Mei mengangkat dua kotak styrofoam terakhir ke atas bagian belakang motor dengan model bak terbuka yang terparkir di halam rumah. Ukurannya tidak terlalu besar, hanya sekitar enam kotak styrofoam ukuran sedang.
Langit mulai meredup, udara awal musim semi di kaki bukit cukup membuat bergidik sedikit.
Mei berusia akhir empat puluh tahun, rambutnya sudah di dominasi uban, namun badannya terlihat kuat memikul 4 kotak sedang berisi sayuran secara bergantian.
Kotak terakhir sudah berhasil diletakkan, badannya cukup merasa lelah meski tidak ada keringat yang keluar.
Kondisi jalan di wilayah tersebut seperti cabang tulang daun, bercabang dan sedikit menanjak. Setiap belokan hanya berisi satu hingga dua rumah saja, jumlah penduduknya pun tidak lebih dari dua puluh lima warga.
Desa tak bernama ini, dibagun guna dijadian hunian bagi petani yang menjadi korban gusur karena lahan perkebunan milik mereka telah dijual ke Ishi untuk dijadikan tempat wisata.
Awalnya warga merasa senang, karena selain mendapat uang hasil jual perkebunan, mereka juga dijanjikan akan bekerja di tempat wisata tersebut.
setelah hampir enam belas bulan berlalu, mereka baru sadar bahwa penghasilan dan pengalaman bekerja di lahan milik sendiri jauh terasa bernilai. Beberapa masih memiliki tabungan, Sebagian lain hanya hidup untuk makan karena uang hasil jual perkebunan sudah dihamburkan di awal. Salah satunya Mei.
"Kakak!" dari arah bawah, Mei melihat samar sosok yang dikenalnya. Sosok dewasa itu tertatih menaiki jalan menanjak menghampiri.
"Hana?"
"Iya ini aku, kenapa teleponku tidak dijawab?" suaranya sedikit terengah setelah berdekatan dengan Mei.
Mereka hanya terjeda tiga tahun. Namun uban yang dimiliki Hana terlihat jauh lebih sedikit.
"Kau kan tahu aku tidak suka dengan benda itu. Aku simpan di meja kamar."
"Setidaknya bawa di saat penting." Mei yang sedang membereskan kotak di atas bak motor melirik sekilas, "Kakak masih mengantar sayur ke kota?" Hana berusaha mengalihkan perhatian.
"Setidaknya aku punya kegiatan, bukan?"
"Jangan seperti itu, Kakak bisa gunakan hari libur dengan istirahat, tidur siang sambil lihat televisi..." Mei menghentikan gerakkan tangannya yang sedang menutupi keempat kotak tersebut dengan terpal. "Maafkan aku, aku hanya khawatir dengan kondisi kakak." Nada bicaranya sangat pelan dan penuh sesal.
"Pulanglah, aku tidak apa-apa."
"Kakak..." Hana menangis begitu saja, "Maafkan aku..." lanjutnya dengan isakan sambil duduk di kursi kayu samping pintu utama rumah.
Rumah Mei tidak besar, dan tidak kecil. Di dalamnya terdapat dua tempat tidur masing-masing di lantai satu dan dua, serta ruang keluarga dan dapur yang saling berdekatan. Seluruh lantai, tangga, dan kerangka setiap pintu geser terbuat dari kayu kokoh.
Perlahan Mei duduk di samping Hana. Tangannya mengusap punggungnya dengan lembut, "Dari kecil kau selalu cepat nangis, seperti hobi saja."
Hana menengadah, tangisannya perlahan menghilang.
"Benarkah?"
Mei mengangguk dengan senyum lemah, "Dari baru dilahirkan tangisanmu sangat nyaring, sampai membuat tetangga berdatangan dan membuatku kenyang dengan kue kering, buah, serta makanan lain yang dibawakan oleh mereka."
Mereka berdua tersenyum bersama.
"Syukurlah tangisanku membuat kakak kenyang."
Senyuman Mei perlahan memudar, "Membuatku kenyang hanya dalam kurang dari satu minggu."
"Maksud Kakak?"
"Aku tidak mau bahas ini, aku harus pergi..."
"Kumohon." Suara Hana memelas, "Kita sudah lama sekali tidak berbincang seperti ini. Aku ingin dengar ceritanya. Apa Kakak menderita dengan kehadiranku?"
"Aku waktu itu berumur tiga tahun, sudah cukup besar jika dibandingan dirimu yang masih merah. Ketika semua makanan yang dibawakan tetangga habis, aku baru sadar kalau semua perhatian tertuju padamu. Seolah aku harus dewasa saat itu juga."
"Kakak, aku..."
"Tidak, bukan. Itu bukan salahmu, sungguh. Sejujurnya kamu lebih cantik dariku, lebih putih dengan bibir tipis dan mata oval sempurna, sangat menggemaskan, aku pun tidak pernah bosan memandangi dirimu, kau tau itu?" mereka tersenyum kaku, "Orangtua kita ingin yang terbaik untukmu. Mereka memberikanmu susu formula yang bagus, tentu dengan harga yang mahal, tanpa mereka sadar bahwa saat itu mereka hanya petani di kebun milik orang lain."
Bibir Mei sedikit bergetar seolah menahan tangis dan rasa marah, "Sampai akhirnya saya, Mama, dan Papa hanya makan nasi dan garam, itu semua demi memberimu nutrisi, vitamin dan sejenisnya dengan benar. Saya belum genap empat tahun, tapi hampir setiap hari makan nasi-garam dan sesekali tumis sayur jika ada tetangga atau Papa dapat sisa hasil panen. Sejujurnya saya merasa bosan denganmu."
"Kakak, aku tidak pernah tahu cerita ini." Wajah Hana kembali sayu, penuh penyesalan.
"Orangtua kita dulu seolah melarang saya mengeluh sehingga suka tidak suka saya harus telan semuanya. Lambat laun di musim dingin saya butuh makanan hangat, mereka tentu hanya ada nasi dan garam, sedangkan kamu disediakan bubur sayur kemasan dengan banyak kandungan nutrisi.
Di situ saya merebus air. Ketika mulai mendidih, saya masukkan garam sedikit-sedikit sambil dirasakan agar tidak terlalu asin. Bahagia sekali ketika menemukan rasa yang pas. saya menghidangkannya ke ruang tamu. Orangtua kita tersenyum ketika mencicipinya, itu kali pertama saya merasa dipandang kembali dengan penuh kasih sayang.
Dari situ Saya kembali merasa bosan dengan memasak garam, hingga akhirnya ada tetangga yang memberikan sayur sisa panen. Saya potong wortel, kubis dan beberapa sayur lain lalu memasukannya ke dalam air mendidih dengan garam, rasanya? Sangat nikmat!"
"Jadi itu sebabnya Kakak selalu membuat sup sayur tanpa daging?"
Mei mengangguk, "Sangat sulit mendapat daging atau telur sekalipun. Mereka selalu membahas masa depanmu 'pokoknya Hana harus jadi dokter'." mereka tersenyum canggung.
"Kakak aku sangat minta maaf."
"Sudahlah, saya tidak kurus-kurus amat." Langit semakin jingga, "Yang penting semua pengorbanan kami dulu tidak sia-sia, kamu sudah sukses sebagai dokter dengan keluarga yang harmois."
"Kita tinggal berdua. Aku tidak ada saudara lagi, jika ada apa-apa kabari aku, oke?"
"Jangan berlebihan seperti itu."
"Kakak sudah tua, hidup sendirian dengan kondisi seperti ini..." Hana menghilangkan suara terakhir dengan pelan, "Pokoknya hubungi aku." Lanjutnya sedikit histeris.
"Baiklah, baiklah. Sekarang saya pergi dulu."
"Tambah jaketmu dan bawa ponselnya."
"Aku sudah memakai baju hangat dan jaket."
"Aku mohon, Kak. Dengarkan aku, ketika pulang nanti pasti sudah larut dan udara semakin terasa dingin untuk usia kita."
"Baiklah, aku ambil jaket tambahan dulu."
"Ponsel juga!"
"Iya!"
Mei sudah hilang dari pandangan pintu depan, beberapa menit kemudian beliau keluar dengan membawa jaket hijau botol dan ponsel di tangan kirinya.
"Bagini?" Hana mengangguk senang. "Dasar kamu ini, hati-hati pulangnya. Mana kendaraanmu?"
"Aku parkir di bawah."
"Baiklah, saya pergi dulu."
"Hati-hati."
Mei menyalakan mesin motor, memarkirnya hingga posisi depan tepat menuju jalan keluar yang ukurannya cukup untuk satu mobil.
Dirinya merasa lebih hangat dengan dua jaket dan helm yang menutupi kepalanya dari angin.
Dulunya tugas mengantar sayur ke kota adalah milik suaminya. Sejak suaminya meninggal karena bunuh diri di jembatan Nagaiki, kini dia harus melakukan semuanya sendiri.

KAMU SEDANG MEMBACA
Jembatan Nagaiki - TAMAT
Mystery / ThrillerJore, remaja kelas 2 SMA unggulan pusat kota hilang dan diduga bunuh diri di Jembatan Nagaiki saat melakukan perjalanan wisata sekolah ke pedesaan. Beberapa orang sebelumnya juga sempat diduga melakukan bunuh diri di jembatan tersebut. Lalu apakah m...