7

1K 90 1
                                    

Jam makan siang di kantin kantor terlihat penuh. Viona sebagai karyawan baru memilih untuk makan di taman kecil yang tersedia di samping gedung. Ada beberapa orang juga di sana.

Gio hendak keluar mencari makan siang, namun ponselnya tiba-tiba bergetar.

"Halo Der."

"Papa..Papa udah gak ada Mas." Suara Derry bergetar, Gio tak terlalu mendengar.

"Kamu bilang apa Der? Mas gak dengar."

"Papa.. Papa—" Derry tak menyelesaikan ucapannya.

"Der? Derry? Papa kenapa?"

"Der??" 

Gio memutuskan panggilan dan langsung menuju rumah sakit. Mobil melaju kencang, ia bahkan hampir menabrak orang lain di persimpangan jalan.

Tujuan utamanya saat ini adalah sekolah Delia. Dia tak bisa meninggalkan adik bungsunya itu.

Gio langsung menuju ruang kelas Delia yang berada di lantai 2. Setelahnya mereka langsung menuju rumah sakit bersama.

Gio melangkah dengan cepat. Delia harus berlari mengimbangi langkah Gio. Mereka sampai di ruang rawat Arfian.

"Paa."

Gio membuka pintu. Kakinya terpaku di tempat. Delia menyusul setelahnya. Gadis cilik itu langsung masuk dan mendekati Olivia.

"Maa."

Oliv masih memeluk tubuh Arfian yang sudah tertutup kain.

Gio mendekati tempat tidur tersebut. Derry terduduk di sofa menyembunyikan kepalanya di antara lututnya. Sementara Gerry hanya duduk diam di sudut ruangan. Meskipun ia tak menangis, tapi tatapan matanya kosong.

"Papaa.."

Delia menangis histeris sampai ia terduduk di lantai. Setetes air matanya Gio jatuh saat melihat adik-adiknya yang menangis. Ia menyembunyikan kesedihannya sendiri, Gio mendekati Gerry.

"Ger."

Gerry tak bereaksi apapun. Gerry yang selalu banyak tingkah, yang selalu jahil kini hanya diam menatap tubuh Arfian.

"Siapa yang melakukan ini ke Papa, Mas?" Tanya Gerry pelan.

"Mas juga gak tau Ger."

"Aku mau Mas temukan pelakunya."

Gerry bangkit dan keluar ruangan meninggalkan Gio yang menatapnya sedih.

Kini tugas Gio untuk menenangkan Olivia.

"Maa."

Gio menarik pundak Oliv menjauh dari tubuh Arfian. Ia memeluk Oliv yang masih menangis tanpa suara. Gio juga merangkul adik bungsunya yang terduduk di lantai.

Gio tak bisa menangis. Jika dia menangis, siapa yang akan menghapus air mata adik-adiknya? Siapa yang akan menenangkan Mamanya?

Ia hanya menatap kosong kolong dipan tempat Arfian berbaring.

'Aku janji akan jaga Mama dan adik-adik, Pa.'

Berita duka tentang Arfian dengan cepat menyebar di kalangan pebisnis. Seluruh kolega yang bekerjasama dengan mereka turut menyampaikan belasungkawa.

Oliv, Delia dan si kembar ada di sana. Gio hanya menatap pemakaman itu dari kejauhan. Kakinya melangkah meninggalkan area pemakaman. Ada yang harus ia lakukan.

Gio melajukan mobilnya menuju rumah sakit. Ia harus memeriksa kondisi tangannya yang sedang dipasangi gips.

Ia menemui dokter orthopedi yang menangani tangannya waktu itu. Rumah sakit ini berbeda dengan rumah sakit tempat Arfian di rawat.

Tok tok..

Gio masuk ke ruangan dokter.

"Pak." Si dokter tersenyum ramah.

"Gips–nya terkena air." Ucap Gio.

"Baik Pak. Mari ikut saya."

Mereka berjalan ke ruangan khusus orthopedi. Saat menuju ruangan tersebut, seseorang menghentikan langkahnya.

"Terimakasih."

Seorang wanita memakai pakaian pasien membungkuk sejenak di hadapannya.

"Terimakasih karena sudah menyelamatkan ku."

"Aku menyelamatkan mu?" Tanya Gio sanksi.

Wanita cantik itu mengangguk dan tersenyum.

Matanya bertemu tatap sesaat. Gio melebarkan matanya terkejut karena ia tak mengenali wanita ini. Wanita yang ia tolong di gang. Saat itu kondisinya sangat buruk.

"Tidak masalah." Gio tersenyum tipis.

"Nama ku Arabella. Panggil saja Bella."

Gio mengangguk kecil. Tatapan Bella tertuju ke arah tangan Gio.

"Apa luka mu parah?" Tanya Bella khawatir.

"Oh tidak parah. Hanya terluka kecil."

"Tapi yang ku lihat tidak seperti itu."

"Tidak apa-apa. Bagaimana kabarmu? Kau sudah baikan?"

"Sudah lebih baik."

"Bagus lah." Gio tersenyum tipis. Ia menatap dokter orthopedi yang masih menunggunya tak jauh dari tempat ia berdiri.

"Aku harus pergi sekarang. Permisi."

Gio membungkuk singkat dan melangkahkan kakinya mengikuti dokter tersebut.

Mereka sampai di ruang orthopedi. Dokter tersebut langsung mengganti gips Gio yang basah terkena air.

"Saya mendengar kabar bahwa Tuan Arfian—" dokter itu tak melanjutkan ucapannya karena di potong Gio

"Benar."

"Saya turut berdukacita."

"Terimakasih."

Setelahnya mereka tak berbicara apapun. Gio memilih diam saja sampai gips–nya selesai dipasang.

Saat ini Gio sedang berada di basement parkir lantai 3. Tempat ini masih sama seperti terakhir kali ia datangi kemarin.

Ia menatap sekeliling dengan cermat dan hati-hati. Menurut hasil autopsi, Arfian mengkonsumsi makanan sebelum ia jatuh pingsan. Ia keracunan yang membuatnya sempat koma sehari.

Gio memeriksa CCTV yang tersembunyi di ruangan tersebut. Ia melihat Amelia memberi Arfian makanan. Setelah memakan makanan tersebut, Arfian langsung menuju kamar mandi untuk memuntahkannya. Namun sepertinya ia sudah sempat menelan makanan tersebut.

Ia merasa marah pada Amelia yang melakukan hal keji itu pada Arfian. Gio tak mengetahui apa maksud dan tujuan Amelia melakukan semua ini. Namun yang pasti, saat ini Amelia menjadi buronan atas kematian Arfian.

Gio juga merasa marah pada dirinya sendiri. Kenapa ia tak cepat tanggap mencurigai Amelia pada saat itu. Kemarahan dalam dirinya tak bisa ia lampiaskan saat ini.

Gio mengirim gambar Amelia dan menelepon orang tersebut.

"Cari dia sampai dapat. Aku tidak peduli dalam keadaan hidup atau mati." Ucapnya pada orang itu.

Tangan kirinya terkepal kuat.

"Aku akan mengejar mu. Aku akan menemukan mu sekalipun kau bersembunyi di dasar laut. Kau akan menerima balasannya, Amelia. Kau akan menerima akibat dari perbuatan mu." Ucap Gio pada dirinya sendiri.

✨✨

Hope you enjoy this story.

Tbc..

The Archer [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang