Kabari kalau kita sudah sampai di sini."

Curt hanya tersenyum senang melihat rekannya kelabakan, "Siap, Paman. Tapi tidak perlu salah tingkah seperti itu dong."

"Saya bilang hentikan! Kau ini sudah dewasa."

Curt tertawa lepas untuk pertama kalinya, dirinya merasa puas karena telah membuat Benjiro salah tingkah.

Sehari setelah mendengar cerita dari Hiroshi dan melihat bukti dari teman Curt. Mereka langsung menghubungi Aiko dan memintanya datang ke kafe Kunang-Kunang dengan dalih memiliki info terbaru tentang kejadian yang menimpa Jore.

Benjiro dan Curt terpaksa berbohong karena jika menyampaikan yang sebenarnya, kemungkinan besar Aiko akan ikut rombongan kembali ke kota dan mereka tidak akan pernah tahu cerita utuhnya.

Jembatan Nagaiki - TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang