"Kau benar-benar sudah gila."
Jack mengomel tak henti saat Gio menceritakan bahwa ia bertemu Arabella. Menurut Jack, wanita itu tidak seharusnya ikut terlibat dalam rencana iblis yang ada di otak Gio saat ini. Itu terlalu berlebihan.
"Tenanglah Jack."
"Aku mengenal mu sudah cukup lama, sobat. Dan sepengetahuan ku, kau bukanlah orang yang mudah menyakiti wanita."
"Aku tidak menyakitinya, Jack."
"Kau menciumnya."
"So?"
"Apa kau tak tau? Bagi sebagian wanita, ciuman itu merupakan hal yang hanya dilakukan dengan orang yang dicintai."
"Jika begitu, maka dia sudah jatuh cinta padaku."
"Percaya diri sekali kau ini "
"Jika dia tak memiliki rasa padaku, sudah dipastikan satu tangannya akan mendarat keras di pipiku. Tapi yang terjadi sebaliknya."
Jack menghela nafas berat. Ia benar-benar tak mengerti dengan Gio. Temannya kini sudah benar-benar berubah.
"Perlu kau ingat, jangan sampai kau jatuh cinta padanya."
"Tidak akan terjadi."
"Kau bukan Tuhan. Jadi jangan sok tau."
"Jangan bawa-bawa Tuhan, Jack."
Jack berdecak kesal saat ponselnya berdering. Selagi Jack berbicara di telepon, Gio menyulut sebatang rokok dan menghisapnya.
✨
Setelah sebelumnya Gio dan Bella di kafe, pria itu meminta nomor ponsel Bella. Kini Gio dan Bella sedang keluar malam bersama. Mereka sedang berada di sebuah club karena Bella tiba-tiba ingin ditemani minum.
Wajahnya yang tampan, menjadikan Gio objek pandang yang sangat menyenangkan bagi wanita-wanita itu.
"Kau sering pergi ke tempat seperti ini?" Tanya Gio.
Mereka duduk di sofa salah satu sudut ruangan ini. Seorang waitress menyuguhkan minuman. Gio sempat melirik sesaat botol kaca yang diletakkan di atas meja.
"Tidak juga. Hanya beberapa kali."
"Benarkah?"
Bella mengangguk kecil. Irama musik menggema di dalam ruangan. Gio menyandarkan punggungnya, jemarinya mengetuk sesuai irama yang semakin memekakkan telinga.
Ia menuang minuman untuk Bella dan juga untuk dirinya sendiri.
"Cheers." Gio mengangkat gelasnya. Bella tersenyum dan juga mengangkat gelasnya.
Gio melihat Bella menyesap minumannya. Namun dirinya sendiri tidak menelan wine di gelasnya saat ini. Minuman berwarna kekuningan itu hanya menyentuh bibirnya saja.
"Kenapa kau tak keluar dengan teman-teman mu?" Tanya Gio.
"Mereka sedang sibuk."
Bella kembali menuang minumannya dan menenggak habis dalam gelasnya. Gio memperhatikan Bella yang lagi-lagi menuang minumannya. Pada gelas keempat, Gio menahan tangan Bella.
"Kau mabuk?"
Wanita itu tiba-tiba menangis. Ia menggenggam erat kemeja Gio dan menangis di tengah berisiknya musik di ruangan itu.
Gio meletakkan gelas di tangannya ke atas meja. Ia mendekatkan duduknya dan merangkul pundak Bella.
"Ada apa?"
Bella tak menjawab. Ia masih sesenggukan mencoba menenangkan dirinya sendiri.
"I'm so sorry."
"Untuk apa?"
Wanita di rangkulan Gio itu hanya menggeleng. Gio menatap arloji di pergelangan tangan kirinya. Sudah hampir pukul 1 pagi.
"Ayo, ku antar pulang. Berikan alamat rumahmu. Kau sudah terlalu mabuk untuk menyetir."
Bella kembali menggeleng.
"Aku tidak ingin pulang."
"Kau ingin di sini semalaman?"
"Itu lebih baik daripada di rumah."
Gio mengusap wajahnya. Ia juga sebenarnya lelah sekali.
Ponsel Gio bergetar di saku sebelah kanan celananya. Ia tak bisa meraih ponselnya karena tangan kirinya merangkul pundak Bella. Pria itu masih belum melepaskan gips di pergelangan tangannya.
Satu-satunya pikiran Gio saat ini adalah membawa Bella keluar dari tempat ini. Situasi mulai tak kondusif karena sudah mulai terpengaruh alkohol.
Dengan bersusah payah, Gio membawa Bella ke lobby utama. Ia menghentikan taksi dan membawa Bella ke salah satu hotel di sana.
✨
Gio membaringkan tubuh Bella di ranjang hotel. Ia hendak keluar namun ponselnya kembali bergetar. Dengan susah payah Gio meraih ponselnya. Sudah tau tangan kanannya tak bisa meraih ponsel di kantong, masih saja memasukkan ponselnya di saku kanan.
6 panggilan tak terjawab.
Ada 2 dari Olivia, 3 dari Delia dan 1 dari Derry. Ia langsung menghubungi Olivia.
"Halo Ma."
"Lagi dimana Mas? Kenapa telepon Mama gak diangkat?" Gio mendengar suara Olivia sudah jauh lebih tenang.
"Lagi di NY, Ma. Mama apa kabar?"
"Sudah lebih baik. Mas jangan lupa makan. Di sana pasti malam. Mas istirahat."
"Iya Ma. Mama juga jangan lupa makan."
"Iya. Ya sudah, hati-hati kerjanya. Sampai ketemu di rumah."
Panggilan terputus. Gio duduk di tepi ranjang Bella yang sedang tertidur. Ia menelepon Delia.
"Mas kok gak angkat telepon ku?" Suara gadis cilik itu terdengar marah yang dibuat-buat. Gio terkekeh kecil.
"Sorry baby. Mas lagi ada kerjaan. Ada apa kamu telepon? Bukannya ini masih jam sekolah?"
"Udah pulang Mas. Lagi ujian."
"Oh begitu. Gimana ujiannya, lancar?"
Gio bertanya dengan sedikit berbisik.
"Lancar kok. Mas lagi dimana sih? Kok tumben bisik-bisik?"
"Mas lagi di rumah temen. Udah tidur yang punya rumah."
"Tidur? Mas lagi di luar negeri?"
"Iya baby."
"Oh pantes aja. Ya udah deh. Hati-hati kerjanya Mas. Dah."
"Oke sweetheart. Bye."
Satu lagi adiknya yang menelepon, Gio mengiriminya pesan.
Gio :
Ada apa Der?Tak berapa lama, Derry membalas pesannya.
Derry :
Mas, kirim uang. Aku sama Gerry mau bayar semester.Gio :
Ok. Ntar Mas kirim.Gio menatap layar ponselnya lagi. Ia mengirimkan sebuah pesan pada Jack untuk terus mengawasi Amelia.
Pria itu bangkit dari duduknya. Ia menarik selimut menutupi tubuh Bella dan berjalan keluar kamar.
✨
Hope you enjoy this story.. :)
Tbc..
KAMU SEDANG MEMBACA
The Archer [END]
FantasySEQUEL OF "SEKILAS MATA" ⚠️ 18+ Read, Vote, Comment. 😘✌️ Check Another Story From Me.. 🤍 Thank you