how it end

3.4K 517 60
                                    

CHAPTER; Seventeen 

Aku pernah terjatuh dari sepeda di pengalaman pertamaku dan tak bisa bangkit dari tanah sebelum Ayahku sendiri mengangkatku untuk masuk ke dalam rumah dengan keadaan kesakitan dan menangis. Saat itu kupikir aku bisa, dan aku mampu menaiki sepeda dengan dua roda seperti Sarah. Namun kerikil kecil membuatku terjatuh. Dan itulah yang kurasakan sekarang.

Salah satu pertanyaan Sarah saat itu adalah, "Apakah itu Louis yang kaubicarakan? Apa yang terjadi?"

Namun aku tak menjawab, setengah karena enggan setengah karena memang aku tak bisa. Aku ingin menahan Liam saat lelaki bertubuh tegap itu mendorong Louis kasar keluar rumah, melewatiku. Aku bisa melihat mata Louis yang berwarna biru laut menatapku dengan lembut, tersenyum miring namun tak ada unsur kelicikan dalam senyumnya.

Senyum itulah yang membuatku tersadar dan berlari ke arahnya, namun mendadak aku merasa lemas dan yang terakhir kulihat adalah Detektif Irene dengan suntikkan biusnya. Kemudian semuanya gelap.

***

Louis terbukti salah.

Namun pria itu tidak menyebut dan menyangkutpautkan Niall atau mantannya, Harry, dalam kasus ini. Kasusnya di ringankan karena menyelamatkanku dari kasus penjualan pelacur yang dijalankan oleh Harry. Di penjara selama 15 tahun. Apa yang harus kulakukan?

Ini sudah satu minggu. Tentu saja. Dan aku hanya mengurung diri di kamar, menatap foto Louis dari bandul kalungku dan menangis seperti orang gila.

"Mungkin kau memang gila," celetuk Alex.

"Bisa saja," jawabku saat itu.

Sarah sudah lebih baik, jauh lebih baik dan kini ia duduk di depanku. Segala usahanya telah gagal untuk menghibur, dan saat ia membawa Andien aku menjadi marah besar. Kenapa ia--Andien--lari? Kenapa ia membawa kami ke tempat itu? Kenapa ia tak datang saat aku pulang? Aku memang tak boleh sepenuhnya menyalahkan Andien namun aku tak tahu ke mana lagi kuharus melampiaskan rasa benci ini.

Sementara Detektif Irene? Tak ada yang bisa melawannya. Dia membiusku setiap kali aku mengamuk atau membentaknya, dan aku sangat membencinya. Dalam setiap kesempatan aku melempar semua makan malamku yang panas ke wajahnya, hingga kini mereka mengharuskanku untuk makan di dalam kamar sendirian, di awasi oleh Sarah.

Lalu Liam? Dia tentu tidak balik lagi, sibuk mencari kejahatan-kejahatan yang Louis lakukan untuk memberatkan hukumannya. Aku tahu lelaki seperti tipikal Liam pasti akan mengira Louis adalah seseorang yang bajingan besar, namun jika ia menyadari hal yang terjadi sebenarnya dan keberanian Louis untuk mengakui dirinya salah. Apakah Liam akan menjadi setegas dan sekejam ini kepada Louis?

Saat ini, aku sedang duduk, memandangi diriku sendiri di pantulan cermin yang setengah telanjang sementara Sarah memakaikanku pakaian yang layak. Siapa aku sekarang? Ini sangat berbeda. Liar. Kejam. Berantakan. Apa yang terjadi denganku?

Namun Sarah pernah menjelaskan bahwa aku dilanda sindrom stockholm, itu teori yang ia dengar dari Detektif Irene. Namun persetan, aku keburu mengamuk saat mendengarnya. Ini jauh lebih besar daripada sindrom konyol itu, dan aku muak mendengar teori Detektif sialan.

"Apakah hanya aku atau perutmu membesar, Nicole?" tanya Sarah tiba-tiba.

"Apa?" tanyaku serak.

"Perutmu membesar."

"Siapa yang memberimu hak untuk mengatai aku gemuk sekarang?" kataku dingin.

"Hanya perutmu yang membesar,bukan tubuh," kata Sarah. Dia memang selalu sabar menghadapi sifatku sekarang.

"Lalu kau pikir aku kenapa?"

Sarah berpikir sebentar, mengedikkan bahunya, dan menggeleng kecil. Aku menghembuskan napas, melirik dinding. Sekarang sudah menjelang pagi, samar-samar aku mendengar obrolan ringan Ibuku dan Alex sementara suara pembawa acara berita menggema yang menghiasi keheningan lain di balik suara mereka.

Sudah seminggu, dan perutku bergejolak lagi. Aku melupakan Sarah yang sedang memilih kaus untukku dan segera berlari ke kamar mandi untuk memuntahkan semua makan malam. Bagus, belakangan ini aku buang air besar lewat mulut setiap pagi. Menjijikkan? Ya.

"Nicole?" panggil Sarah berhati-hati. Ia meminjat leher belakangku pelan setelah melihat kondisiku. "Kurasa kita harus cek kesehatanmu. Aku akan mengantarkanmu nanti malam."

"Tidak—"

"Nicole, ini sudah seminggu dan kesehatanmu memburuk," kata Sarah tegas. "Kau tahu? Louis pun membutuhkanmu di penjara itu, kunjungilah dia. Kini ia pasti merindukanmu juga, kemudian memikirkan hal yang aneh—mungkin saja ia berpikir kau mendapatkan pria lain—ya, walaupun jelas tak seperti itu. 'Kenapa Nicole tak ada? Oh, sialan. Pria macam apa aku yang berharap Nicole akan datang setelah aku mencambuknya setiap hari', ia pasti akan berpikir seperti itu."

Aku berkedip beberapa kali, terdiam sebelum menjawabnya. "Kau benar."

"Tentu saja," katanya. "Aku akan membuatkanmu sarapan. Kau oke sendirian di sini?"

"Tentu saja, ini kamarku, bukan hutan," kataku.

Dia terkekeh lalu keluar dari kamarku. Sementara aku terdiam, menatap diriku sendiri di cermin dan berkumur beberapa kali hingga akhirnya aku mendengar suara ketukan di jendela. Mataku membulat, apakah itu Louis? Apakah aku bermimpi lagi?

Aku keluar dari kamar mandi, namun yang kulihat adalah Harry. Dia memutarkan matanya, dan aku sadar aku hanya memakai celana pendek dan bra putih hingga aku buru-buru mengambil kaus asal dan mengunci pintu kamarku dua kali sebelum membukakan jendela untuknya. Mengapa orang-orang tak bisa mengendalikan pintu di ruang utama? Seperti Harry dan Louis, contohnya.

"Kudengar Louis tertangkap," katanya marah.

"Dia menyerahkan dirinya sendiri—"

"Dan kulihat perutmu membesar," katanya lagi sebelum aku menyelesaikan kalimatku.

"Aku sakit—"

"Tak pernah kulihat orang sakit dan menjadi gemuk, kecuali kalau obat mereka adalah makan daging babi setiap hari. Yang kutahu kau kelihatan hamil sekarang," katanya.

"Tak mungkin—"

"Mungkin saja," katanya. "Berapa kali kalian melakukan itu? Seratus? Dua ratus?"

"Tak sebanyak itu—"

"Oh, tentu saja," katanya. "Kini kau jelaskan mengapa orang-orang itu bisa menemui Louis? Kau mengadu kepada mereka? Apa yang kauharapkan? Kematian dari tanganku?"

"Aku tak bilang apa-apa kepada mereka," kataku kesal. "For fuck sake, Harry! Aku pun merindukannya."

Harry terlihat ingin meludah di wajahku. "Jadi, kaupikir ia menodongkan tubuhnya sendiri ke Detektif itu?"

"Ya," kataku. "Aku tak melihat dia datang, aku sedang di cafe bersama Sarah dan saat kupulang, kulihat mobilnya di depan rumahku. Dan dia ada di sana, kemudian borgol di tangannya."

Aku bisa merasakan airmata yang menetes lagi. Tadinya kupikir mataku sudah kering.

"Ini bukan salahnya—"

"Memang bukan salahnya," potongku.

"Jangan memotong kalimatku!" bentaknya pelan.

"Kau pun memotong ka—"

"Tak menerima bantahan," katanya mencoba sabar. "Aku akan kembali, jalang. Jaga janinmu bersama Louis, kuyakin ia senang. Selama ini ia menginginkan bayi, dan tentu saja aku tak bisa memberinya itu kecuali jika kami mengadopsinya. Namun ia terlalu takut untuk mengadopsi."

Aku mengangguk, bisa melihat kilatan sedih dan marah di matanya. Dengan cepat ia berbalik dan menutup jendelanya rapat-rapat dari luar, lalu menghilang lagi.

Sarah mengetuk pintu kamarku, dan dengan segera aku membukanya, memakan sarapanku bersamanya di dalam kamar ini. Sementara semua kalimat Harry masih terngiang-ngiang di otakku.

stockholm syndrome • l.tTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang