houses

6.2K 651 146
                                    

CHAPTER; Three 

Nicole menyuapkan sesendok sup jamur itu dengan tangan bergetar, ditambah lagi dengan pergelangan tangannya yang memerah karena perih. Ia menatap Louis, yang mengawasinya bagaikan elang kelaparan.

"Terima kasih atas supnya," kata Nicole pelan. Sangat pelan sehingga Nicole mengira jika Louis tak akan mendengarnya.

"Ya--tapi bisakah kau makan agak sedikit lebih cepat karena aku bisa lumutan jika duduk diam disini selama 5 menit lagi," kata Louis.

Maka dari itu, Nicole segera menghabiskan supnya dan meminum air putihnya. Ia membiarkan Louis kembali mengikat pergelangan tangannya dengan kencang, lalu keluar dari kamar.

Nicole menghela napasnya, lalu membiarkan matanya terpejam dan tertidur. Mungkin Louis akan marah jika ia tertidur tanpa seizinnya, namun rasa kantuk ini telah menguasainya...

***

"Bangun!"

Nicole bangun dengan tersentak, mendapati Louis dengan cambuknya--sesaat ia dapat merasakan sesuatu yang perih sedang menjalar dipahanya. Lalu Nicole menunduk untuk melihat, dan didapatinya sebuah garis besar atas cambukkan dari Louis itu merona merah disana.

Apa Louis harus mencambuknya hanya untuk membangunkannya? Nicole meringis.

"Aku mau kau bangkit sekarang--tak ada yang memerintahkanmu untuk tidur tadi!" kata Louis keras, lalu dengan cepat ia memotong tali ditangan Nicole dengan pisau lipatnya.

Nicole meringis, semarah inikah Louis sehingga ia tidak memperhatikan jika pergelangan tangannya sesekali tertusuk pisau itu cukup dalam karena gerakannya yang kurang berhati-hati?

"Bangun," Louis menarik bahu Nicole lalu memberikannya sebuah sweater putih yang tebal. "Pakai itu, aku tak ingin mereka melihat luka-luka ditubuhmu. Berpura-puralah menjadi kekasihku. Aku tak ingin mereka mengambilmu karena kau milikku," kata Louis.

Lalu Nicole segera memakai sweaternya dengan cepat, lalu merapihkan rambutnya. Sebisa mungkin ia melakukannya tanpa membuat kesalahan sedikit pun sehingga ia bisa menghindari cambukkan Louis.

"Selesai," kata Nicole pelan.

"Bagus," Louis menariknya keluar dari kamar itu. Bisa dilihat oleh Nicole jika diluar kamarnya, terdapat ruang yang sangat kecil yang hanya terdapat tangga dan sebuah lukisan. Ini membuat Nicole tahu jika kamarnya terletak dibawah tanah.

Mereka menaiki tangga itu dengan cepat, membuat Nicole tak sempat melihat lukisannya karena Louis segera menariknya. "Namamu Karen sekarang."

"Apa?" Nicole mengernyit. Itu adalah nama yang aneh, walaupun familiar. Untunglah Nicole bisa mengubah nada itu menjadi nada pertanyaan karena kurang mengerti daripada nada memprotes. Louis adalah tipe orang yang akan menghancurkan segalanya jika ada yang memprotes.

"Berpura-puralah menjadi kekasihku, jalang. Lalu berpura-puralah bernama Karen," kata Louis, lalu membuka pintu rumahnya.

Segera disambutnya, suasana yang meriah dan penuh dengan alkohol. Semua orang berada diluar rumahnya, saling bergaul dan mabuk.

Dengan mengejutkan, Louis merangkul pinggulnya. Hingga akhirnya Nicole ingat jika ini semua hanyalah pura-pura dan mulai terbiasa.

Mereka berjalan membelah sepanjang jalan, sepertinya Louis akan membawanya ke sebuah tempat.

"Perhatikan semuanya," perintah Louis menggeram tepat disamping telinganya, tangan Louis meremas pinggulnya geram.

Nicole mendongak, menatap semuanya. Ini mengerikan, pikir Nicole menjerit. Banyak yang saling memukul, namun tak ada yang memperdulikan mereka. Lalu ada yang berjudi, dengan ditemani dua wanita pelacur masing-masing yang dengan setia menyodorkan redbulls setiap menitnya. Kebanyakan pria dari mereka adalah pria berotot besar dan penuh dengan tatto, sementara wanitanya berpakaian minim. Membuat Nicole takjub karena malam ini cukup dingin.

stockholm syndrome • l.tTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang